Foto: Viva News Ditulis oleh: Mariana Amiruddin A Promise is a Promise: Time for Action to End Violence Against Women… Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret telah diputuskan sejak tahun 1975 oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tahun ini PBB mengumumkan Hari Perempuan Internasional dengan tema “Janji adalah janji. Waktunya untuk bertindak mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.” Pesan ini menyambung insiden perkosaan dan pembunuhan perempuan di dalam bis, di New Delhi, yang menjadi sorotan dunia internasional di bulan Desember 2012. Tentu kita akan bertanya, mengapa perkosaan baru disoroti sekarang? Hampir setiap hari kita membaca sekolom kecil tulisan di media cetak, atau sekilas informasi televisi yang berdurasi 20 detik, tentang anak-anak perempuan berusia 8 tahun duduk di bangku sekolah SD, mengalami kekerasan seksual oleh gurunya. Atau bayi perempuan 9 bulan, diperkosa ayahnya. Atau siswi SMU di Jakarta, Nganjuk dan Aceh mengalami perkosaan dan pelecehan seksual oleh guru-guru mereka di minggu yang sama. Sekolom kecil dan sekilat informasi ini tidak banyak menghabiskan satu lembar halaman dan durasi yang panjang dalam setiap pemberitaan, tetapi menjadi berita yang rutin, sehari-hari, ibarat setiap orang yang rutin melakukan sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Itu memungkinkan bahwa telah terjadi rutinitas kekerasan seksual yang dialami perempuan baik anak-anak maupun dewasa setiap harinya. Kekerasan terhadap perempuan seringkali bertumpu pada persepsi terhadap seksualitas perempuan, yang juga berhimpit dengan alasan ekonomi, politik, budaya, sosial dan agama. Kekerasan seksual terhadap perempuan juga terjadi akibat dampak akutnya pelabelan negatif (stereotip) terhadap perempuan; ketika seorang gadis dijuluki pelacur saat berjalan di malam hari, ketika seorang janda digrebek rumahnya karena menerima tamu laki-laki, atau diperkosa saat naik angkutan umum, dan istri yang disiram air panas karena menolak berhubungan seks dengan suaminya. Kita perlu memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan linear dengan nilai-nilai budaya dan agama yang menghukum tubuh dan kehendak perempuan. Perempuan diletakkan sebagai tubuh sosial yang rapuh, properti, dan dianggap boleh untuk dikuasai. Laki-laki dewasa yang punya uang dapat membeli anak-anak perempuan dengan mengatasnamakan perkawinan yang sah, atau membeli mereka dalam bisnis prostitusi. Bahkan kekerasan ini bisa terjadi pada seorang anggota parlemen, pemimpin negara, direktur perusahaan. Atau pada buruh migran perempuan (TKW), pegawai-pegawai dan buruh-buruh pabrik, juga tak terelakkan pada ibu-ibu rumah tangga. Status sosial, ras, usia, agama dan jabatan seorang perempuan tidak dapat mengelak situasi kekerasan ini. Belum lagi soal genital mutilation (sunat perempuan) yang praktiknya banyak merusak total kelamin perempuan, merusak hasrat seksnya sebagai mahluk biologis, membuat kelaminnya infeksi, mengalami kista, merasakan kesakitan saat berhubungan seks karena kehilangan klitoris, semua akibat mitos yang menjadikan alasan bahwa tubuh perempuan harus dikontrol, tidak berlebihan libido, karena Hawa telah menggoda Adam, karena perempuan tidak punya pikiran. Dan video-video porno yang alih-alih memberi informasi seks sebenar-benarnya pada kita, malah menjadikan perempuan sebagai obyek seks dengan kamera yang hanya menyorot bagian-bagian tubuhnya. Kita juga tahu betul bahwa fakta pelaku perkosaan paling banyak adalah laki-laki. Tetapi masih banyak mengelak bahwa para pelaku itu adalah pihak yang bersalah, yang melakukan kejahatan meskipun mereka menunjukkan kekuasaannya dengan tindakan seks yang keji. Masih banyak pihak yang justru melindungi pelaku dan menyalahkan korban. Sampai seorang calon Mahkamah Agung di Indonesia menjadikan perkosaan sebagai bahan gurauan. Karena itulah perhatian besar kita yang paling mendasar di Hari Perempuan Internasional, bagaimana menghentikan kekerasan melalui kemauan untuk “Toleransi Nol” pada budaya dan agama yang mengorbankan perempuan. Kemauan ini perlu didukung oleh sistem pendidikan yang membangkitkan kesadaran setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan, dari kecil sampai besar. Kemauan ini perlu diwujudkan dalam undang-undang dan tindakan hukum, dalam rancangan anggaran pendapatan belanja negara, dalam sistem politik dan budaya, dalam ruang-ruang publik. Tentang bagaimana mahluk bumi ini perlu bekerja keras untuk kembali menyehatkan akal, tubuh dan jiwa, pada kehidupan yang adil dan setara. Semua orang tentu ingin hidup bahagia, tetapi selama kebahagiaan itu tidak dirumuskan dalam instrumen hukum, politik dan budaya yang adil dan setara, juga pada cara berpikir dan perilaku kita, kekerasan seksual tidak akan berhenti. Sekarang kita membaca dan menonton berita perkosaan di televisi, tapi siapa tahu besok itu terjadi pada kita sendiri, atau anak-anak kita?
Andalusia Ismi Karim
14/3/2013 04:47:00 am
Belum ada satupun yang berkomentar disini...ini bukti bahwa tak banyak yang tertarik tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan bahkan kaum perempuan itu sendiri...
rontoko
15/3/2013 10:54:39 am
unsur kesetaraannya di mana ya? padahal banyak juga kok laki-laki yang menjadi korban. masih banyak juga kok para suami yang takut isteri.
Andalusia Ismi Karim
18/3/2013 11:08:17 am
Kenapa suami harus takut sama istri? Istri tidak perlu ditakuti...Istri butuh disayangi, dihargai, diperhatikan...tapi saya ndak tahu ya kalau ada perempuan perkasa yang bila suami melakukan kesalahan sedikit terus dipukul atau dibentak2.. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|