Nikodemus Niko (Alumnus Pascasarjana Sosiologi Universitas Padjadjaran) [email protected] Kemiskinan di Indonesia sudah menjadi isu yang berkepanjangan, dimulai sejak masa penjajahan kolonial Belanda hingga masa teknologi modern kini. Penanganan berarti belum terlihat berdampak pada pengurangan kemiskinan, baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional. Demikian pula di Kalimantan Barat yang merupakan wilayah strategis persinggahan antar negara seperti Malaysia dan Brunei Darusalam. Kemiskinan di Kalimantan Barat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 tercatat sebanyak 401,51 ribu orang yang hidup dibawah garis kemiskinan, dimana jumlah kemiskinan lebih banyak dijumpai di wilayah pedesaan. Kemudian data BPS tahun 2016 mencatat bahwa dalam skala nasional kemiskinan di wilayah pedesaan menurun, namun kemiskinan di wilayah perkotaan meningkat. Namun bukan berarti mata rantai kemiskinan di wilayah pedesaan kian terputus, melainkan melahirkan kemiskinan-kemiskinan lain bagi perempuan, seperti tidak adanya akses perempuan dalam pengelolaan dana desa. Perempuan dan Kemiskinan Isu perempuan erat kaitannya dengan isu kemiskinan. Utamanya perempuan yang mendiami wilayah-wilayah pedesaan di Indonesia tidak lepas dari kondisi kehidupan yang miskin dan serba terbatas. Tidak terkecuali kondisi kehidupan perempuan di wilayah perbatasan negara yang merupakan masih pedesaan-pedesaan yang terpencil dan terisolasi. Mereka hidup menyatu dengan alam dan menjadikan alam sebagai sumber penghidupan. Perempuan di perbatasan sulit sekali mengakses pendidikan tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah dasar, mereka memilih untuk bekerja di Malaysia, atau bahkan menikah di usia yang tergolong masih muda. Realitas ini tidak menjadi acuan dalam berbagai program pembangunan wilayah perbatasan, sehingga kondisi mereka masih tetap terbelakang secara sumber daya manusia. Pembangunan di wilayah perbatasan selama ini lebih menekankan kepada pembangunan infrastruktur, tetapi kurang memperhatikan pembangunan manusianya. Sehingga masyarakat lokal yang berada di kawasan perbatasan tetap menjadi penonton dan tidak terlibat aktif dan representatif dalam proses implementasi pembangunan. Sebagai akibatnya masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan masih tetap dalam keadaan miskin dan tetap terpinggirkan. Sebagai sebuah permasalahan sosial, kemiskinan tentu membawa dampak yang lebih luas terlebih bagi perempuan di perbatasan. Tidak jarang mereka mengalami eksploitasi di sektor domestik bahkan menjadi korban perdagangan orang di Malaysia. Melihat kenyataan ini, penulis tertarik untuk menelusuri lebih dalam tentang kehidupan perempuan di daerah perbatasan yang sangat erat dengan kemiskinan. Hal ini dikarenakan pendidikan dan keterampilan yang minim dimiliki masyarakat lokal, terlebih bagi perempuan. Tulisan ini berupaya untuk mendeskripsikan tentang kemiskinan perempuan di perbatasan negara Indonesia-Malaysia di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat yang ditulis berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis saat di Jagoi Babang. Kemiskinan Perempuan Perbatasan Jagoi Babang Keterbatasan-keterbatasan tidak melulu persoalan ekonomi semata, melainkan terdapat persoalan yang sudah multidimensional. Bahkan persoalan kemiskinan yang dihadapi perempuan di perbatasan mengalami kemiskinan kultural dan struktural. Dalam konteks ini posisi perempuan sangat rentan untuk mengalami kemiskinan multidimensi, dimana terdapat indikator-indikator seperti; dimensi sosial, pendidikan, kesehatan dan standar kualitas hidup. Kemiskinan merupakan suatu permasalahan pokok dan berkelanjutan pada masyarakat perbatasan. Hal ini merupakan sebagai akibat dari rendahnya kualitas SDM (sumber daya manusia) yang ada. Data monografi pemerintah Kecamatan Jagoi Babang tahun 2013 mencatat bahwa sebanyak 1.537 KK (kepala keluarga) hidup di garis kemiskinan dari jumlah total 1.679 KK di Jagoi Babang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh masyarakat di Jagoi termasuk ke dalam kategori miskin. Menurut pengamatan penulis, terdapat beberapa desa yang tidak memiliki infrastruktur jalan raya, sehingga akses menuju ke desa tersebut harus menggunakan perahu motor dengan estimasi waktu dan biaya yang mahal. Hal ini menunjukkan bahwa mereka juga miskin dalam akses pembangunan. Dalam perkembangan masyarakat masa kini, isu kemiskinan tidak dapat terpisahkan dari isu perempuan, terutama perempuan yang hidup di wilayah pedesaan. Kemiskinan melanggengkan ketidakberdayaan perempuan pedesaan. Hal ini berimplikasi pada rendahnya pendidikan, serta kemampuan bersaing yang sangat terbatas. Kualitas sumber daya manusia yang dimiliki pun masih sangat terbatas oleh dimensi-dimensi yang menindas mereka, seperti dimensi ekonomi, politik dan budaya. Ketika suatu kemiskinan sudah dianggap sebuah budaya ‘miskin’ pada masyarakat pedesaan, tidak terlihat lagi dimana ketimpangan dan ketidakadilan itu. Padahal tampak jelas ketimpangan dan ketidakadilan itu menimpa hampir seluruh perempuan yang hidup di pedesaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik adanya pengelompokan disposisi yang berlainan dari kegiatan produksi atau kapitalisme itu terdapat kekuasaan yang beroperasi melalui pengembangan prasangka kultural yang dikembangkan oleh pihak luar. Dengan demikian budaya kemiskinan dilekatkan kepada seluruh anggota masyarakat tersebut, sehingga mereka tidak menyadari terdapat sistem struktural yang dengan sengaja memiskinkan mereka. Memutus Mata Rantai Kemiskinan Perempuan di Perbatasan Negara Sebuah keluarga miskin di pedesaan acapkali mampu hidup dengan keterbatasan, mereka mampu bertahan, baik dalam bentuk uang maupun makanan seadanya. Perempuan-perempuan ikut menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka. Namun, pada umumnya sebuah keluarga yang jatuh pada lingkaran kemiskinan sangat sulit untuk bangkit kembali, kecuali mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan mereka. Sumber perlindungan yang mampu menyelamatkan mereka adalah negara. Kemiskinan perempuan berkaitan erat dengan kondisi struktural yang selama ini membelenggu mereka untuk tetap berada dalam garis kemiskinan. Sehingga perempuan-perempuan ikut menanggung kemiskinan yang membelenggu keluarga mereka. Hal ini berarti negara ikut menjadi aktor struktural penyebab kemiskinan yang selama ini membelenggu perempuan di perbatasan negara. Salah satu indikator penyumbang dampak kemiskinan pada perempuan pedesaan adalah pendidikan. Tingkat pendidikan merupakan suatu indikator penting untuk menjadi social modal bagi perempuan dalam upaya mencapai taraf hidup yang lebih baik. Namun, tingkat pendidikan penduduk di perbatasan Jagoi masih dalam katogori rendah. Dampak dari rendahnya pendidikan ini adalah kurangnya pengetahuan serta keterampilan mereka untuk dapat menciptakan suasana hidup yang lebih baik. Perkara pendidikan di perbatasan negara, bukan hanya persoalan kekurangan guru dan fasilitas pendidikan, melainkan lebih daripada itu. Keperluan mereka akan pendidikan formal dan nonformal juga harus dilaksanakan. Perempuan yang sudah dewasa tidak dapat lagi mengenyam pendidikan formal. Penting untuk menghadirkan pendidikan nonformal agar mereka terbebas dari belenggu buta huruf. Kemudian dalam pendidikan formal juga perlu diterapkan pelatihan-pelatihan soft skill agar mereka dapat membimbing anak-anak mereka di lingkungan keluarga, termasuk penyadaran akan arti penting pendidikan bagi anak-anak dan generasi mereka. Perempuan adalah agen penyelamat generasi bangsa ini, jika mereka masih dalam keadaan miskin, tidak berdaya, dan buta huruf, maka sudah tergambar jelas bagaimana generasi dan anak-anak mereka nanti di masa depan. Memutus mata rantai kemiskinan yang selama ini adalah angan-angan semata. Program-program yang ada hanya sebatas proyek kejar setoran. Sehingga masyarakat miskin tetap pada kemiskinannya, tanpa adanya perbaikan dan keberdayaan. Hidup sejahtera pun menjadi isapan jempol yang hanya menjadi bayang-bayang semu semata. Saatnya negara hadir dan intensif untuk membangun ketertinggalan di daerah perbatasan. Pembangunan infrastruktur tanpa disertai pembangunan manusianya, terutama bagi SDM perempuan, sama saja percuma. Kemiskinan identik dengan kehidupan perempuan di perbatasan, oleh karenanya tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan eksploitatif seperti menjadi TKW ilegal yang tidak jarang menjadi korban kekerasan seksual. Negara masih belum hadir di tengah-tengah kehidupan mereka yang masih terisolasi. Mengapa mereka seolah terkurung dan berkutat dengan kemiskinan yang berkepanjangan? Tidak lain karena kondisi struktural yang memiskinkan mereka, disamping itu posisi tawar perempuan desa yang tidak memiliki pendidikan tinggi berakibat pada tidak dipertimbangkanya mereka untuk masuk dalam sektor politik. Faktor pembangunan yang tidak berperspektif gender juga ikut menjadi penyumbang penyebab kemiskinan perempuan di pedesaan. Perempuan di batas negeri belum sejahtera, kemiskinan masih melilit kuat dalam setiap sendi kehidupan mereka. Membicarakan pembangunan perbatasan, bukan persoalan membicarakan infrastruktur semata, melainkan bagaimana menyejahterakan kaum Ibu, memberdayakan perempuan dan membuka akses pendidikan bagi perempuan. Penulis melihat bahwa sistem kebijakan yang berbasis pada pemberdayaan masih belum berhasil terpenuhi bagi sebagian penduduk di batas Malaysia-Indonesia. Pendidikan, menurut saya merupakan salah satu upaya untuk membangkitkan keberdayaan masyarakat perbatasan. Terutama bagi perempuan yang merupakan agen pemutus mata rantai kemiskinan bagi diri mereka sendiri dan generasi penerus negeri ini. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|