Pada Bulan Mei 2014 berbagai media internasional memberitakan kisah sedih dua anak perempuan berusia 14 dan 15 tahun yang diperkosa oleh sekelompok laki-laki, dibunuh dan jasadnya digantung di sebuah pohon di Desa Katra, Uttar Pradesh, India (http://en.wikipedia.org/wiki/2014_Badaun_gang_rape). Rangkaian kisah tragis ini terjadi saat kedua anak tersebut dalam perjalanan pulang dari “toilet” di kebun dekat rumah mereka. Kasus ini menggemparkan India dan dunia internasional, terutama setelah foto kedua anak yang tergantung di pohon tersebar di dunia maya. Menurut seorang pejabat kepolisian India rata-rata terjadi sepuluh perkosaan per hari di Uttar Pradesh, sebuah negara bagian terpadat di India dengan jumlah penduduk 200 juta orang. Sebesar 60 persen dari kasus perkosaan tersebut adalah dampak dari ketiadaan fasilitas sanitasi mandi cuci kakus (MCK) di dalam rumah. Mengacu pada definisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), fasilitas sanitasi yang memadai adalah “one that hygienically separates human excreta from human contact”, sedangkan buang air besar di tempat terbuka atau open defecation adalah “defecation in fields, forests, bushes, bodies of water or other open spaces” (sanitationdrive2015.org). Kekurangan fasilitas MCK tidak hanya terjadi di India. PBB memperkirakan sebanyak 2,5 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap MCK yang memadai dan 1,1 milyar atau 15 persen penduduk dunia mempraktikkan open defecation, 949 juta diantaranya adalah penduduk perdesaan. Setelah India, Indonesia menduduki posisi nomor dua dalam hal jumlah penduduk yang mempraktikkan open defecation, data tahun 2010 menunjukan 626 juta orang di India, diikuti 63 juta orang di Indonesia, 40 juta orang di Pakistan, 38 juta orang di Etiopia dan 34 juta orang di Nigeria (www.who.int). Kisah tragis yang menimpa dua anak perempuan di India, pernah pula terjadi di Indonesia. Hilda Winartasaputra dalam artikelnya “Open defecation must not be ignored”, menyatakan pada tahun 2012 seorang anak perempuan di Jawa Timur diperkosa saat ia dalam perjalanan pulang dari “toilet” di kebun dekat rumahnya (The Jakarta Post, 19 November, 2012). Penulis pernah mengalami ketiadaan fasilitas MCK yang memadai saat mengikuti program kuliah kerja nyata (KKN) di sebuah desa di Jawa Barat pada akhir 1980-an. Saat itu rumah yang saya tinggali selama dua bulan KKN tidak memiliki fasilitas MCK. “Toilet” berjarak 20 meter dari rumah dan terletak di tengah kebun dengan pepohonan tinggi. Toilet yang dimaksud adalah lubang di tanah dengan dua batu pijakan kaki di sisi kiri dan kanan lubang, tanpa saluran air. Sebagai pelindung, di sekeliling toilet didirikan bilik bambu setinggi pinggang orang dewasa, tanpa atap. Toilet tersebut adalah milik bersama. Setiap pengguna membawa air masing-masing yang didapatkan dari sumur terdekat. Saat toilet penuh dengan limbah manusia, maka toilet ditutup dengan tanah dan digali lubang lain untuk toilet baru. Tidak ada fasilitas penerangan. Pada malam hari pengguna toilet harus membawa senter masing-masing. Lokasi toilet yang agak terpencil menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pengguna. Di malam hari saya selalu bersama teman perempuan saat perlu ke toilet dan sebaliknya. Tidak ada kejadian buruk, namun selalu terselip perasaan tidak aman setiap kali pergi ke toilet. Apa boleh buat, tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Pada tahun 2013 saat saya mengunjungi desa lain di Jawa Barat, saya masih menemukan sebagian penduduk desa yang mengandalkan fasilitas MCK di tempat terbuka dan mengingatkan saya pada desa KKN lebih dua puluh tahun sebelumnya. Penduduk desa tersebut adalah bagian dari 63 juta penduduk Indonesia pelaku open defecation. Dalam artikel yang sama Hilda Winartasaputra menyatakan bahwa salah satu masalah utama praktik open defecation adalah penerimaan secara luas kebiasaan yang telah berlangsung lama dan telah berurat akar dalam kehidupan sehari-hari. Saya menemukan hal yang sama di dua desa yang saya sebutkan di atas, di mana keberadaan MCK di tempat terbuka dianggap “biasa” dan “diterima” dalam tatanan sosial budaya setempat. Fasilitas sanitasi dasar adalah bagian dari pembangunan manusia. Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) butir tujuh menggarisbawahi masalah kelestarian lingkungan, salah satu targetnya adalah menurunkan hingga setengah pada tahun 2015 proporsi penduduk tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum dan sanitasi dasar. Mengacu pada data MDGs, Indonesia perlu meningkatkan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar dari 24,8% pada tahun 1993 menjadi 62,41% pada tahun 2015. Data terakhir tahun 2011 menunjukkan proporsi 55,6%. Secara psikologis ketiadaan toilet di dalam rumah menimbulkan rasa stres, takut, malu dan terhina yang dialami perempuan setiap hari, juga membuat sebagian perempuan menderita secara fisik karena seringkali menahan buang air kecil dan besar terutama di malam hari. Dengan demikian masalah MCK bukan hal sepele. Kasus di Uttar Pradesh dan di Jawa Timur menunjukkan bahwa masalah ini bukan sekadar masalah sanitasi, higiene, kesehatan, budaya dan kemiskinan, namun juga masalah keamanan dan keselamatan perempuan. Diperlukan kesungguhan pemerintah dan semua komponen masyarakat untuk memecahkan masalah ini. Tahap awal dengan membuang rasa sungkan atau kekhawatiran dituduh tidak sopan untuk berbicara secara terbuka masalah open defecation. Keberadaan sarana MCK yang memadai di tiap rumah dapat menjadi salah satu daya dorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lebih penting lagi menyelamatkan nyawa perempuan.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|