Ketika saya sedang dalam keadaan terpuruk, orang yang pertama saya ingat adalah mama. Namanya juga manusia, pas sudah susah dan sedih baru ingat sama mamanya. Bahkan dari kecil saja kalau kita nangis, yang kita panggil pasti ‘mama’. kalau kita jatuh pasti mengadunya ke mama. Untuk saya mama itu adalah pedoman kehidupan saya. Ya, memang sering diingat ketika sedang meratapi nasib. Mama selalu berusaha ada di saat saya susah ataupun senang. Mama selalu ngajak anak-anaknya senang bareng-bareng. Tapi anaknya, kalau lagi senang lupa sama mamanya. Yang diajak justru temannya lagi, temannya lagi. Saya jadi teringat kelakuan saya di zaman dulu terhadap mama saya. Waktu remaja saya jarang ada di rumah, sering ngelawan. Apalagi kalau saya sudah main sampai malam, telepon mama tidak pernah saya angkat. Saya sengaja tidak angkat karena takut disuruh pulang. SMS mama biasanya berisi, “Pulang, Mbak”. Tapi bukannya pulang, saya justru bermalam di rumah teman. Besoknya ketika sampai rumah dan ketemu mama, mama sedikit mengomel atau mendekati saya untuk menasehati. Mama tidak pernah marah. Tapi kalau sudah cuek ke saya, nah, itu artinya mama sudah marah sekali sama saya. Kalau sudah begitu, rasanya tidak enak sekali. Kalau diingat-ingat tentang bagaimana kelakuan saya waktu dulu itu memang bikin kesal sendiri. Gimana mama ya, yang menghadapi saya ketika itu? Tapi itu kan dulu, waktu saya belum sadar. Sekarang saya banyak belajar dari mama. Apalagi pas saya sudah punya anak. Tadinya saya tidak pernah curhat dengan mama karena jarang sekali berada di rumah. Sekarang, mama jadi teman sharing tentang segalanya, tentang anak, tentang bagaimana membangun keluarga. Mama juga jadi cerita tentang kejadian-kejadian yang sebelumnya mama tutupin sejak saya kecil karena tidak ingin anak-anaknya resah, tentang keretakan rumah tangga mama. Ternyata mama bisa menjadi teman untuk saya. Telat sekali saya menyadarinya. Tapi tidak apa-apa. Kata mama, “Gak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik”. Di momen seperti ini membuat saya flashback lagi ke masa lalu. Asal-muasal kenapa waktu remaja saya jarang ada di rumah, Itu karena dari kecil tidak pernah ada orang tua di rumah. Adanya bibi dan adik saya yang juga sibuk sekolah. Dulu waktu SD, ibu guru pernah bertanya, “Kamu kalau besar mau jadi apa?”. Saya menjawab, “Jadi pramugari seperti mama”. tapi mama jarang ada di rumah waktu saya kecil. Saya selalu sama bibi. Beranjak SMP, kalau guru tanya hal yang sama, jawaban saya berubah menjadi, “Pengusaha sukses”. Lalu, guru akan bertanya kembali, “Kenapa tidak jadi pramugari saja seperti mamanya?”. Saya hanya diam dan menggelengkan kepala saya. Di dalam hati saya menjawab, “Karena kalau jadi pramugari seperti mama nanti jarang ada di rumah”. Begitu pemikiran saya waktu saya remaja. Pemikiran egois yang membuat saya jadi tidak bisa dinasehati sama orang tua. Nyatanya pada saat itu, mama sedang terpuruk dan sedang berjuang keras untuk mempertahankan keluarga karena kesalahan yang papa saya buat. Mama berjuang mempertahankan hati yang hancur, status, dan perekonomian keluarga. Dan mama tidak ingin anak-anaknya ikut terpuruk dan kesusahan. Kalau diingat saya jadi menyesal sendiri. Dulu waktu remaja sangat nakal dan tidak mendengarkan apa kata mama. Mama yang lagi terpuruk pun harus lebih bersabar menghadapi kelakuan saya yang tidak bisa dibilangin. She is my real Wonder Woman. Apa yang sudah dilalui bersama mama menjadi pelajaran berharga untuk saya. Tidak sampai di sini saja rasa kagum saya kepada mama. Sekitar tiga tahun dua bulan yang lalu, ketika pertama kali tangan ini terborgol, saya menangis. Bukan karena narkotika yang tertangkap, tapi perasaan menyesal karena telah mengecewakan mama. Saat itu saya tidak kuat untuk menatap mata mama yang berkaca-kaca. Saya bingung dan langsung nangis seketika. Saya tidak peduli dilihat oleh banyak orang yang kunjungan. Saat-saat itu adalah saat yang sangat terpuruk yang saya alami. Saya semakin bergetar ketika mama mulai peluk saya dengan erat. Saya merasa sangat bersalah, lebih merasa bersalah daripada dihukum sama hakim. Rasanya sakit sekali melihat mama menangis. Sambil dipeluk, mama berkata, “Mbak pasti kuat. Mbak gak boleh nyerah, gak boleh putus asa. Mbak anak mama yang paling kuat, pasti bisa melewati ini semua. Mbak yang pilih jalannya, harus tanggung resikonya.” Speechless banget mendengarnya. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Air mata yang turun justru semakin deras. Kalimat mama selalu saya pegang untuk menguatkan saya setiap kali saya mulai ragu dan sedih. Mama selalu hadir bahkan ketika saya berada di titik nol. Mama yang membuat saya bertahan. Mama yang akan mengulurkan tangannya untuk mengangkat saya, di saat orang lain tidak memedulikan saya. Selama saya di sini pun, mama tidak berhenti untuk mendukung saya. Inilah yang membuat saya ingin menjadi orang yang tabah, sabar, dan kuat seperti mama. Pedoman kehidupan saya. Catatan: Tulisan ini merupakan hasil karya dari narapidana perempuan yang mengikuti kelas menulis #SURATPROJECT #SuaraPerempuanDariBalikSekat yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, LBH Masyarakat, Magdalene.co, dan Konde.co di dalam Lapas. Nama penulis yang tercantum adalah nama pena yang telah disetujui secara sadar oleh para Narapidana, dimana kami selaku penyelenggara program sebelumnya telah memberikan informasi dalam lembar persetujuan publikasi.
Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |