Fanny Chotimah (Kurator Festival Film Solo [FFS] dan bergiat di Jejer Wadon komunitas perempuan Solo) [email protected] Senyap, film dokumenter karya terbaru Joshua Oppenheimer sutradara Amerika, pada tanggal 10 Desember bertepatan hari HAM diputar serentak di beberapa kota di Indonesia. Bertajuk “Indonesia menonton Senyap”, saya menonton film ini di sebuah perguruan tinggi negeri di Solo. Film berdurasi 98 menit ini cukup intens menggambarkan perjalanan Adi Rukun, selaku adik dari korban pembantaian ‘65 yang bernama Ramli, untuk menemui para pembunuh sekaligus mencari tahu kebenaran yang terjadi. Dalam film Joshua Oppenheimer sebelumnya, Jagal (2012) kita diajak menyelami peristiwa ‘65 dari rekonstruksi para pelaku pembantaian. Sedangkan dalam film Senyap cerita diambil dari keluarga penyintas di sebuah daerah di Sumatera Utara, keluarga Adi Rukun. Pendekatan yang diambil sutradara pun berbeda, jika dalam film Jagal para pembunuh tersebut membuat proyek film fiksi tentang peristiwa ‘65, lalu Joshua merekam semua proses itu. Sedangkan dalam Senyap Adi Rukun sebagai tokoh subjek aktif mengunjungi para pelaku dan melakukan wawancara melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada pelaku pembunuhan, lalu mengaku sebagai adik korban. Profesi Adi Rukun sebagai tukang kacamata keliling dijadikan semacam kedok untuk mendekati mereka. Inong, salah seorang pelaku pembunuhan menjadi tersinggung dan emosional karena Adi Rukun mengorek peristiwa ‘65 yang dianggapnya terlalu dalam. Apakah ada rasa bersalah dalam diri para pelaku tersebut? Atau tahukah Anda apakah PKI itu? Apakah membunuh itu benar? Pertanyaan tersebut dianggap politis dan tidak perlu diungkit kembali. Respons dari hampir semua pelaku sangat defensif seolah-olah mereka berusaha meyakinkan diri mereka secara berulang kali, bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan yang benar. Bahwa mereka merupakan pahlawan yang memberantas Komunisme. Terkadang gestur tubuh para pelaku ataupun Adi Rukun sendiri terlihat sangat canggung dengan pertemuan dan keberadaan diri mereka sendiri. Tentu pertemuan ini bukanlah hal yang mudah, begitupun topik pembicaraan merupakan hal yang sensitif yang secara generasi bergenerasi ditutupi kebenarannya. Digambarkan bagaimana anak lelaki Adi Rukun yang duduk di bangku SMP mendapat penjelasan dari gurunya bahwa komunis itu tidak beragama, tidak ber-Tuhan dan kejam. Sedangkan para pelaku pembantai komunis tersebut terlihat lebih kejam. Bahkan para pelaku percaya untuk tidak lupa meminum darah para korban supaya tidak menjadi gila. Arti kata senyap bisa berarti sepi, tak ada suara, diam ataupun tidak diperbincangkan lagi. Adi Rukun, lahir 2 tahun setelah kematian Ramli kakaknya. “Kalau kamu tak lahir aku bisa gila,” begitu ucapan Mamak, ibunda Adi. Mamak merupakan sosok perempuan tua, berambut putih, lipatan-lipatan keriput di wajahnya seolah-olah penanda waktu akan tahun-tahun berlalu menyimpan kepedihan rasa kehilangan anak lelakinya yang ia yakini pemuda baik-baik, tak bersalah. Mamak becerita bagaimana detik-detik terakhir sebelum kehilangan nyawanya, Ramli yang sudah disiksa dengan perut yang koyak dan bersimbah darah pulang dan minta dibuatkan kopi. Sebelum air mendidih untuk kopi, para pelaku pembantaian itu datang. Mereka berdalih akan membawa Ramli ke Rumah Sakit. Mamak meminta mereka untuk turut membawanya. Ayahnya menawarkan mereka 2 ekor lembu sebagai penebus nyawa anaknya namun ditolak. Sebagai perempuan, sebagai seorang ibu saya tak kuasa jika saya harus berada di posisi Mamak. Perempuan yang menyaksikan kekerasan terhadap anak lelakinya, dan mengetahui siapa pembunuh anaknya dan harus hidup berdekatan. Dia menyimpan semua kepedihan itu dalam diam. Mamak perempuan tua itu terkejut saat Adi Rukun bercerita bahwa dia menemui para pelaku pembunuh kakaknya. Adi pun bercerita jika pamannya, adik Mamak menjadi penjaga penjara para tahanan yang dianggap PKI. Pamannya mengetahui jika keponakannya Ramli ada di situ. Namun tak berani berbuat apa-apa untuk menyelamatkan keponakannya itu. Pamannya tetap bersikukuh bahwa dia tidak terlibat dan bukan pembunuh. Dia hanya penjaga tahanan. Informasi ini merupakan kebenaran baru yang Mamak terima. Selama ini Mamak belum pernah mendengar dari adiknya. Apakah ini yang dikatakan filusuf Hannah Arendt dalam bukunya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963) sebagai sebuah banalitas kejahatan. Dimana tidak perlu berpikiran jahat untuk bisa melakukan kejahatan brutal. Cukup keluguan menaati perintah dan tidak berpikiran kritis atas akibat dari tindakan yang kita lakukan, sudah bisa membuat orang “normal” sanggup melakukan sebuah kejahatan. Miskinnya imajinasi membuat seseorang tidak bisa memosisikan dirinya sebagai orang lain. Pelaku tidak pernah membayangkan dirinya sebagai korban yang harus kehilangan nyawa, kesakitan disiksa. Mereka tidak bisa memosisikan bagaimana perasaan keluarga korban, bagaimana rasa sedih kehilangan anak yang mati dibunuh. Maka rasa bersalah itu tidak akan hadir. Dalam sebuah pertemuan, istri Amin salah seorang pelaku pembunuhan, berinisiatif meminta maaf kepada Adi Rukun atas tindakan yang telah dilakukan suaminya. Begitupun seorang perempuan muda anak dari pelaku pembunuhan. Perempuan-perempuan itu tidak perlu sekolah filsafat untuk memahami kata-kata Hannah Arendt bahwa forgiveness is the key to freedom. Bahwa meminta maaf juga merupakan kunci untuk meraih kemerdekaan. Sejarah kelam perlu diungkit, luka harus disembuhkan, trauma harus dibicarakan, dicari akar persoalannya. Kelak kita bisa berkaca bahwa atas nama kemanusiaan tidak ada pembenaran atas segala tindak pembunuhan. Memaafkan itu perlu, namun tidak untuk melupakan.
B
4/1/2015 06:45:51 am
Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|