Oleh Dian Paramita Sastrowardoyo Setiap kali sebuah mikrolet berlalu di hadapanku, aku tak bisa tak teringat masa kecilku. Masa-masa ketika aku mengisi siang yang terik dan sepi dengan bermain dengan bonekaku. Di dalam kamar itu. Siang itu sama seperti hari-hari sebelumnya, aku asyik menyisir rambut Barbie, yang rambutnya kelak dipotong lagi setelah sekian kali berganti model, tanpa merasa kesepian. Selalu saja ada ‘seseorang’ yang kurasa menemaniku. Aku cukup menikmati saat-saat seperti itu. Aku rasa mbak Tri, asisten rumah tangga kami, tidak memahami apa saja yang sedang berlangsung di dalam kepalaku, termasuk ketika dia sering menemukan aku tengah berbicara sendiri dalam kesendirian. Bagiku, dia yang selalu ada bersamaku adalah seseorang yang seperti seorang kakek tua dengan wajah ramah, berambut putih, berbadan tinggi besar, gagah dan tampan serta memiliki tatapan lembut yang memberikan rasa tenteram dan selalu menjagaku setiap saat.
Tentu saja aku tidak pernah melihatnya kasat mata, namun gambaran sang Kakek selalu ada di kepalaku. Kadang gambaran itu jelas, sesekali samar. Yang pasti, aku tahu aku tidak pernah sendirian. Dan sang Kakek selalu ada. Di saat itu, seperti anak-anak lainnya yang membutuhkan sosok pelindung . Di dalam pelajaran agama, kami belajar tentang Tuhan yang berbicara dalam mimpi Yusuf; Tuhan yang sama yang mengajari nabi Musa untuk bagaimana cara berbicara pada Firaun. Aku juga ingin Tuhan itu pun menjadi sahabatku; yang bisa mengajariku bagaimana aku perlu menjalani hari demi hari, Tuhan yang bahkan dapat mengajari apa pun yang perlu aku ketahui dalam hidup ini; Tuhan yang dapat menemaniku dalam hari-hari yang sepi, Tuhan yang sering sekali membuat aku percaya bahwa ada rencana besar dalam hidupku. Tak jarang aku percaya bahwa mungkin setiap orang mempunyai tugasnya masing-masing dalam hidup. Sejak kecil aku percaya bahwa aku mempunyai peran untuk berbuat sesuatu. Pencarianku tentang peranku, tentang Tuhan kuperoleh melalui jalan panjang dari keluargaku yang penuh warna. Mereka adalah orang-orang yang rajin berdoa, sementara aku sangat sulit mengikuti rangkaian doa panjang itu. Misalnya, aku merasa tidak mungkin bisa serajin Bapak yang kian merapalkan doa Buddha Niciren dengan mengulang kata-kata dalam Bahasa Jepang “Nam..Hyo..Ho..Reng Ge Kyo..” sebanyak ribuan kali setiap hari. Aku ingat saat Bapak pernah mengajariku bagaimana sembahyang dalam caranya, sebanyak itulah ucapan mantra itu terus diulang-ulang olehnya, kurang lebih sekitar satu setengah jam lamanya Bapak dan aku bersimpuh dalam duduk bersila. Bukan main, betapa aku tak bisa melupakan bagaimana aku tak merasakan kakiku sendiri setelah duduk bersimpuh sedemikian lama bersamanya. Lain halnya dengan Bapak yang selalu sembahyang di rumah, Ibu, Eyang Putri, dan para tante tidak pernah absen ke gereja untuk ikut Misa di Minggu pagi. Setiap pagi di hari kerja, Eyang Putri bahkan sebisa mungkin akan menyempatkan diri untuk mengikuti Misa pagi harian yang berlangsung jam enam pagi. Aku mungkin tidak hafal beberapa doa panjang di gereja seperti doa “Aku Percaya”, dan beberapa doa panjang lainnya yang biasa dilakukan Eyang dan para tante. Pernah di suatu pagi dalam perjalanan ke sekolah, lengkap dengan seragam dan tas di punggung yang cukup berat, aku mengintip dari pojok pintu belakang gereja. Sekolahku memang bersebelahan persis dengan gereja. Eyang Putri tampak sedang menerima komuni berbaris ke depan altar gereja di mana seorang Pastor sedang membagikan kepingan biskuit beras kecil dari cawan perunggu besar. “Seperti apa ya rasanya Eyang makan hosti setiap hari?” tanyaku suatu hari. “Ya enak aja, kan seperti sarapan setiap pagi saja, tidak enak kalau belum sempat,” jawab Eyang Putri sambil memamerkan muka bangga seakan-akan dia adalah orang paling suci di keluarga ini. Aku merasa, Eyang menganggap dirinya terlalu tinggi dan tidak menyadari bahwa Tuhan yang dia kejar- kejar setiap pagi jauh-jauh ke gereja itu selalu berada bersamaku dalam perbincangan-perbincangan kami sehari-hari. Di mana pun. Semudah berbisik di siang hari, ataupun berpikir di sela tidurku, aku merasa Tuhan mendengarnya dan bahkan memberi jawaban. Hari Minggu, aku ikut seluruh keluarga ibu mengikuti misa di gereja. Mereka menyanyikan lagu demi lagu yang sudah mereka hafal luar kepala. Tante Ros dan Tante Nike berlomba-lomba mengeras-ngeraskan suara mereka. Tante Darsih dan Tante Min yang kemudian selalu memecah diri menjadi suara tinggi dan suara rendah seakan-akan mereka adalah kelompok akapela yang terlatih. Ibu yang kemudian bingung mau ikut nada rendah atau nada tinggi dan akhirnya menyanyi dengan nada yang sedikit sumbang, karena masih sibuk mencari-cari nada yang sesuai dengan chord yang dimainkan oleh organ. Eyang Putri yang menyanyi sambil memasang muka cemberut dan pura-pura tidak mengenal kelima putrinya, karena terganggu dengan kehebohan mereka yang mengundang terlalu banyak perhatian dari seluruh pengunjung gereja. Belum lagi Tante Nike yang ternyata lupa memakai beha, hingga Eyang Putri terlihat malu menghadapi pimpinan kelompok doa pada hari itu. Aku menangkap dalam pandanganku bagaimana pemimpin kor resmi gereja yang ikut terganggu dengan nyanyian sumbang ke lima perempuan di baris pertama gereja pagi itu. Sulit sekali menahan diri untuk tidak jengkel pada keluarga Susilo yang anggotanya perempuan semua dan suaranya mengalahkan anggota kor yang sudah menggunakan mikrofon sekali pun. Siang itu sepulang dari gereja aku menonton televisi bersama Bapak di rumah. “Pak...... dulu Bapak kenapa memilih Buddha? Bapak terdiam, lalu menjawab dengan serius. “Dulu waktu Bapak masih SMA, Bapak pernah jadi gelandangan di Santa Monica...” Aku mendengarkan kalimat Bapak, menanti apa yang terjadi padanya. “Bapak nggak bisa pulang, uang Bapak habis. Bapak kelaparan sekali dan, sempat hampir mati, Sinar.” Selanjutnya, Bapak menceritakan bagaimana ia dibantu seorang biksu yang memberinya makan dan tempat tinggal. Sejak itu, Bapak yakin, “Inilah jalan Bapak,” katanya dengan raut muka yang tak bisa menahan senyum dengan mata yang teduh. Pandangannya terlempar jauh pada gambaran sebuah masa lalu yang sangat dekat di hatinya. “Di situ Bapak merasakan rasa manis sekali di dalam hati. Bapak tahu betul itu adalah tandanya.” Aku membayangkan seperti apa rasanya, manis tapi dirasakan di dalam hati. Jangan-jangan sebenarnya di sana juga terdapat indra perasa yang belum pernah dibahas oleh guru di kelasku. Di hari berikut, di sekolah, seluruh murid diharuskan membawa bekal makan siang dari rumah. Sebelum makan ibu guru memimpin doa untuk mensyukuri makanan masing-masing. Aku mengintip teman-teman sekelasku yang sedang berdoa, ada yang terlihat khusyuk, dan ada yang terlihat sedang melamunkan hal yang lain, dan ada yang sibuk ngobrol dengan teman di sebelahnya. Ternyata tidak semua temanku menganggap doa itu serius, atau percaya bahwa sebenarnya tiap doa itu didengarkan. Siang itu, aku membuka bekal dari Eyang dan mencoba menikmati nasi dengan lauk oseng sosis dan buncis. Rasanya luar biasa hambar. Mungkin Eyang Putri lupa lagi menambahkan gula dan garam yang cukup pada masakan itu. Bagiku, untuk bisa membuat oseng buncis dapat dimakan, diperlukan kehadiran semua rasa asin dan manis dalam kadar yang tepat dan seimbang, kalau tidak, lupakanlah. Aku tidak bisa menghabiskan bekal makanan hari itu. Kemudian terbersit sejenak di benakku, bahwa tidak menghabiskan makanan adalah salah satu bentuk sikap tidak bersyukur. Kucoba kusendokkan lagi sesuap, lalu aku menyerah dan menutup bekal makanan itu. Sepulang sekolah siang itu, aku sendiri lagi di rumah. Setelah selesai merapikan buku-buku dari tas sekolah, aku merasa ada yang berbeda siang itu. Aku merasa sendirian. Aku mulai bermain boneka, dengan harapan sang Kakek akan datang menemani seperti biasanya. Aku berharap Tuhan mendengarkan bisikanku. Tetapi kali itu Dia tidak datang. Sepi sekali sepanjang hari itu, dan begitu pula hari-hari berikutnya. Di SEBUAH PAGI yang dingin dan mendung, aku melangkah gontai menuju perhentian mikrolet untuk berangkat ke sekolahnya. Pagi itu, aku diliputi rasa kantuk. Perpisahan dengan bantal dan selimut beberapa saat sebelumnya seolah perpisahan dengan perasaan disayang dan dilindungi. Aku merasa sangat sendirian. Aku rindu Ibu, yang mungkin saat itu juga sedang berada dalam sebuah metro mini di perjalanan jauh menuju kantornya. Aku kangen menonton TV bersama Bapak seperti yang biasa kami lakukan di hari-hari libur. Tapi hari itu bukan hari libur. Di dalam mikrolet tidak banyak orang sementara hujan rintik mulai turun. Aku semakin berharap seandainya aku dapat tinggal di rumah saja pagi itu bersama selimut dan bantalku. Sesampai di sekolah, teman-teman lain pun seakan sependapat denganku pagi itu, semua berwajah sendu dan tidak terlalu semangat. Dimulailah pelajaran pertama, Matematika. Ada sebuah pekerjaan rumah yang hendak dibahas oleh Bu Susi, guru kelas 4B. Aku mencari- cari buku PR itu dalam tas sekolahku yang setengah basah, aku tidak bisa menemukannya. Ah pasti masih ada di atas meja makan! Aku menyesal kenapa tidak memeriksa tas sebelum berangkat tadi pagi. Bu Susi bertanya siapa yang tidak mengerjakan PR tersebut. Aku pun terpaksa mengangkat tangan, dan mengaku bahwa bukuku tertinggal di rumah. Wajah Bu Susi tampak sangat kecewa. Aku tak pernah lupa bagaimana aku dihukum berdiri di depan kelas. Aku malu dan merasa sedih dan merasa ini sungguh tidak adil. Aku telah mengerjakan pekerjaan rumah sebaik-baiknya tadi malam. Aku benar-benar menyesal mengapa aku lupa untuk memasukkan buku PR itu ke dalam tas sekolah tadi pagi. Ini pertama kali aku dihukum di depan kelas seperti ini. Aku merasa seperti pendosa yang dipermalukan amat berat. Padahal aku telah mengerjakan tugasku. Dapatkah aku mengendalikan kapan aku hendak lupa dan kapan aku hendak ingat? Adilkah perlakuan seperti ini? Pada saat istirahat, aku pergi ke kantin sekolah bersama kawanku, Nita. Nita bercerita tentang bagaimana dia mendapatkan sebuah 15 doa dan janji Yesus kepada Santa Brigitta dari Swedia, dari sepupunya yang merupakan seorang putra altar. Doa itu sangat panjang dan jika dibaca sampai habis, maka doa itu akan memakan waktu satu setengah jam. Kemudian Nita bercerita tentang pengalaman beberapa orang yang telah menjalankan doa tersebut dan menerima mukjizat keselamatan dalam hidupnya. Ada orang yang terselamatkan dari kecelakaan, ada yang terselamatkan terselamatkan dari tindak kejahatan. Aku pun merasa sedang memerlukan banyak mukjizat dalam hidupku. Nita melanjutkan, jika doa itu dibaca setiap hari selama satu tahun, maka kelak akan dapat membebaskan siapa pun yang membacanya dan ketujuh keturunan dari api neraka. Sungguh menggiurkan. Tapi, aku kembali ingin tahu, apa itu neraka? Kalau diingat-ingat, sebetulnya aku belum pernah membayangkan wujudnya. Perlukah aku mulai membayangkannya? Teman sebangkuku, Agnes, pernah bercerita tentang apa saja yang dibacanya dalam Kitab Wahyu tentang segala sesuatu tentang akhir zaman, termasuk gambaran tentang seperti apa itu neraka atau api penyucian. Namun, aku belum bisa membayangkan api neraka, karena melupakan buku PR saja aku bisa dihukum berdiri di depan kelas. Sepulang sekolah, aku sendiri lagi di rumah mengerjakan pekerjaan rumah dengan bosan. Aku kemudian menemukan Kitab Suci yang ada di lemari buku Ibu dan mulai membuka Kitab Wahyu. Ada banyak sekali malapetaka yang akan terjadi di akhir zaman, entah berapa banyak sangkakala yang akan ditiup oleh berapa banyak malaikat dan masing-masing sangkakala itu akan membawa malapetakanya masing-masing. Sekarang aku merasa akan lebih mudah jika aku termasuk orang-orang yang menyelesaikan doa panjang yang dibicarakan Nita itu. Beberapa hari kemudian aku berhasil mendapatkan fotokopi dari buku doa 15 doa dan janji Yesus pada St. Brigitta yang dibangga-banggakan Nita itu. Seluruh doa itu ada 15 doa, dan semuanya diawali dengan doa Bapa Kami dan Salam Maria. Aku mencoba membaca doa tersebut sepulang sekolah. Lama sekali. Tetapi aku tetap melakukannya dengan kemauan yang keras untuk bebas dari api penyucian. Begitu pun keesokan harinya, dan keesokannya lagi. Aku berharap aku setidaknya akan dapat berbincang- bincang lagi dengan sahabatku. Dengan Tuhan. Tetapi hari itu tetap sepi, aku tetap sendiri. SUATU SIANG sepulang sekolah, aku mengendarai mikrolet menuju rumah. Perjalanan dengan mikrolet yang jauh memakan waktu sekitar satu setengah jam membuatku malas langsung pulang. Aku sempat bermain dulu di seputar sekolah. Siang itu terik. Aku naik sebuah mikrolet bernomor M32 dengan tujuan Kali Malang. Setiba di perhentian berikutnya, di Kodam, aku perlu berganti angkutan yang berwarna merah dengan nomor T27 untuk sampai ke rumah. Mikrolet yang berwarna merah ini biasanya bergerak dengan lamban. Belum lagi mereka biasanya enggan berangkat apabila penumpangnya belum terkumpul sampai mikrolet itu penuh. Lama sekali pak sopir itu asyik menunggu dan memilin-milin kumisnya, saat aku duduk di mikrolet kosong itu. Satu per satu orang mulai datang dan duduk mengisi tempat duduk yang masih kosong, dan lalu ada beberapa orang kuli bangunan yang duduk menempati tempat duduk yang tersisa. Akhirnya mikrolet itu penuh sesak dan mikrolet itu mulai berjalan. Semua orang duduk berdesakan. Aku duduk memangku tas sekolah. Suasana sangat panas dan aku hanya bisa pasrah dan berdoa semoga sopir mikrolet ini kebelet buang air dan langsung menginjak pedal gas dan berjalan lebih cepat daripada biasanya. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai ke perhentian berikutnya. Dari perhentian itu, aku masih harus berjalan kaki sekitar lima blok perumahan untuk bisa sampai ke rumah. Dan ini adalah hari kedua haidku. Aku sungguh belum benar-benar paham dengan keampuhan dan ketahanan pembalut wanita yang aku gunakan. Ini baru bulan kedua aku mengalaminya. Dan mengalami kebocoran di tempat umum seperti ini adalah mimpi terburuk yang bisa dibayangkan oleh gadis seperti aku. Di tengah sesaknya tempat duduk di mikrolet siang itu, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang geli menyentuh bagian samping dada kiriku. Apakah itu? Aku terganggu dan merasa ada yang mengganggu tubuhku. Aku mengintip di bawah tas sekolahku, dengan mengangkat tasku sedikit. Jangan-jangan ada binatang yang bersembunyi di antara sempitnya tempat duduk di mikrolet ini dan hinggap di dadaku. Sejenak aku terganggu karena lelaki yang duduk di sebelah kiriku mendadak melompat seolah memperbaiki duduknya. Tidak ada apa-apa ternyata tidak ada binatang, tidak ada apa-apa. Tetapi ada sentuhan yang mengganggu. Aku memutuskan untuk memangku tas sekolahku. Mikrolet berjalan dengan lama dan perlahan. Seandainya aku membawa buku tipis yang bisa dijadikan kipas saat ini. Tak berapa lama, lagi-lagi ada sesuatu yang menggelitik bergerak gerak di daerah bawah dada kiriku muncul lagi. Aneh sekali dan sangat tidak nyaman. Kuangkat lagi tas sekolahku untuk melihat ada mungkin ada serangga atau binatang lainnya yang hinggap di sebelah kiriku. Lelaki di sebelahku kembali grasah-grusuh membenarkan posisi duduknya walau tampaknya tempat duduknya baik-baik saja. Kulihat tidak ada apa-apa. Tidak ada serangga. Tidak ada binatang. Yang ada hanya lelaki yang grasah-grusuh. Aku kembali duduk dan mencoba menenangkan diriku sambil mengamati pemandangan membosankan di luar jendela mikrolet. Benar- benar tidak ada rongga untuk mengubah posisi duduk, seandainya binatang atau serangga atau ‘gangguan’ itu datang lagi. Kulihat wajah para penumpang satu persatu: seorang perempuan paruh baya yang sedang melamun menatap luar; seorang anak kecil yang juga sedang terlihat sangat ingin sampai ke rumahnya, dan seorang kakek berpakaian rapi dengan peci di kepalanya yang sedang menatap tajam ke arah lelaki yang duduk di sebelah kiriku. Lalu pelan-pelan aku menyadari sesuatu. Perlahan-lahan aku menengok dan memperhatikan lelaki yang duduk di sebelahku itu. Dia berkulit hitam legam, mengenakan topi yang menutup setengah wajahnya dan meruapkan bau tubuh yang tajam. Tampaknya dia menghindari pandangan mata dengan siapa pun terutama tatapan kakek yang duduk berhadapan dengan kami. Perlahan sekali aku mulai heran mengapa dia selalu memperbaiki posisi duduknya setiap kali aku merasa tak nyaman? Apa hubungannya posisi tas dalam pangkuanku dengan posisi duduknya? Sekali lagi, aku merasakan sentuhan yang mengganggu itu ke dadaku dan kali ini aku menjaga dadaku dengan merapatkan lenganku dengan harapan tubuhku tak terganggu oleh apa pun. Kali ini, aku merasakan ada jari-jari yang menyentuh luar lenganku dari samping. Saat itulah aku menyadari dan luar biasa kaget. Jadi lelaki bertopi ini tengah mencoba menggerayangiku Aku sendirian. Tak ada yang tahu kegilaan ini, dan tak terasa air mataku hampir jatuh karena tak tahu bagaimana anak kecil seperti aku harus berhadapan dengan situasi ini. Aku ini anak kecil. Kesalahan apakah yang aku perbuat sehingga pantas untuk mendapat perlakuan seperti ini? Aku belum pernah merasa begitu takut dan sendirian seperti saat itu. Ini kesendirian yang sungguh berbeda dengan rasa sendiri di kamarku. Aku menatap penuh harap mata-mata para penumpang lain dan berharap satu pun menyadari kode permintaan tolong dariku. Tak ada satu penumpang pun yang menyadari. Semuanya cenderung menghindari kontak mata saat berkendara dengan angkutan umum seperti ini. Satu-persatu penumpang mikrolet itu turun di tujuan masing-masing. Dan tidak satu pun menyadari situasi yang dialami olehku. Beberapa tempat duduk di sisi lelaki itu dan di sisiku mulai kosong. Kesempatan untukku menggeser tempat duduk dan menjauhkan diri dari lelaki itu. Namun entah bagaimana lelaki itu pun ikut menggeser tempat duduknya agar tetap duduk di sebelahku. Hanya beberapa detik, seorang kakek berpeci yang duduk di seberang mengamati berbicara dengan suara yang dalam dan tegas. “Bang, duduk saja di sebelah saya, Bang,” kata kakek itu. Jenggotnya putih mirip sekali dengan sang Kakek yang selalu aku bayangkan sebagai pelindungku. Lelaki itu tampak tegang dan salah tingkah. “Atau saya saja yang duduk di sebelah abang, adik duduk di sini saja,” ujar sang Kakek itu sambil memberi kode padaku agar bertukar tempat duduk dengan dirinya. Tanpa banyak bicara, aku langsung menyetujui saran sang Kakek. Aku duduk di barisan seberangku, dan sang Kakek duduk di tempat dudukku di sebelah lelaki itu. Tak lama setelah sang Kakek itu mulai nyaman dan tersenyum memandang lelaki itu, justru dia tampak tak nyaman dan mendadak mengetuk langit-langit mikrolet. Seperti dikejar-kejar, dia segera turun di tengah jalan. Aku menyaksikan seluruh peristiwa itu dengan takjub sambil menghembuskan nafas lega, seolah-olah itu semua sebuah drama yang terjadi di luar diriku. Kini mikrolet itu hanya berisi sang Kakek dan aku. Aku mengamati wajah Kakek yang telah menjadi penyelamatku siang itu. Kakek yang terlihat sedang menikmati perjalanannya kemudian menyadari bahwa ia sedang diamati. Dia tersenyum, ramah dan lembut, persis seperti bayanganku terhadap sang Kakek yang selalu menemaniku. “Kalau ada orang yang mengganggumu jangan takut! Lawan saja, nak!” Kakek itu menatapku dalam-dalam. Dan aku teringat pada kakek tua yang biasa berbincang denganku saat aku sendiri di rumah, bermain siang hari sambil menunggu orang tuaku pulang. Aku teringat betapa rindunya aku pada nasihat-nasihat kakek yang selalu membuatku percaya bahwa aku adalah anak yang baik. Anak yang layak diperlakukan dengan baik. Anak yang layak mengalami hal-hal baik. Aku rindu menjadi anak baik. Dan aku tak ingin merasa aku pantas mengalami hal yang sangat menakutkan dan menjijikkan ini. “Ingat! Keberanian itu dari dalam sini,” ujar Kakek sambil menunjuk ke dadanya. Ia tersenyum bangga sekali dengan gigi palsunya yang sudah longgar. Lalu sang Kakek mengetuk atap mikrolet dan turun di tempat tujuannya. Aku kemudian mulai paham, bukan hanya keberanian, tetapi juga kebaikan bisa datang dari banyak tempat. Dari mana-mana. Saat aku sedang sendirian maupun di tempat umum. Siang itu terik dan sepi seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada satu orang pun di tempat perhentianku. Aku berjalan membelah perumnas yang gersang, satu blok demi blok menuju rumahku. Dalam benakku, aku yakin, aku tidak sendirian. Dian Paramita Sastrowardoyo berdomisili di Jakarta. Alumni Jurusan Filsafat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, dan Magister Keuangan-Universitas Indonesia. Sehari-hari Dian lebih dikenal sebagai pekerja seni film: aktor, produser, dan kini sutradara. Debutnya sebagai sutradara film berjudul “Nougat” termasuk dalam kumpulan antologi “Quarantine Tales” (Base Entertainment 2021). “Mencari Sang Kakek” adalah karya fiksi Dian yang pertama. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |