Bedah Disertasi Neng Dara Affiah “Gerakan Perempuan Muslim Progresif di Indonesia sebagai Gerakan Sosial Baru: Studi Kasus Organisasi-Organisasi di Jawa tahun 1990-2010” (FISIP, Universitas Indonesia). Tempat/Waktu: Utan Kayu, Rabu 29 Oktober 2014 jam 19-22 WIB Pengantar: Nafsu Modernitas Hubungan antara gender, agama dan politik menarasikan kawasan yang memperlihatkan matra interdisipliner yang mewarisi di dalam dirinya perjumpaan paradigma, pertumbuhan teori-teori modernitas dan perkawinan antara kajian wanita dan agama. Tiga kata kunci yang hendak dieksplorasi lebih jauh dalam tulisan ini adalah gender, agama dan politik yang merupakan anak kandung paradigma modernitas. Dalam tiga dekade terakhir modernitas mendapatkan banyak tantangan sebagai sebuah penjelas yang tak mencukupi lagi untuk mendeskripsikan kompleksitas jejak-jejak di masing-masing kategori. Banyak diskusi, baik secara filosofis dan praktis, menarasikan dia sebagai struktur sosial yang terus melakukan evolusinya sekaligus menerjemahkan konstelasi hubungan dan pengalaman manusia-manusia. Tetapi, lagi-lagi, dia tetap mengabarkan kontradiksi, paradoks, dan bukti-bukti bahwa fakta dan pengalaman masih saling melakukan negosiasi dan konstruksi—baik sebagai sebuah fenomena dan sebagai sebuah konsep. Ketiga konsep tersebut, meskipun dapat gagah berdiri sendiri-sendiri, dan mungkin tak saling sapa, tetapi mereka merupakan sebuah entitas yang tak terpisahkan satu sama lain, apalagi apabila dikaitkan dengan pengalaman perempuan dan mereka yang dicap sebagai liyan (gender ketiga, difabel, miskin kota, masyarakat adat, alam, binatang, dan lain-lain). Dari hakikatnya, modernitas memiliki swara multidimensi dan secara inheren mengandungkan di dalam dirinya suatu kontinum yang selalu tergantung dan tak mampu berdiri sendiri—meskipun klaim kelahirannya adalah nafsu besar atas grand narrative. Modernitas telah matang dengan kontradiksi, demikian juga agama dan gender sebagai sebuah konsep yang seringkali digambarkan, dinarasikan, sebagai abadi, tak berubah, berada di luar narasi sosial dan proses kesejarahan, dan lain-lain. Afinitas dalam sebuah definisi, tanpa disadari, mewartakan juga sebuah proses ekslusivisme—yaitu pengusiran atribut-atribut lain atas sebuah kata benda. Dus, dalam definisi menyangkakan sebuah rigiditas. Padahal pengalaman sebuah konsep, yang diekstrasi dari pengalaman-pengalaman manusia, menarasikan sebuah pertumbuhan fokus, lokus, dan tempus—yaitu bahwasanya sebuah definisi dapat tumbuh seiring dengan pertumbuhan konteks (focus, locus, tempus). Bahkan banyak sarjana yang mencoba untuk memberikan informasi detail atas konteks budaya, dapat tersungkur karena lupa mencantumkan narasi sejarah dari sebuah konsep, dus, menjadi ahistoris. Narasi tentang gender tak melulu tentang kontrol patriarki, yang dilemahkan atau kebutuhan untuk kesetaraan—tetapi jauh sebelum dia dieksekusi menjadi naskah setara, perjuangan paling pertama adalah perang-linguistik, yang diawali dengan memenangkan pertandingan dalam linguistics game, yaitu bagaimana politik konsep, kategorisasi dan penamaan kemudian tidak mengembalikan mereka yang liyan dan perempuan dalam perangkap dan penjara yang sama. Tugas ini dimulai dengan konstruksi simultan atas gender, agama dan politik dengan menekankan pada peran dan persepsi perempuan. Sebagai yang saling menjelaskan, kemudian setiap entitas merupakan yang terjelaskan, yaitu realitas yang tak boleh mengandaikan di dalam dirinya sebagai entitas-henti. Mereka bertiga perlu mendeklarasikan diri sebagai sebuah entitas-tumbuh yang rimpang, seperti teks-til, dan memiliki tekstur yang mengadopsi lokus, fokus, dan tempus yang beragam. Prasangka, Stigma, Seteru Gender, agama dan politik sebagai sebuah konsep, disamping dibentuk, mereka juga memiliki tugas untuk membentuk. Mereka membangun institusi kajian masing-masing dan menetapkan paradigmanya dalam kawasan yang seharusnya cair dan bukan seperti dinding beton yang tak berjendela. Dalam praktiknya, ketiga kategori ini hibrid, saling bersirkulasi dalam network tarjamah dan termediasi secara terus-menerus baik melalui narasi verbal, visual dan gerak—yangmana kemudian modernitas sibuk melakukan konstruksi sosial dikotomis dan trikotomisnya (Haraway, 1991; Latour, 1993, Shenhav, 2007). Kategori sosial ini memiliki luaran yang pejal dalam kontestasi kekuasaan dan makna. Dalam konteks ini, ketiga konsep tersebut merupakan penyebab sekaligus simpton dalam pemikiran modern. Klaim teoritis yang terbangun selama ini, atas ketiga kategori tersebut adalah bahwa ketiganya saling berjumpa, saling bersinggungan, dan secara simultan membentuk sebuah keseluruhan atas ruang. Ruang kata-kata yang kemudian dijejali makna-makna, dan lebih-lebih secara politis dijejali oleh stigma, bias dan prasangka. Kata-kata sebagai mula yang otentik, orisinil, mantera awal dari makna-makna mengalami derita hebatnya karena ditimpa kebencian dan tudingan, seperti kasus sebutan Islam liberal atau feminis liberal, misalnya. Sebagai kata benda yang menjelaskan makna, mereka telah terkena stigma buruk yang melupakan perilaku adil manusia atas makna dari kata-kata. Dalam analisis historis, proses sosial atas ketiga kategori tersebut sebagai sebuah kesatuan mengalami konstitusi, rekonstitusi, yang selalu berubah dan sebagai sebuah fenomena sulit untuk diprediksi peri-kehidupannya. Tulisan ini mengkaji bagaimana agama, gender dan politik sebagai sebuah konsep modern tumbuh dan menjadi bagian dari kategori analitis dalam projek pencerahan. Modernitas berasal dari bahasa Latin, modo, yang bermakna, “yang sekarang, yang baru saja terjadi” (Webster). Dus, modernitas identik dan tipikal dengan sesuatu yang “baru”—yang secara inheren terputus dari yang sebelumnya, baik dari gaya hidup, institusi, bentuk pemikiran, dan pengalaman-pengalaman. Pemahaman atas modernitas ini mengidentikkan tradisi sebagai sebuah lawan, sebagai sebuah kelanjutan dari masa yang lalu, kegigihan atas cara-cara, nilai, dan struktur lama. Sedangkan modernitas dibungkus dalam sebuah paket konsep pencerahan (Hamilton 1996: 20), yang terdiri dari ide-ide atas akal, empirisme, sains, universalisme, kemajuan, kebebasan, dan sekularisme (ibid: 23-24). Apa yang dilakukan oleh pencerahan adalah melakukan sistematisasi dan urutan atas segala sesuatu, dengan nafsu dan tendensi berlebihan atas klasifikasi dan kategorisasi. Padahal dasar dari filsafat entitas adalah ketakterjelasannya, ketakterhinggaannya. Ketika modernitas datang, kemudian, mengungkung, memenjara, segala sesuatu dalam saintifikasi kategori, dus sistematisasi segala sesuatu. Dalam hidup dan sesak nafas penjara kategori-klasifikasi ini kemudian lahir stigma, prasangka dan kerakusan manusia dengan kaca-mata kuda, bahwa kategori kemudian disusun dalam sebuah kelas dan hirarki. Yang suci, baik, mulia dan yang tak. Kategori-kategori tersebut mengalami pendarahan hebat akibat mendapat stigma-stigma dan pensifatan negatif meskipun ia sama sekali tak mensifatkan apa yang disangkakan oleh pendakwanya. Manusia modern dicirikan oleh rasionalisasi dan politik simbol yang amat kuat, terutama dalam mengenali liyan dalam proses interaksi, komunikasi, negosiasi budaya. Dalam perseteruan pemikiran, modernitas dalam kerangka sosiologi klasik memiliki empat dimensi, yaitu 1. Diferensiasi struktural (Emile Durkheim); 2. Rasionalisasi, kepahitan atas dunia dan naiknya kapitalisme (Max Weber); 3. Projek penulisan sejarah, transformasi sosial sebagai bagian dari perjuangan kelas antara borjuis kapitalis dan kelas pekerja sebagai wujud ultim dari masyarakat modern (Karl Marx); 4. Bentuk modern dari kehidupan sosial di kota-kota dan waktu yang dibungkus dalam paket-paket pos (George Simmel). Keempatnya memiliki kesamaan persepsi atas linearitas, progresi struktural dari tradisi ke modernitas (Oommen 2005: 151-158). Narasi dominan dari modernitas adalah diferensiasi struktural yang mengimplikasikan transformasi sosial dari yang simpel menuju kompleks, dari komunitas kecil ke interaksi tatap-muka (Gemeinschaft), menuju masyarakat yang luas, kontraktual, dan organisasi sosial yang impersonal (Gesellschaft), dari rural menuju urban, dan yang paling penting dari yang suci menjadi sekuler. Diferensiasi, diversifikasi, spesialisasi, dan fragmentasi merupakan tipe dari kepatuhan atas pranata dan tata sosial modernitas yang memiliki nafsu besar melakukan projek sistematisasi. Pengusiran Perempuan dalam Politik Sistematisasi Modernitas dibimbing oleh rasionalitas yang tak lagi menerima perilaku-perilaku kuno yang harus diadaptasi dengan segala sesuatu yang “menguntungkan” dan efisien (Weber et al, 1992, 1978: 30). Weber melihat bahwa sains dan teknologi telah menggantikan agama sebagai prinsip pengaturan masyarakat. Dalam kapitalisme modern, rasionalitas membangun baik sistem ekonomi dan orang yang mengatur ekonomi (Weber, 1947). Reorganisasi dari aturan sosial ini melahirkan otonomi manusia, yang dituntun oleh akal yang kemudian memilih hubungan kontraktual antar manusia yang memperhatikan kepentingan masing-masing. Dalam hal ini nasib agama dan perempuan dalam struktur masyarakat modern menjadi ganjil, karena kemudian mereka berada dalam margin terluar. Mengapa? Karena takdir, nasib perempuan dalam diskursus modernitas tak mendapatkan tempat, karena dia dinilai tak memiliki kecukupan akal, seperti halnya agama yang hidup berbasis pada ritual-ritual kuno, suci, yang tak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat modern. Asosiasi kultural antara perempuan, yang pribadi, emosi, dan kadang-kadang irasionalitas telah meminggirkan dan mengusir perempuan dalam diskursus sosial dan akademik, bahkan. Bahkan rasionalitas perempuan dicurigai ketika perempuan mulai memasuki arena publik (Hamilton, 1996: 33-35). Dus, pemikiran modern terus memarjinalkan perempuan, dan mengusirnya dari ruang sosial dan dari sumber kekuasaan. Keberadaan dewi-dewi dalam naskah teologi juga mengalami peminggirannya, yang kemudian evolusi dewa-dewa dan kemudian menjadi tuhan-tuhan yang kemudian tunggal dan mendapat atribusi gender laki-laki, saja. Kajian Neng Dara Affiah ini merupakan replika dari politik sistematisasi organisasi perempuan modern dan sebagai sebuah usaha untuk membawa kembali perempuan dalam pusat dari debat, yaitu mengapresiasi relasi resiprokal antara perempuan dan agama. Narasi paling penting adalah menyediakan perspektif baru dan segar atas rasionalisasi gerakan, yaitu marjinalisasi perempuan dalam masyarakat modern. Yaitu dengan menarasikan kontradiksi sosial antar organisasi perempuan yang berseteru, misalnya Fatayat NU dan Aisyiyah vis a vis Wanita HTI. Mereka adalah produk dari rasionalisasi, kategorisasi, dan marjinalisasi perempuan, bersamaan. Mereka, seluruhnya, meskipun saling seteru, adalah perempuan-perempuan yang terbuang, terusir dari sumber kekuasaan dan hirarki otoritas. Mereka, organisasi-organisasi sosial baru perempuan tersebut, meskipun berbeda dan berada dalam kontinuum yang bervariasi, memiliki nasib yang sama—tak memiliki kontrol penuh atas sumber utama kekuasaan dalam masyarakat modern, yaitu politik. Pengusiran perempuan berakar dari peminggiran eksistensi, peran, dan akses perempuan dalam politik bahasa—epistemologi modern mengandung dualisme (Oommen, 2005: 157) dan bersamaan membentuk tak hanya paralelisme tetapi juga hirarki. Yang terakhir inilah kemudian meletakkan perempuan dan para liyan pada jenjang terendah, atau jika memungkinkan tak tercatat, tak terdokumentasi, dan tak masuk dalam grand narrative. Dualisme epistemologi telah dicontohkan sebelumnya yaitu akal versus emosi, individualisme versus kolektivisme, domestik versus publik, suci versus sekuler, dll, seolah bahwa binerisme ini abadi dan universal. Padahal dualisme tak sanggup menjelaskan kompleksitas entitas tatkala dia berada dalam lokus yang berbeda. Apalagi, apabila mereka berbaris dalam hirarki dan derajad yang berbeda. Sejak saat itulah linguistik modern memicu kelahiran kelas, dan pengusiran mereka yang rentan dan dianggap tak kapabel dan tak boleh ada dalam struktur masyarakat modern mulai dilakukan secara sistematis. Separuh dari yang terusir itu adalah perempuan. Dan keseimbangan masyarakat modern mengalami ketimpangannya tatkala privilese dan keistimewaan hanya dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, dan pengalaman manusia tertentu. Ada kehilangan budaya, kehilangan identitas, atas manusia, atas alam dan atas keterhubungan di antara mereka. Agama pun mengalami proses kapitalisasi yang hebat, hingga yang suci, yang transenden berubah menjadi yang dapat dijual, dapat dimasalkan, dapat dipopulerkan, dan dapat dipertukarkan dengan naskah apapun di luar narasi agama. Perempuan dalam relasi antara agama dan politik digambarkan sebagai tidak penting, tidak menggairahkan, berbahaya, gelap, emosional, bebal, malas, dan lain-lain. Untuk mengurangi beban berat kerentanan modernitas mendefinisikan perempuan, Eisenstadt menyarankan untuk tak hanya melihat modernitas di Eropa dan Amerika Utara, tetapi juga belahan dunia yang lain (2002: 2). Akan tetapi, rekonstitusi, multisiplitas lokus budaya dari konsep modern tak banyak membantu dan menolong mereka yang terpinggir, karena paradigmanya menghendaki penyucian diri atas mereka yang tak berguna, yaitu adanya universalisme dan kebenaran yang masuk akal. Yang tak masuk di akal, dus, tak modern. Bagaimana masyarakat mengimajinasikan itu kemudian menjadi penanda imajinasi sosial, yang lagi-lagi, kemudian mengalami kompartmentalisasi dan pengkotak-kotakkan. Kehidupan kolektif sosial ini meliputi praktik, simbol, dan narasi sejarah yang melegitimasi moralitas—dimana perempuan menjadi tokoh utama dalam komoditas, demikian juga bumi dan mereka pula menjadi dosa utama dalam tafsir-tafsir modern atas agama-agama. Keduanya, baik pasar agama dan pasar ekonomi menandai perempuan sebagai komoditas utama, baik sebagai representasi godaan iblis, sekaligus representasi godaan untuk menarik konsumsi lebih tamak, dan tamak lagi. Karena perempuan menjadi komoditas, kemudian perempuan kehilangan otoritas tafsir atas tubuhnya sendiri, demikian juga atas ruang politik agamanya sendiri. Ini yang kemudian melahirkan organisasi sosial baru yang didirikan perempuan untuk melawan tafsir semena-mena atas mereka. Ini kemudian membuka teori kritik atas agensi, bentuk baru mobilitas sosial, rekonseptualisasi modernitas, dus membuka kran definisi dan horizon atas modernitas yang kaku dan menyesakkan (Kamali, 2005; Kamrava, 2006; Kaya, 2004). Tugas dari tulisan ini adalah menambahkan perspektif atas analisis gender sebagai konsep yang dapat memberikan kontribusi pada redefinisi kategori yang disediakan oleh linguistik modern, atas sekularisme, liberalisme, feminisme, yang mendapatkan stigma hebat di Indonesia. Ilmuwan sosial mendeskripsikan modernitas sebagai sebuah proses sekularisasi yang melibatkan ketersebunyian atau kehilangan (Comte), penurunan atau degradasi (Weber), privatisasi (Berger), transformasi (Durkheim) dari agama-agama. Pemisahan antara negara dan agama dan asumsi bahwa manusia telah menjadi lebih tak religius telah diubah oleh rasionalitas, pengetahuan ilmiah, pendidikan humanisme, kapitalisme teknologi, dan birokrasi. Agama tak benar-benar bisa hilang dalam network modernitas. Modernitas, yang pada mulanya, ingin mencekik habis irasionalitas agama, kemudian, justru menumbuh-suburkan agama-agama, misalnya gerakan IM (ikhwanul muslimin) dalam Islam, Kristen Evangelis, dan lain-lain (Davie, 2001; Gorski, 2003; Norris & Inglehart, 2004). Dan peran agama dalam konflik politik juga semakin meningkat di berbagai belahan dunia (Casanova, 1994; Fenn, 2001). Agama menjadi penting dalam: kehidupan manusia modern, identitas kolektif, dan mobilisasi politik, baik yang berujung pada kekerasan maupun perdamaian (Castelli & Rodman, 2001; Davie, 2007; Karam, 2004). Agama kemudian menjadi kekuatan yang bisa saja membebaskan, tetapi juga bisa represif (Castells, 2004). Kajian ini bertugas menggarisbawahi bagaimana status perempuan dalam konstelasi ekspresi politis dalam institusi agama. Ketiga terma: gender, agama dan politik memiliki dua penggerak mesinnya, yang bekerja bersamaan, yaitu proses purifikasi dan proses hibridisasi, yang bekerja secara simultan sekaligus secara kontradiktif (Latour, 1993). Proses purifikasi adalah proses pembersihan, rapih, terstruktur, kategoris, dalam sistematisasi pembentukan institusi dan perilaku. Purifikasi ini membantu untuk mengontrol perilaku manusia-manusianya yang menjadi anggota dalam masyarakat modern. Bagi Latour, ini kemudian mengkhianati konsep dasar modernitas. Dari ini, kemudian modernitas dengan sendirinya, kemudian melakukan purifikasi, repurifikasi, fabrikasi, refabrikasi atas konsep-konsep dan kategori-kategori sosialnya. Konsep Latour ini membantu membedah konstelasi kekuasaan antara tiga kata kunci yang menjadi kajian tulisan ini. Represi Ruang Linguistik Teori feminisme telah memberikan kontribusi kunci atas diskursus modernitas dengan kritik atas dimensi gender biner dan bagaimana pola kekuasaan dibangun di antara keduanya. Analisis gender menarasikan bagaimana dinamika kekuasaan terlampirkan dalam diferensiasi ruang privat dan publik. Divisi-divisi ini kemudian mereproduksi ketaksetaraan, ketakadilan, kejanggalan yang kemudian melakukan devaluasi dan penolakan renumerasi atas kerja-kerja perempuan di rumah, yang juga tereplika ketika perempuan bekerja di rumah perempuan lain (Fraser, 1987; Pateman, 1989; hooks, 1990). Status perempuan yang sebelumnya kuat, melemah dalam struktur masyarakat modern. Perempuan kemudian berterima atas seluruh kondisi-kondisinya dalam pranala kodrat. Bahkan dalam masyarakat liberal, mudah sekali ditemukan bagaimana perempuan terusir dari sumber dan pusat kekuasaan, baik di rumahnya sendiri atau di luar rumah. Modernisme dengan licik menanggalkan maskulinisme dari perempuan, rasionalitas dari perempuan. Juga menanggalkan loyalitas dari laki-laki, emosi dari laki-laki, femininitas dari laki-laki, intimitas dari laki-laki. Baik perempuan dan laki-laki, serta gender ketiga, mengalami perampokan dan reduksi hebat atas sifat-sifat dan karakter dasarnya. Dari penanggalan sifat-sifat ini kemudian kepentingan kapital, dus, uang dihasilkan. Dan lagi-lagi, perempuan mendapatkan lebih sedikit, dan sama sekali tak pernah menjadi aktor utama dari pertaruhan ekonomi modern—karena rahim perempuan hanya bisa melahirkan “cinta” yang kemudian menisbikan “pertaruhan”. Privatisasi agama juga menanggalkan dan meminggirkan perempuan dari pusat kekuasaan atas otoritas tafsir dan ritual-ritual (Helly & Reverby, 1992). Batas antara dua penanda dan dua ruang biner tersebut tak lagi plastis, tak lagi elastis, tak lagi tembus pandang. Segalanya adalah tembok penghalang yang kemudian mendapatkan konsepnya sebagai diskriminasi. Diskriminasi merupakan puncak dari ruang linguistik bagi pengusiran perempuan secara sistematis. Perseteruan keras dalam ruang linguistik atas narasi konsep perempuan dalam agama dan politik ini kemudian memperparah dan mempercepat proses kegilaan sosial: pertama, dengan irasionalitas dan emosinalitas yang berlebihan; kedua, yang tradisional semakin mengeras; ketiga, ruang privat menjadi kepanjangan tangan dari ruang publik yang diperlakukan secara semena-mena. Ini kemudian menghilangkan kontrol perempuan atas dirinya, atas rumahnya dan bahkan menghilangkan kontrol agama atas dirinya sendiri. Dalam naskah modernitas, tak hanya perempuan yang terusir, tetapi agama juga mengalami persoalan serupa. Apapun tafsirnya, dia harus masuk akal. Agama mengalami disfungsi dan devaluasi. Demikian juga perempuan (Ahmed 1992; Castelli & Rodman 2001; King 1995; Meyers & Dinan 2001; Woodhead 2001). Yang mengalami nestapa tak hanya perempuan, tetapi juga sejarah paling mula dari agama-agama—dimana para perempuan, mereka yang liyan, terusir dari tafsir-tafsir baru (baca, proses tekstualisasi/litererisasi), dus menghilangkan “cinta & kasih” dari agama. Dalam banyak penelitian yang membahas perempuan dalam relasinya dengan agama dan politik, amat jarang meletakkan perempuan sebagai agen aktif dalam perjuangannya. Naskah disertasi ini mencontohkan bagaimana perempuan bergerak melawan dan berswara untuk dirinya menuju sumber-sumber kekuasaan, atas tafsir, atas politik kenegaraan. Buku-buku sebelumnya yang banyak membahas perempuan sebagai agen politik dalam gerakan religius juga telah ada dalam lokus yang berbeda dari Indonesia, yaitu di Timur Tengah (Epstein 1981; Mahmood 2005; Deeb 2006). Tulisan ini berangkat dari asumsi dan pembuktian teoritis, serta masukan data disertasi ini, bahwa gender, agama dan politik bukanlah entitas-habis (esensialis), tetapi sebagai sebuah dimensi yang dapat berubah sesuai dengan pelekatan waktu, tempat dan lokasi kesejarahannya. Daripada memakai dikotomi, tulisan ini mendekati ketiga konsep tersebut dengan hibridasi dan fabrikasi. Hibriditas dapat hadir dalam hubungan antar kesejarahan dan lokasi waktu. Hibriditas tak hanya lahir dari perkawinan dua entitas tetapi juga “kelahi & seteru” antar keduanya. Kajian ini menyadari bagaimana rejim gender dalam konfigurasi politik kenegaraan dan keagamaan masih kuat menindas perempuan dan liyan. Tugas tulisan ini adalah menemukan agensi perempuan dalam fabrikasi kekuasaan itu. Tulisan ini tak hanya menyadari sepenuhnya bagaimana agama dan politik telah membentuk perempuan dan menyediakan relasi-relasi gender, tetapi juga terlebih menyadari bahwa perempuan juga membentuk, menyediakan, dan melakukan perubahan dan tranformasi atas pola-pola hubungan kekuasaan dan pola relasi gender. Analisis gender tak hanya menyediakan jawab atas persepsi dan peran perempuan dalam relasi itu, tetapi juga menyediakan penyebab mengapa gerakan perempuan terpecah-belah, misalnya: apa yang membuat mereka saling tak setuju, apa yang membuat mereka saling berlawanan atas isu tertentu, misalnya aborsi, dll. Dinamika relasi antar organisasi perempuan menunjukkan relasi kekuasaan, pertempuran, perseteruan, konsiliasi, rekonsiliasi, dll, yang terangkum dalam waktu, tempat dan konteks sejarah yang berubah-ubah dan tumbuh menerus. Tulisan ini tak hendak melakukan pemetaan, tetapi menunjukkan bagaimana politik dan permainan bahasa dalam lanskap linguistik modern dapat mengakibatkan ketaksalingpahaman dan keterputusan komunikasi abadi antara laki-laki dan mereka yang berada dalam ruang pengusiran linguistik. Negara (dalam logika administratif) dalam ketiga konsep ini mengalami perubahan makna dan negosiasi kekuasaan (Connell, 1990; Pierson, 1996). Dengan mengafirmasi bahwa gender dipahami sebagai pengetahuan yang menarasikan relasi kekuasaan berdasarkan makna-makna yang diasumsikan dari perbedaan-perbedaan narasi tubuh (Fuchs-Epstein 1988; Lorber 1994, 2005), tulisan ini menyadari sepenuhnya untuk mencatat pengalaman, kejadian, dan konstruksi sosial-kultural sebagai bagian dari disposisi feminisme untuk mengeluarkan perempuan dan liyan dari ruang pengusiran linguistik yang demikian represif—memerdekakan perempuan dari kategori yang menyesakkan. Dus, kajian ini menyadari sepenuhnya bahwa filsafat bahasa yang menandai kelahiran ketiga terma tersebut masih phallogosentris, yang mengafirmasi pengalaman dan praktik maskulin, saja. Penutup: Hasrat Kristeva Organisasi-organisasi perempuan baru yang dinarasikan dalam disertasi ini mereplika cermin-cermin yang disediakan dalam logos maskulin. Perempuan bertempur, berseteru, saling kerjasama, saling bermusuhan, melakukan negosiasi politik dalam gaya-gaya maskulin. Perempuan dengan tak-sadar, separuh-sadar, sepenuhnya-sadar, mengafirmasi tindak-tanduk yang sesuai dengan akal publik dan akal organisasi modern. Perempuan menerapkan, mengafirmasi, dan mengadopsi kosa-kata developmentalis yang nota bene, bisa jadi, tak ramah pada pengalaman-pengalamannya sendiri. Dalam filsafat feminisme, dikenal istilah Écriture Feminine, yang merujuk tulisan perempuan. Perempuan di sini bukan kata benda, tetapi sebagai atribut, sebagai inskripsi atas tubuh perempuan dalam bahasa dan teks. Istilah ini dikembangkan pada awal tahun 1970-an terutama oleh Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julia Kristeva. Menurut mereka realitas maskulin mendominasi dalam realitas bahasa. Segala sesuatu yang dipelajari dalam bahasa merupakan perspektif laki-laki karena ekspresi bahasa perempuan dilihat tak masuk akal, emosional, dan kemudian tak penting. Dalam penamaan nama organisasi, kemudian, perempuan banyak mengadopsi kultur ini supaya organisasi mereka dianggap penting. Dalam The Laugh of Medusa (1975) Cixous tegas menekankan bahwa perempuan harus menulis dirinya sendiri, berangkat dari tubuhnya, dan perempuan tak perlu menceraikan pengalaman tubuhnya sendiri itu seperti halnya pengalaman laki-laki. Tubuh perempuan adalah pengalaman paling pertama, paling kaya yang dapat dinarasi ulang. Telah lama ekspresi-ekspresi tubuh perempuan dan hasrat-hasratnya diserupakan kapital, dus barang, dia kemudian menjadi yang diceritakan, dinarasikan, baik melalui kebijakan sampai dengan iklan. Khasanah ini meminta dengan sangat kepada tubuh untuk menceritakan dirinya sendiri, sebagai subjek yang utuh. Dia menghargai pengalaman tubuh sebelum ada bahasa, mengapresiasi non-linearitas, sirkulasi hormon, dan menjadikan organ-organ reproduksinya—yang sebelumnya disembunyikan oleh nalar-bahasa—sebagai modus ekspresi. Dia menyadari sepenuhnya bahwa bahasa bukanlah medium netral dan terus-menerus mencurigainya sebagai tak netral-gender. Bahwa kemudian perempuan dapat menemukan dirinya sendiri sebagai yang tak terpikirkan, tak terkatakan, via kata-kata, dan karenanya kemudian perempuan ada. Semiotika Kristeva dibangun dari perlawanannya atas Ferdinand de Saussure yang meletakkan pengalaman seluruh manusia pada fase pra-Oedipal sebagai fase indah, dimana pengalaman manusia bergantung pada insting, yaitu prosodi bahasa. Hasrat-hasrat manusia yang utuh, tak tercela, tak terpolusi akal ini bersifat ritmis dengan penanda tekanan, intonasi, atas ironi, sarkasme, kontras, fokus, dan elemen lain dalam grammar dan kosa-kata yang sungguh-sungguh murni. Saat fase ini, peran rahim, pengindukan, penyusuan dari ibu menghantarkan anak-anak manusia kemudian kepada rahim sosial yang bersifat amat kompetitif, rasional, sok-netral, birokratis dan formal a la Freudian. Segala yang puitis, ritmis, kemudian kehilangan struktur kekuasaannya dalam ekspresi rasional, yang kemudian mengalami pengusiran dalam kotak-kotak dan apartemen baru. Pengenalan pertama diri manusia adalah ketika anak-anak menghadap cermin, pada saat itulah fungsi sosial dari diri memisahkan-menceraikan status “hasrat-bahasa” pada “logika-bahasa”. Kemudian hadirlah ruang simbolik. Kemudian pertarungan simbolik ini difasilitasi oleh politik bahasa. Perempuan, dan organisasi-organisasi yang didirikan perempuan, sesungguhnya, sedang bermain-main dengan alat yang digunakan oleh laki-laki sebelumnya. Selama dia belum menggali pengalamannya sendiri, dia belum akan menemukan kemenangan atas dirinya sendiri untuk sampai pada subjektivitas, kalau tidak jatuh dalam proses abjektivitas (meminjam Kristeva, dalam perpisahan diri anak setelah melihat cermin). Dalam Desire in Language (1980), Kristeva menjelaskan bahwa dalam fase anak sebelum bertemu dengan cermin, anak-anak murni menjadi “subjek-tutur”, setelah menatap cermin—siapa pun dia, baik laki-laki, perempuan atau minoritas seksual—kemudian akan mengadopsi kultur dan nilai maskulin yang telah lama dirintis oleh sang “ayah”. Mereka kemudian tak lagi menjadi subjek-tutur, mereka adalah “abjek-tutur”. Hasrat utama Kristeva adalah mengembalikan ekspresi bahasa perempuan paling pertama, yang telah terepresi sepanjang zaman dan terperangkap dalam logika simbolik yang maskulin melalui semiotika. Dia ingin mengembalikan estetika bahasa yang mengalami rasionalisasi parah oleh modernitas. Kemerdekaan bahasa ditandai oleh daya pikatnya yang berangkat tak hanya dari daya serapnya atas energi maskulin, tetapi juga kontinuum antara yang maskulin dan feminin. Bahwasanya segala sesuatu tak melulu berada dalam bi-polarisasi yang menyesakkan, tetapi yang membebaskan manusia dari abjektivasi dirinya sendiri, juga objektivasi apa-apa dalam simbolisasi bahasa. Kristeva mengguncang pra-konsepsi atas konsep-konsep, dus mengembalikan makna pada si empu, si pencipta bahasa, yaitu manusia. Dia menghilangkan beban, represi, penghilangan dan proses-proses ketersembunyian perihal di luar rasionalitas. Dia terus-menerus mencurigai apa-apa yang diberikan oleh bahasa secara definitif, dengan mendayagunakan nalar istingtif, nalar hasrat, juga nalar dari keringat pengalaman. Dari sini silsilah kata-kata, akar makna, dicurigai secara abadi jika tak mengemban amanat adil. Dus, aksioma-aksioma tak boleh semena-mena menetapkan kategori-kategori dan politik bahasa adalah sebuah permainan liar yang pada pandangan pertama menolak untuk didefinisikan. Dus, menolak sistematisasi. Karenanya politik bahasa diturunkan dalam politik linguistik yang selalu bekerja untuk terus bertanya: apa, kapan, dimana, siapa, mengapa, bagaimana, dengan cara apa, dan lain-lain. Sejarah bahasa ini membawa investigasi kepada ketiga konsep: gender, agama dan politik pada tak hanya kontestasi makna, tetapi juga, paling penting, “kontestasi eksistensi”. Pertanyaannya adalah apakah perempuan benar-benar dapat eksis dengan mengadopsi logika maskulin dalam linguistik modern? Apakah perempuan telah membangun tradisi percakapannya sendiri untuk mereprentasikan ruang-ruang simbolik dalam memperjuangkan naskah-naskah ideologisnya? Apakah perempuan kemudian, menjadi lebih piawai, dalam mengadopsi, melakukan praktik-praktik kebahasaan yang tak mengafirmasi pengalaman-pengalaman tubuhnya sendiri? Seperti bahwasanya, apakah memungkinkan bagi perempuan menyusui bayinya dalam ruang pertemuan organisasi yang mereka bangun sendiri? Apakah sesama perempuan kemudian saling melarang perjumpaan intim antara balita dan dirinya dalam ruang-ruang kerja dari organisasi yang dia bangun sendiri? Apakah perempuan-perempuan tunduk, dan selalu mengiyakan arus, migrasi, dan impor konsep-konsep baru yang dilahirkan dalam khasanah lanskap teori pembangunan? Apakah perempuan-perempuan sudi, mau, rela, menggunakan bahasanya sendiri, ekspresinya sendiri, yang di dalamnya mengandung kata-kata, yang bahkan, dalam terminologi filsafat “barat”—hampir-hampir tak terjelaskan, tak ter-tarjamah-kan? Apakah perempuan menyadari sepenuhnya bahwa modernitas menawarkan banyak kompartmentalisasi dan bersamaan ghettoisasi atas bahasa-bahasa “lisan”, “lokal”? Bagaimana perempuan menamai dirinya, organisasinya, ideologinya, gerakannya? Dan lain-lain. Daftar Pustaka Affiah, Neng Dara. Disertasi “Gerakan Perempuan Muslim Progresif di Indonesia sebagai Gerakan Sosial Baru: Studi Kasus Ogranisasi-Organisasi di Jawa tahun 1990-2010” di FISIP Universitas Indonesia, Oktober 2014. Ahmed, Leila. 1992. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. New Haven, CT, and London: Yale University Press. Casanova, Jose. 1994. Public Religions in the Modern World. Chicago and London: University of Chicago Press. Castelli, Elizabeth A., and Rosamond C. Rodman. 2001. Women, Gender, Religion: A Reader. New York: Palgrave Macmillan. Castells, Manuel. 2004. The Power of Identity. Cambridge, MA, and Oxford: Blackwell. Connell, Robert W. 1990. The State, Gender and Sexual Politics. Theory and Society 19: 507–44. Davie, Grace. 2001. The Persistence of Institutional Religion in Modern Europe. In Peter Beger and the Study of Religion, ed. Linda Woodhead, Paul Heelas, and David Martin, pp. 101–11. London: Routledge. Deeb, Lara. 2006. An Enchanted Modern: Gender and Public Piety in Shi’I Lebanon. Princeton, NJ: Princeton University Press. Eisenstadt, Shmuel Noah, ed. 2002. Multiple Modernities. New Brunswick, NJ: Transaction Publishers. Eisenstadt, Shmuel Noah. 2005. Modernity in Socio-Historical Perspective. In Comparing Modernities: Pluralism versus Homogeneity, Essays in Homage to Shmuel N. Eisenstadt, ed. Eliezer Ben Rafael and Yitzhak Sternberg, pp. 31–56. Leiden, Boston: Brill. Epstein, Barbara Leslie. 1981. The Politics of Domesticity: Women, Evangelism, and Temperance in Nineteenth-Century America. Middletown, CT; Irvington, NY: Wesleyan University Press; distributed by Columbia University Press. Fenn, Richard K. 2001. The Blackwell Companion to Sociology of Religion. Oxford, UK, and Malden, MA: Blackwell Publishers. Fraser, Nancy. 1987. What’s Critical about Critical Theory? The Case of Habermas and Gender. In Feminism as Critique: Essays on the Politics of Gender in Late-Capitalist Societies, ed. Seyla Benhabib and Drucilla Cornell, pp. 31–56. Minnesota: University of Minnesota Press. Fuchs-Epstein, Cynthia. 1988. Deceptive Distinctions—Sex, Gender, and the Social Order. New Haven, London, New York: Yale University Press and Russell Sage Foundation. Gorski, Philip S. 2003. Historicizing the Secularization Debate: An Agenda for Research. In Handbook of the Sociology of Religion, ed. Michele Dillon, pp. 110–22. Cambridge: Cambridge University Press. Hamilton, Peter. 1996. The Enlightenment and the Birth of Social Science. In Modernity, An Introduction to Modern Societies, ed. Stuart Hall, David Held, Haraway, Donna. 1991. Simians, Cyborgs and Women: The Reinvention of Nature. London: Free Association Book. Helly, Dorothy O., and Susan M. Reverby. 1992. Gendered Domains: Rethinking Public and Private in Women’s History: Essays from the Seventh Berkshire Conference on the History of Women. Ithaca, NY: Cornell University Press. hooks, bell. 1990. Yearning—Race, Gender, and Cultural Politics. Boston: South End. Kamali, Masoud. 2005. Multiple Modernities, Civil Society and Islam: The Case of Iran and Turkey. Liverpool: Liverpool University Press—Studies in Social and Political Thought. Kamrava, Mehran. 2006. The New Voices of Islam: Reforming Politics and Modernity: A Reader. London, New York: I. B. Tauris. Karam, Azza M., ed. 2004. Transnational Political Islam: Religion, Ideology and Power. London, Sterling, VA: Pluto Press. Kaya, Ibrahim. 2004. Modernity, Openness, Interpretation: A Perspective on Multiple Modernities. Social Science Information 43: 35–57. King, Ursula, ed. 1995. Gender and Religion. Oxford, UK, and Cambridge, MA: Blackwell. Kristeva, Julia. 1986. “Revolution in Poetic Language.” The Kristeva Reader. Ed. Toril Moi. New York: Columbia University Press. 89-136. Kristeva, Julia. 1980 (later Ed.). Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. NY: Columbia UP. Latour, Bruno. 1993. We Have Never Been Modern. Cambridge, MA: Harvard University Press. Lorber, Judith. 1994. Paradoxes of Gender. New York, London: Yale University Press. ––––––. 2005. Breaking the Bowls—Degendering and Feminist Change. New York, London: W. W. Norton. Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton, NJ: Princeton University Press. Meyers, Deborah, and Susan Dinan. 2001. Women and Religion in Old and New Worlds. New York: Routledge. Merriam-Webster Online Dictionary. 2009. http://www.merriam-webster.com/dictionary/modern. Accessed October 14, 2014. Norris, Pippa, and Ronald Inglehart. 2004. Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide. Cambridge and New York: Cambridge University Press. Oommen, T. K. 2005. Challenges of Modernity in an Age of Globalization. In Comparing Modernities: Pluralism versus Homogeneity, Essays in Homage to Shmuel N. Eisenstadt, ed. Eliezer Ben Rafael and Yitzhak Sternberg, pp. 150–69. Boston: Brill. Pateman, Carole. 1989. Feminist Critiques of the Public/Private Dichotomy. In The Disorder of Women: Democracy, Feminism and Political Theory, ed. Carole Pateman, pp. 118–40. Cambridge: Polity Press. Pierson, Christopher. 1996. The Modern State. London and New York: Routledge. Shenhav, Yehouda. 2007. Modernity and the Hybridization of Nationalism and Religion: Zionism and the Jews of the Middle East. Theory and Society 36: 1–30. Taylor, Charles. 2002. Modern Social Imaginaries. Public Culture 14: 91–124. Thompson, Elizabeth. 2003. Public and Private in Middle Eastern Women’s History. Journal of Women’s History 15: 52–69. Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organizations. Glencoe, Scotland: Free Press and the Falcon’s Wing Press. Weber, Max, Guenther Roth, and Claus Wittich. [1922] 1978. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press. Woodhead, Linda. 2001. Feminism and the Sociology of Religion: From Gender-Blindness to Gendered Difference. In The Blackwell Companion to Sociology of Religion, ed. Richard K. Fenn, pp. 67–84. Oxford, UK, and Malden, MA: Blackwell.
1 Comment
Leave a Reply. |
AuthorDewan Redaksi JP, Redaksi JP, pemerhati masalah perempuan Jurnal Perempuan terindeks di:
Archives
July 2018
|