Akhir-akhir ini pikiran kita diganggu oleh persoalan-persoalan lingkungan. Sejumlah konflik sumber daya alam terjadi di negeri ini. Berbagai perlawanan dari masyarakat (adat) mengemuka sebagai kulminasi atas penindasan yang tak kunjung mendekat pada keadilan. Konflik sumber daya alam berdampak pada hidup perempuan. Posisi perempuan semakin rentan dalam alam dan kehidupan sosial. Perjuangan menolak pabrik semen di Kendeng, penolakan reklamasi teluk Benoa di Bali adalah beberapa potret konflik sumber daya alam yang berdampak pada hidup perempuan. Namun, ada kegentingan dalam perjuangan perempuan dalam konflik sumber daya alam ini, ia harus dieksplisitkan, karena jika tidak, ada kecemasan bahwa perempuan hadir di dalam perjuangan bukan sebagai subjek otonom melainkan hanya sebagai simbol yang dipergunakan untuk memenuhi kepentingan yang lain. Artinya, ia tidak mengada sebagai tujuan bagi dirinya sendiri melainkan sebagai alat untuk mencapai kepentingan yang lain. Salah satu panel diskusi dalam kegiatan Asean Literatur Festival 2017, membahas sebuah tema yang sangat menarik yaitu Women, Natural resource Conflict and Peace Transformation. Siti Maimunah peneliti dari Sajogyo Institute dan Saras Dewi, dosen Filsafat Universitas Indonesia, memaparkan sejumlah persoalan yang dihadapi oleh perempuan dalam relasinya dengan eksploitasi dan perusakan alam. Hal yang menarik yang disampaikan oleh Maimunah adalah bagaimana pentingnya menjadikan pengalaman sebagai pengetahuan, menyebarkan pengalaman dan pengetahuan demi mencapai perubahan dan perbaikan alam. Pengalaman adalah salah satu kata kunci dari feminisme. Ia adalah sumber pengetahuan perempuan. Penting untuk mengangkat pengalaman konkrit ketubuhan perempuan dalam menghadapi kerusakan alam, membincang bagaimana akses dan hak perempuan atas alam yang optimal. Maimunah secara implisit menyinggung tentang pentingnya kesadaran. Tanpa adanya kesadaran, kita teralienasi dari apa yang kita konsumsi. Kita lupa bertanya dari mana datangnya produk-produk yang kita konsumsi seperti misalnya minyak kelapa sawit, batu bara, emas dan lain sebagainya. Apakah ia diproduksi dengan cara yang adil bagi perempuan dan alam? Penting agar kesadaran selalu terjaga agar kita mampu melihat penindasan terhadap perempuan yang terjadi di sekeliling kita dan melakukan kritik terhadapnya. Kesadaran harus ada untuk mengetahui bahwa eksploitasi dan perusakan lingkungan adalah isu yang berkelindan dengan logika penindasan perempuan. Saras Dewi mengangkat persoalan perempuan dan alam dengan memberikan perhatian khusus pada kultur. Secara khusus Saras mengangkat persoalan reklamasi teluk Benoa, Bali. Baginya, reklamasi yang berorientasi pada modernisasi pariwisata Bali akan berdampak pada tiga hal yaitu sosial, religi dan ekologi. Saras melihat bahwa perjuangan masyarakat adat di tanjung Benoa sejauh ini telah memberikan hasil yang cukup baik. Perjuangan yang melandaskan diri pada adat, spiritualitas dan kearifan lokal mampu menghentikan (setidaknya sampai saat ini) pergerakan perusahaan pengembang. Artinya, adat adalah instrumen yg sangat kuat dalam advokasi. Ia memiliki fungsi pargmatis yang efektif untuk menggerakan manusia. Persoalannya adalah dalam perjuangan tersebut perempuan berada pada posisi yang membingungkan. Mengapa membingungkan? Karena ada inkonsistensi status perempuan di dalam adat dan kearifan lokal. Dalam upaya masyarakat adat merevitalisasi alam, perempuan dijadikan simbol yang amat penting. Sebagai contoh, tarian Sang Hyang Dedari atau tarian bidadari yang diperformakan oleh empat anak gadis yang dianggap sebagai penjelmaan dewi di bumi. Ritual ini menjadi akar pelestarian bumi di Karang Asem, Bali. Ada ambiguitas beroperasi di sana, bahwa dalam dunia spiritual mereka (perempuan) diagungkan, direlasikan dengan sifat-sifat dewi yang sakral, kuat dan diandalkan, tapi dalam kehidupan sosial mereka terpinggirkan, diabaikan dan mengalami penindasan. Saras sendiri melihat retakan ini. Ia menyadari bahwa perempuan diletakkan pada posisi yang tersubordinasi. Dalam realitas perempuan Bali, mereka dihadapkan pada persoalan ketidakadilan gender yakni dijauhkan dari akses pendidikan dan masih tingginya tingkat kekerasan seksual di sana termasuk persoalan kasta. Untuk menyiasatinya, Saras mengajukan dan mengupayakan revitalisasi kebudayaan, dengan cara menyusupkan agenda feminisme dalam perjuangan lingkungan, artinya, adat dan kearifan lokal harus kompatibel dengan penghargaan hak asasi manusia perempuan. Ini adalah sebuah tawaran yang menarik. Mendekonstruksi adat dan spiritualitas bila ia bertentangan dengan nilai kesetaraan. Persoalannya, tidak jarang perjuangan perempuan atas alam terbuai dengan romantisisme naturisasi tubuh sehingga terjebak dalam esensialisme. Saya berpendapat bahwa dalam setiap perjuangan menjaga alam, penting bagi kita untuk jeli terhadap kandungan femininisasi alam dan naturisasi tubuh perempuan. Perjuangan perempuan dengan menekankan unsur femininitas harus selalu kita pertanyakan dan periksa. Di satu sisi, ini dapat dijadikan sebagai strategi memperjuangkan alam, tapi di sisi lain, ia menyimpan potensi untuk kembali menindas dan mendomestikkan perempuan. Menganalogikan perempuan dengan alam harus dikaji secara ketat. Naturisasi tubuh perempuan berpotensi melanggengkan seksisme dan dualisme patriarki, yang secara hierarkis mendikotomi femininitas-maskulinitas, alam-budaya. Kita harus waspada pada pengagungan tubuh perempuan dan konektifitas perempuan dengan alam. Jangan sampai argumen tersebut melanggengkan kembali otoritas patriarki. Meminjam gagasan Ekofeminisme Karen J. Warren, ada beberapa persoalan yang harus kita garis bawahi dalam melihat penindasan terhadap perempuan dan alam. Pertama, penindasan terhadap perempuan dan dominasi atas alam pada dasarnya saling berkaitan. Kedua, ekofeminisme harus berangkat dari perspektif feminisme. Ketiga, pemecahan persoalan ekologi harus menggugat pula ketidakadilan yang dialami perempuan di dalam masyarakatnya. Bagi Warren, konseptual patriarkal yang opresif harus kita waspadai. Konseptual patriarkal ini menyetubuhi berbagai hal termasuk budaya dan spiritualitas. Persoalannya, bisakah kita berpegang dan melandaskan diri pada argumen-argumen budaya dan agama ketika ia mengandung dan merawat ideologi patriarkal? Saya khawatir perjuangan jenis ini mendua. Bagi saya, ini persoalan serius, karena kita tidak dapat melihat persoalan perempuan dan alam secara parsial. Perjuangan perempuan dan alam harus dielaborasi demi mencapai keadilan dan kesetaraan untuk perempuan, jika tidak ia hanya memberikan keadilan semu dan dipakai untuk perjuangan kelompok lain yang mengatas namakan perempuan. Perjuangan perempuan dengan berpegang pada adat dan spiritualitas yang esensialistik tidak memandang perempuan secara setara, dan pada akhirnya tidak melihat persoalan secara holistik. Bagi feminisme, perjuangan melindungi alam berbasis keadilan terhadap perempuan dan berani membongkar penindasan patriarkal yang masih bersarang di sana. Saya sepakat dengan Warren yang melihat bahwa seorang ekofeminis haruslah seorang feminis. Logika penindasan hanya dapat dipatahkan dengan mempertahankan argumentasi feminisme. Feminisme adalah upaya untuk melawan naturisme dan esensialisme, yang artinya, ia berupaya menghapus seksisme. Gagasan ini menjadi penting dalam pemikiran ekofeminisme, karena logika ini berhasil mendeteksi bahwa secara konseptual seksisme beririsan dengan naturisme. Jangan sampai kita mempertahankan logika dominasi dalam memperjuangkan alam. Jangan sampai kita menggunakan konsep “ibu bumi” untuk kepentingan budaya patriarki. Menurut saya perjuangan ekofeminisme harus konsisten dan konsekuen barulah ia akan mendekat pada keadilan dan kesetaraan. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|