Dewi Candraningrum (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan & Universitas Muhammadiyah Surakarta) [email protected] Kesadaran Sejarah Palsu
Sejarah bukan merupakan konsep objektif per se, tetapi di dalamnya mengandung konsep dan ruang kritis terhadap narasi, plot dan penokohannya. Ruang kritis ini, sayangnya, telah lama menjadi korban dari dinamika sosial yang menghilangkan mereka dari konten dan konsep tentang sejarah itu sendiri. Ruang yang hilang tersebut melahirkan amnesia sosial, yang kemudian melahirkan kesadaran sejarah yang palsu (pseudo-historical consciousness). Amnesia sosial merupakan terminologi yang diciptakan untuk mengingat apa yang hilang dalam memori kolektif masyarakat. “Amnesia sosial” merupakan represi kolektif masyarakat terhadap ingatan di masa lalu (Jacoby, 1975). Amnesia sosial merupakan hasil dari represi memori yang dipaksakan, ketidakpedulian, perubahan situasi, atau impunitas yang dilakukan oleh kelompok tertentu dalam usaha menghapus jejak kejahatan di masa lalu dalam sejarah. Pemaksaan atas penghapusan memori ini mengubah identitas, dan pada tingkatan terburuk, merusak konstruksi identitas. Usaha-usaha untuk melawan amnesia sosial ini biasanya dilakukan dengan protes, kisah-kisah, memori lokal, nostalgia memori, memorialiasi, dan penulisan karya sastra—jika penulisan sejarah formal tidak dimungkinkan. Amnesia sosial terjadi jika sebuah masyarakat, atau warga negara, mengalami trauma hebat atas kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan oleh aktor-aktor politik atau penguasa sebelumnya. Ia sangat digemari, dan sangat diusahakan oleh penguasa yang memiliki rekam jejak buruk di masa lalu. Amnesia sosial dapat dilawan dengan “politik memori”. Politik memori merupakan alat yang digunakan untuk merekam, mengingat atau mengedit dan mengkonstruksi sebuah versi fakta sejarah yang sebelumnya: dihilangkan, dikaburkan, dan disembunyikan (Nasrallah, 2005). Misalnya, korban-korban perkosaan yang dibungkam, atau orang-orang yang dihilangkan dengan paksa, dan penulisan buku sejarah formal yang tidak mencatat itu semua. Peran dan fungsi politik memori ini adalah menyusun strategi kolektif bagaimana kebenaran objektif dan ingatan dapat dihidupkan kembali. Politik memori ini diusahakan untuk menegakkan keadilan dan merestorasi hak-hak korban yang sebelumnya diabaikan dan ditindas begitu saja. Kerja memori dipengaruhi oleh kekuatan politik dan budaya. Kebijakan pemerintah, aturan sosial, budaya populer, norma-norma sosial memengaruhi bagaimana situasi diingat. Politik memori dipakai untuk melawan fasisme sekelompok masyarakat tertentu, yang atas nama “narasi agung” menjadikan yang lain sebagai entitas minor dan inferior, yaitu “Liyan”. Melawan amnesia sosial merupakan perihal penting dari kesehatan sebuah peradaban, karena yang melupakan kejahatan di masa lalu, biasanya akan mengulangi kejahatan tersebut di masa yang akan datang. Kejahatan perang dan konflik merupakan ladang dari seluruh politik memori, dimana pemenang akan menuliskan sejarah dengan caranya yang tidak objektif. Melupakan, dalam teori psikologi, telah disamakan dengan impunitas—ketakterjamahan pelaku kejahatan terhadap hukuman. Impunitas dan amnesia sosial memberikan jalan kepada penjahat perang, pelaku perkosaan, penjahat kemanusiaan lepas dan melarikan diri dari tanggung jawab hukum yang harus dia pikul. Dan ini sangat berbahaya. Impunitas secara moral dan politik sangat berbahaya bagi kelangsungan sebuah negara, karena dia akan abai, atau bahkan, menjadikan kembali penjahat tersebut sebagai penguasa baru dengan wajah baru yang dipermak. Amnesia sosial ini berbahaya, karena ia dapat dipermainkan oleh praktik-praktik politik dan praktik-praktik kepercayaan yang buruk di masa akan datang. Politik memori perlu dibangun, karena ia berfungsi untuk merehabilitasi dan mengusahakan rekonsiliasi dalam situasi pasca konflik. Bahkan, konflik internal yang sangat kejam di masa lalu dapat disembuhkan dengan politik memori. Dus, sejarah ditulis oleh para pemenang, tak berlaku lagi, bagi sebuah peradaban yang sehat. Jerman merupakan salah satu contoh negara yang menuliskan sejarah dengan menghidupkan memorialisasi-memorialisasi, yaitu mendirikan situs-situs ingatan, baik dalam bentuk fisik, maupun non-fisik. Fisik, misalnya monumen, museum, dan lain-lain. Non fisik, misalnya: penulisan sejarah dengan objektif dan mengakui para Liyan, penulisan buku sastra, pembuatan film, pengajaran sejarah dalam kurikulum-kurikulum sekolah dan universitas, dan lain-lain. Teori bahwa negara besar adalah negara yang agung, terbantahkan oleh satu contoh ini. Negara yang besar, adalah negara yang mengakui kecacatan dan dosa-dosanya di masa lampau. Pulang Melawan Lupa sebagai Museum Aceh Swara perempuan merupakan salah satu lokus yang selama ini banyak dihilangkan dalam penyakit akut amnesia sosial. Mengapa? Karena perempuan sulit menarasikan pengalamannya dalam narasi politik dan narasi formal. Dalam filsafat feminisme, kemudian dikenal, bahwa yang personal atas perempuan merupakan perihal yang politis, the personal is political (yang dipopulerkan oleh Carol Hanisch di tahun 1969). “Memori budaya” perempuan dibangun atas praktik-praktik representasi yang sifatnya personal dan berangkat dari fragmen-fragmen pengalaman. Ecriture feminine (meminjam Helene Cixous), merupakan pengumuman, bahwa yang “rasional” bukan satu-satunya sumber kebenaran. Bahwa “pengalaman” juga merupakan sumber kebenaran. Praktik-praktik sitasi, memorialisasi, jejak-jejak autobiografis baik dalam puisi, novel, drama juga merupakan usaha-usaha perempuan untuk menceritakan, menarasikan, dan menyusun sejarah yang selama ini dipinggirkan oleh sejarah formal negara yang sifatnya masih sangat bias dan patriarkis. … Jangan naif, Tuan gunakan pedang pikirmu membaca realita ini Tentang kemerdekaan dari luka sejarah tentang damai dari kebodohan dan kesewenang-wenangan tentang duduk semeja dengan kaum Cut Nyak Dhien tentang ramuan obat untuk rahim-rahim yang diperkosa tentang tangisan anak dhuafa untuk segelas susu … Zubaidah Djohar: Damai Siapa?, 2010 Kebenaran tidak ditemukan dalam narasi agung dan monumental, tetapi dalam fragmen-fragmen tersembunyi, yang dibisikkan pelan melalui puisi, misalnya. Memori dan konstruksi identitas perempuan diasah melalui narasi-narasi yang mencatat, merekam, menyimpan perkosaan, pelecehan seksual, pembunuhan, penghilangan paksa, penculikan, pemenjaraan yang semena-mena. Dengan ini dia membangun politik memorialisasi yang mencatat waktu dan ruang yang tak mungkin dijamah oleh sejarah formal. “Politik mengingat” ini membantu masyarakat “membaca” memori—bagaimana mereka mengontrol peristiwa-peristiwa traumatik dan penuh kekerasan dengan katarsis dan pelepasan (Nasrallah, 2005). Dan dia juga memaksa peradaban untuk mengingat dan melupakan secara adil (Alcock, 2002). Dengan cara ini nostalgia dibangun sebagai strategi “pendidikan” (paideia, kosa kata Yunani untuk merujuk ini). Museum merupakan perwujudan dari memori yang hidup, demikian rakyat Yunani menyusun strategi tentang kebijakan peradaban. Ini yang belum benar-benar dibangun di Indonesia. Membangun memori yang hidup. Penghargaan terhadap museum. Penghargaan terhadap cerita dan narasi Liyan dalam sejarah. Buku Puisi Perempuan Bisu Pulang Melawan Lupa karya Zubaidah Djohar ini merupakan “museum yang hidup”. Bagaimana trauma perkosaan mendapatkan tempatnya dalam bab-bab narasi sejarah, yang tak mungkin dijumpai dalam sejarah formal Aceh atau Indonesia. Jejak-jejak darah vagina perempuan yang sobek, jejak-jejak tunas yang tumbuh di rahim-rahim perempuan Aceh mendapatkan lembar-lembarnya. Dan darinya pengadilan paling pertama, terhadap penjahat perang, mendapatkan hukumannya—dalam narasi “politik memori”. Membaca, mendengarkan, bagaimana puisi ini dibacakan merupakan sebuah jalan membangun retorika melawan kesewenangan dan ketakadilan zaman. Dengannya, pembaca memberikan telinganya untuk melakukan re-apropriasi bentuk sejarah baru yang lebih adil. Mengapa ini diperlukan? Karena kekerasan, trauma, perkosaan, siksaan, dalam sejarahnya, telah mengubah bagaimana perempuan “mengingat” (Castelli, 2004). Kekerasan mengubah struktur memori perempuan. Mengubah bagaimana dia berpikir, bagaimana dia mengingat. Reproduksi memori merupakan wujud dari reproduksi kekerasan yang pernah ia alami. Percakapan sejarah dapat dimulai dengan autobiografi yang dituliskan melalui puisi atau penulisan diari untuk membantu mengungkap kembali narasi kekerasan itu sebagai figur yang tidak merusak dan melahirkan trauma. Ini merupakan “politik memori” untuk melawan amnesia sosial yang akut dan meliyankan perempuan sebagai korban perkosaan dalam wilayah pasca konflik, seperti Aceh. Dengannya lidah lebih perkasa dari laras senjata. Darinya tulisan merupakan senjata yang digunakan untuk menundukkan kembali kekerasan-kekerasan yang pernah terjadi di masa lalu. … ―dosa atau tembak! katanya jelas, petir itu merobek jiwa namun darahku lebih merah memegang kendalinya Dalam tendanganku yang tak sampai dalam cakaranku yang tak mengelupas tubuhku dirampas! Tuhan, aku bagai najis hingga usia senja, melarut dalam rasa dosa yang tak selesai … Zubaidah Djohar: Inikah Damai itu, Tuan?, 2008 Catatan ZD:“dosa atau tembak” adalah kata-kata yang digunakan oleh tentara sambil menodong senjata ketika akan memperkosa perempuan di masa konflik Aceh. Teknik untuk mengingat kekerasan yang tidak terungkap karena trauma adalah dengan menyatukan kembali fragmen-fragmen luka, dalam ritual atau dalam karya sastra, dalam kisah-kisah sebagai pengungkap fakta kebenaran. Dari sini identitas akan dikonstruksi kembali dengan menceritakan kembali masa lalu yang traumatik tersebut. Sementara “politik memori” ini diusahakan oleh sebagian kecil kelompok perempuan, teknologi untuk melupakan merupakan alat yang sangat mudah untuk dikuasai. Kehilangan ingatan dalam amnesia sosial sebenarnya sangat berbahaya, karena ia melahirkan ketegangan-ketegangan sosial. Ketegangan sosial ini dapat melahirkan kekerasan yang hampir sama di masa lalu, namun dengan bentuk, wajah dan rupa yang berbeda. Dia juga melahirkan rasa takut, dan ketakutan ini kemudian mendistorsi masyarakat bagaimana memandang keadilan. “Kerentanan memori” dapat melahirkan kembali serial ketidakadilan, perkosaan, kejahatan, dan kerusakan-kerusakan kembali di masa yang akan datang. Bagaimana banyak Peraturan Daerah (yang diskriminatif terhadap perempuan): Dilarang Mengangkang, Dilarang Menyanyi Bagi Perempuan Dewasa, dan lain-lain, merupakan “reproduksi kekerasan” yang terjadi di masa lalu, dengan bentuk, wajah, dan rupa yang berbeda, pada masa sekarang. … Diam-diam engkau bergumam : kekerasan yang mana? perempuan siapa? disini, syari’at islam telah bernama berkumandang sampai ke ujungujung desa … Bahkan kelabu di rumahnya sendiri nyak-nyak di pasar, memanggul kehidupan abai dalam jamah qanun kebanggaan Berita kekerasan terus mengemuka di surat kabar kenamaan “ayah memperkosa anak” “teungku melakukan pelecehan seksual kepada santri” “perempuan penyintas konflik kian miskin di masa damai” “perempuan dilecehkan atas nama kitab suci” … Zubaidah Djohar: Nanggroeku, Aceh, 2011 Referensi: Alcock, Susan E. 2002. Archaeologies of the Greek Past: Landscape, Monuments, and Memories. Cambridge University Press. Castelli, Elizabeth. 2004. Martyrdom and Memory: Early Christian Culture Making. Columbia University Press. Djohar, Zubaidah. 2011. Pulang Melawan Lupa. Aceh: Lapena Press. Nasrallah, Laura. “The Politics of Memory” in Harvard Divinity Bulletin Autumn 2005 (Vol. 33, No. 2). Jacoby, Russell. 1975. Social Amnesia, A critique of conformist psychology from Adler to Laing. Boston: Beacon Press. Comments are closed.
|
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|