Oleh: Alya Fathinah “Neng, sekarang mah cuaca panas banget ya,” ujar penjual es jeruk sambil menyiapkan minuman pesananku. “Iya, bener banget pak makanya aku juga beli es jeruk nih biar seger,” aku menimpali ucapan sang bapak yang sok akrab. “Alhamdulillah, itu rezeki buat bapak. Tapi yang sedih mah kalau tiba-tiba ujan deres jadi bapak teh harus cepet-cepet beresin roda, cari tempat yang teduh. Abis raat1 dagangan enggak laku da mereun teu nyambung nya tiris-tiris minum es2,” keluh sang bapak tentang nasibnya. “Atuh mun caang wae oge karunya tukang bajigur, sekoteng, bandrek icalanana teu laku-laku3,” jawabku sembari bercanda. Bapak itu pun ikut tertawa mendengar jawabanku, “ah neng mah bisaan jawabnya. Neng, ini es jeruknya,” ujar bapak itu sambil memberiku sekantong es jeruk.
Aku pun mengambil kantong tersebut lalu berkata, “makasih pak! Semoga laris jualannya. Ini uangnya,” jawabku sambil memberikan uang berwarna ungu dan menolak kembalian dari sang bapak. Semburat bulan sabit terlihat di wajah bapak itu, tak lupa ucapan terima kasih dan untaian doa diucapkannya. Aku pun menyempatkan diri minum di bangku taman sebelum harus mengendarai motor menuju kampus. Setelah menghabiskan es jeruk lalu membuang kemasannya ke tempat sampah, aku pun mempersiapkan diri untuk mengendarai motor. Sepanjang perjalanan aku jadi memikirkan percakapan singkat tadi. Aku menyadari perubahan cuaca yang drastis sebagai dampak perubahan iklim dirasakan oleh seluruh masyarakat kemudian seperti biasanya aku jadi berpikir variabel-variabel lain tentang perubahan cuaca. Hingga akhirnya…dug! Tiba-tiba aku hampir menabrak motor di depanku, tetapi untungnya aku berhasil menahannya. Sang pengendara hanya melirik ke arahku dan secara spontan aku pun meminta maaf. Aku tadi tidak sadar ternyata jalanan macet. Lagi-lagi penyebab kemacetannya adalah truk yang menabrak kendaraan roda dua. Jalan raya di wilayah ini memang sering dilewati truk dan cukup banyak belokan tajam sehingga kurang ramah pengendara. Ini masih sekitar jam 12 siang, jamnya orang kantoran istirahat untuk makan siang dan jamnya anak kuliahan sepertiku berangkat untuk kelas siang. Laju kendaraanku pun dipelankan, mengikuti kendaraan di depanku. Kulihat truk yang sedikit penyok dan motor yang lumayan hancur sudah dipindahkan ke pinggir jalan. Namun, tubuh korban yang sudah tertutupi koran masih tergeletak di jalanan dan yang membuat merinding darahnya masih bercucuran, menandakan kecelakaannya berat. Beberapa warga dan pengguna jalan turun untuk membantu mengevakuasi korban dan mengamankan pelaku. Tak lama kemudian, ambulans datang. Di bawah sinar matahari yang sangat terik puluhan kendaraan bermacet-macetan. Aku berusaha tetap menjalankan motorku agar tidak telat datang ke kampus. Setibanya di kampus aku tidak telat, masih ada sepuluh menit lagi sebelum kelas dimulai. Aku pun masuk ke kelas di lantai 2 yang ternyata sudah banyak teman-teman yang hadir. Sebagian dari mereka sudah membicarakan kecelakaan di jalan raya tadi, aku pun bergabung ke pembicaraan mereka. Tepat pada jam 1 siang, Pak Danar pun masuk ke ruang kelas lalu melanjutkan penjelasan mata kuliah yang diampunya. Beberapa menit kemudian, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kelas yang membuat seluruh pasang mata memandang ke arah tersebut serta menghentikan pematerian dari Pak Danar. “Permisi, Pak, maaf saya telat,” ujar seorang mahasiswi yang baru saja membuka pintu. Wajahnya sedikit menunduk, tetapi nada bicaranya seakan tidak merasa bersalah. Pak Danar membalikkan badannya ke arah pintu sambil berkacak pinggang. “Apa saya boleh masuk kelas bapak?” tanya perempuan itu tanpa menghiraukan respons nonverbal dari dosennya. Ia masih berada di luar kelas. “Kamu lagi, kamu lagi. Haduuuh, saya tuh udah cape lihat kamu yang selalu telat kelas saya! Saya lihat daftar presensi dulu ya,” jawab Pak Danar dengan nada kesal. Namun, laki-laki setengah abad itu tetap merealisasikan kalimat yang diucapkan dengan mengambil catatan presensi yang ada di tasnya. “Kalau dari catatan presensi ini, kamu sudah telat dua kali dan sekarang baru telat lima menit jadi hari ini kamu boleh masuk kelas saya, tapi kalau minggu depan kamu telat lagi mohon maaf kamu tidak boleh masuk kelas saya,” jelas Pak Danar secara tegas. “Siap, pak!” Jawab perempuan itu sedikit keras selayaknya seorang prajurit yang mematuhi perintah atasannya. Seisi kelas tertawa mendengar jawabannya. Bahkan, Pak Danar menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun, berkat kejadian itu aku melihat rasa kantuk beberapa orang menghilang, padahal jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Aku tidak ingat siapa nama perempuan itu karena kami mahasiswa semester pertama yang baru saja tiga kali belajar tatap muka dan kelasnya setiap mata kuliah berbeda-beda. Perempuan itu masuk ke dalam kelas diiringi tatapan heran dari teman-teman. Ia duduk di sebelah kananku. Kulihat perempuan itu menggendong ransel berwarna hijau. Entah apa yang dibawanya, tetapi tubuh kecilnya terlihat berat membawa isi tas tersebut. Terdapat noda coklat dan merah muda pada celana kulot putih tulang yang ia gunakan. Kunciran rambutnya sudah tidak rapi ditambah keringat yang membasahi wajah manisnya seakan memperlihatkan bahwa ia tidak peduli dengan penampilannya. “Ini buat kamu,” ujarku sambil memberikan selembar tisu kepadanya. “Nggak usah, terima kasih. Aku bawa sapu tangan kok,” jawabnya sembari melambaikan tangannya lalu mengambil sapu tangan dari dalam tasnya. "Kamu yang tadi ada di lokasi kecelakaan, kan?" Tanyaku. Perempuan itu masih mengelap keringatnya kemudian mengangguk dan memberi kode untuk menghadap ke depan, sebuah kode agar tidak melanjutkan percakapan. Dua puluh menit setelah kedatangan perempuan itu, lima orang anak laki-laki datang terlambat, tetapi kali ini Pak Danar tidak mempersilakan mereka masuk kelas karena batas keterlambatan hanya lima belas menit. Kelas Pak Danar telah selesai, semua mahasiswa bergegas menghampiri temannya untuk pergi ke kantin sebelum mengikuti kelas berikutnya di ruangan yang berbeda. Aku pun menghampiri Putri yang duduk di bangku paling depan. “Eh, Put, yuk kita ke kantin!” Ajakku. “Bentar dulu, aku beresin binder dulu, ya. Tumben amat nih anak ambis4 duduk di belakang,” jawab Putri. “Hahaha, jangan nyindir gitu dong, bos! Sekali-kali lah nyobain duduk di belakang,” jawabku tak mau kalah. Kami pun berjalan menuju kantin. “Put, orang yang tadi duduk di sebelah kanan itu siapa?” tanyaku ketika jalan. “Maksud kamu anak perempuan yang tadi telat?” tanya Putri, memastikan. Aku pun menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Namanya Maharani, dia tuh termasuk anak aneh di angkatan kita.” “Hah? Aneh? Emangnya kenapa?” Aku masih bertanya-tanya. “Oh iya aku lupa, kamu enggak ikut ospek karena waktu itu lomba paduan suara di Eropa kan. Nah dia tuh selama ospek enggak pernah mau bareng nyari perlengkapan ospek sama teman-teman. Bahkan, diajakin berangkat dan pulang bareng aja enggak mau,” jelas Putri. “Iya itu mah enggak aneh kali, mungkin emang cara komunikasi kalian aja yang salah,” tanggapku. “Dia kan anak komunikasi, Ur, masa enggak mau diajak komunikasi sih. Tapi, anehnya sejak ospek dia itu ngambil sampah-sampah yang ada di lapangan setiap habis rangkaian acara, jadi banyak anak jurusan yang lihat juga. Dan lebih anehnya kebiasan ngambil sampah itu masih dia lakukan sampai sekarang,” Putri mengucapkan kalimat terakhirnya dengan sedikit pelan sambil melihat keadaan sekitar. “Masa sih? Kamu mah gosip kali. Tapi kalau dipikir-pikir bagus juga sih, dia emang pencinta lingkungan kali,” jawabku. “Kalau pun pencinta lingkungan harusnya ada batasannya juga, si Maharani enggak takut apa tubuhnya jadi bau. Informasi ini bukan gosip yaa. Kamu bisa buktiin nanti kalau di kantin liat dia membawa kumpulan plastik dari para pedagang,” tegas Putri. Aku dan Putri akhirnya sampai di kantin lalu membeli batagor dan minuman dalam kemasan. Putri tiba-tiba menyikut lenganku, memberikan kode agar aku melihat ke sebelah kanan. Ternyata, di sana Maharani sedang berjalan dari satu warung ke warung lainnya kemudian membawa satu kantong kresek besar dari beberapa warung yang ada di kantin. Perkataan Putri benar, semua orang pun bisa melihat bahwa kantong yang dibawanya berisi sampah plastik yang sudah kering. Anehnya, setelah menerima kantong kresek itu Maharani memberikan sejumlah uang kepada para pemilik warung seperti membayar sampah yang ada di tangannya, entah transaksi apa yang dilakukan olehnya. Maharani berjalan membawa lima kantong kresek besar keluar kantin. Kulihat beberapa mahasiswa memperhatikannya, tetapi ia memilih melanjutkan langkahnya. “Aura, Putri, aku pergi duluan ya!” Ujar Maharani ketika melewati kami. Aku dan Putri terdiam sejenak, kaget mendengar suara Maharani. Ia juga masih diam di tempatnya berdiri. “Oh iya, silakan. Hati-hati, ya!” Jawabku, sedikit canggung. Maharani tersenyum lalu melanjutkan langkahnya keluar kantin. Ia pun berhenti di lapangan parkir yang tidak jauh dari kantin. Mobil bak bercat putih berhenti di depannya lalu sang sopir mengambil kantong kresek yang sebelumnya dipegang Maharani. Keduanya juga sempat mengobrol sebelum akhirnya pergi. Setelah itu Maharani mencuci tangannya dengan hand sanitizer dan jalan entah ke mana. Mobil tersebut tidak seperti mobil sampah yang kotor, bau, dan tidak terawat. Aku dan Putri mencari ruang kelas berikutnya setelah pesanan batagor kami selesai. Sepanjang perjalanan, Putri terus membicarakan Maharani yang ternyata mengenal dirinya, sedangkan aku terus berusaha meyakinkan Putri agar berpikir positif. Kelas kedua selesai di sore hari, tetapi aku harus berpisah dengan Putri karena harus latihan paduan suara. Latihan pun selesai sekitar jam 7 malam dan ketika aku akan pergi ke parkiran motor tiba-tiba hujan turun dengan deras. Alhasil, aku harus menunggu hujan reda. Menjengkelkan sekali. "Nih buat kamu," seseorang menyodorkan tumbler kaca yang berisi teh hangat. Aku tidak langsung menerimanya, melainkan melihat dulu siapa pemilik tangan itu. Tanpa disangka, dia adalah… "Maharani? Kok kamu ada di sini?" "Hai, Aura. Tadi abis ngisi workshop organisasi anak-anak pencinta alam aja sih. Kebetulan mereka nyediain teh anget sama cemilan lainnya juga, ya udah deh aku bawa. Terima ya, kamu pasti kedinginan," kata Maharani sambil menyodorkan tumbler kaca miliknya. Aku pun menyeruput isi minuman tersebut, "makasih ya. Memangnya workshop tadi bahas apa?" "Bahas cara mengelola sampah plastik terus dilanjut bikin ecobrick bareng-bareng," jawabnya. "Wah, seru dong. Oh iya, tadi siang kamu membawa sampah juga berarti buat acara itu?" Entah kenapa aku tiba-tiba penasaran. "Ternyata kamu merhatiin juga ya. Kalau itu aku ngebantu teman yang punya bank sampah. Dia masih kekurangan nasabah bank sampahnya terus aku bantu sosialisasiin ke para pemilik warung kantin karena dilihat-lihat mereka ngehasilin banyak sampah per harinya. Dan enggak nyangka respons mereka positif dan mau kerja sama. Jadi, uang yang aku kasih ke pemilik warung tuh uang penukaran sampah mereka," jelas Maharani. "Wah, keren banget," komentarku. Lalu, obrolan kami pun mengalir di tengah hujan yang mulai kecil. Aku yang sudah tertarik pada isu lingkungan mendapat pencerahan dari Maharani terkait aksinya untuk menjaga lingkungan. Hingga akhirnya hujan reda, aku pun mengajak Maharani agar pulang bareng naik motor denganku. Ia menerima ajakanku. Kami menembus jalanan malam dengan aroma khas setelah hujan sambil mengobrol banyak hal. Terlihat orang-orang masih beraktivitas di jalan raya, mungkin mereka sama seperti kami yang terjebak hujan. "Aura, aku mau minta tolong sama kamu buat ajakin teman-teman yang lain biar lebih peduli sama lingkungan," kata Maharani. "Hah? Gimana?" Aku menjawab dengan sedikit berteriak seakan tidak mendengar kalimatnya. "Aku mau kita ngajak teman-teman kita biar peduli lingkungan," ujar Maharani dengan suara yang keras hingga dilihat beberapa pengendara lainnya. Aku tertawa lalu melanjutkan, "kamu mau bayar berapa?" "Ah, nyebelin. Aku jarang-jarang minta tolong," nada bicara Maharani lebih rendah. "Aku turun di gang depan sebelah kiri aja ya. Kosanku enggak terlalu jauh dari gang itu," lanjut Maharani sambil menunjuk gang yang dimaksud. Motor pun berhenti di tempat yang Maharani tunjukkan. Ia turun dari motorku. "Terima kasih udah mau nganterin. Ini bayarannya, ya!" Ucap Maharani sambil memberikan sejumlah barang kepadaku. "Makasih kembali. Eh enggak usah repot-repot ngasih beginian segala," "Enggak repot kok dan ini bukan sembarang 'beginian'. Aku berharap tempat makan dan alat makannya dipake ya biar mengurangi sampah styrofoam dan plastik," jawab Maharani. Mau tidak mau aku pun menerima dua barang tersebut karena Maharani memasukkannya ke dalam tasku. Lalu, aku melanjutkan perjalanan menuju kosanku yang berjarak 200 meter lagi. Jika hari ini direfleksikan, bagiku menjadi satu hari penuh kejutan. Malam harinya aku chatting-an dengan Maharani, membicarakan apa yang akan kami lakukan untuk Bumi. Kami sepakat untuk mengajak teman-teman mengumpulkan sampah plastik yang ada di rumah atau kosan melalui chat group. Namun, sayang pada keesokan harinya tidak ada satu pun orang yang membawa sampah sesuai ajakan kami bahkan aku dikatakan aneh seperti Maharani oleh teman-teman terdekat. Lantas aku pun menjelaskan ini bukanlah hal yang aneh karena memang niatnya untuk Bumi. Sampah plastik yang sering kita hasilkan pun akan kembali ke Bumi dan baru bisa terurai ratusan hingga ribuan tahun lagi. Aku juga mengklarifikasi apa yang dilakukan Maharani bukanlah hal aneh, melainkan sesuatu yang bermanfaat untuk planet ini. “Halo, pagi teman-teman!” Maharani menyapa seisi ruang kelas dengan ramah, seperti sebuah sihir berhasil membuat seluruh pasang mata langsung tertuju padanya. “Aku mau minta maaf karena selama ini kurang membuka diri sama kalian sampai mungkin terlihat aneh. Tapi, aku mau ngajak kalian buat ikut menjaga Bumi dengan menjadi nasabah bank sampah yang aku dan temanku kelola atau ikut menanam pohon di hutan besok hari,” ujar Maharani. Aku pun memanfaatkan kesempatan dengan berdiri di samping Maharani, “ayo siapa yang mau ikut menanam pohon? Aku tahu kalian punya keinginan buat menjaga Bumi juga daaan besok adalah saatnya. Yang besok mau ikut menanam pohon, yuk ngacung!” ajakku. Sebagian teman-teman di kelas mengacungkan tangannya. Aku dan Maharani saling menatap dan tersenyum kemudian mengatakan terima kasih kepada teman-teman. Tak lama kemudian, Bu Nida masuk kelas dan menjelaskan materi perkuliahannya. Setelah kelas pun aku berupaya agar mengakrabkan Maharani dengan teman-teman yang lain dan ternyata mereka bisa akrab dalam waktu singkat. ----- Hari Sabtu pun tiba, hari yang kami tunggu untuk menanam pohon di sebuah bukit gundul yang biasanya sering longsor. Aku, Maharani, dan 5 orang teman Maharani sebagai tim utama penanaman pohon sudah tiba di tempat tersebut. Tiga puluh menit menunggu ternyata teman-teman kuliah yang kemarin diajak belum terlihat batang hidungnya sedikit pun. Aku dan Maharani merasa sedikit kecewa, lalu kami pun memulai kegiatan tanpa kehadiran mereka. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara bising dan ternyata mereka datang dengan wajah sumringah untuk menepati janjinya. Aku dan Maharani pun senang dan kami menanam pohon dengan sukacita. Matahari sudah berada di atas kepala. Cahayanya menerangi kegiatan kami yang berusaha melindungi Bumi. Akhirnya, 35 pohon berhasil kami tanam dan kami makan bekal yang dibawa Maharani bersama-sama setelahnya. Tentu saja bekal tersebut tidak menggunakan produk plastik sedikit pun. Cahaya matahari di atas bukit menghangatkan obrolan kami yang capek setelah menanam pohon. Walaupun krisis iklim sering kali disepelekan karena setiap individu menganggap tidak terkena dampaknya, Maharani tidak demikian. Darinya aku belajar bahwa dampak krisis iklim pasti dirasakan oleh seluruh masyarakat tanpa memandang kelas sosial ekonomi. Misalnya saja anomali cuaca dan cuaca ekstrem yang melahirkan efek domino bagi berbagai aspek kehidupan. Dampak lainnya yakni kenaikan permukaan air laut dan penurunan permukaan air tanah, sektor pertanian, hingga penurunan kuantitas dan kualitas air yang digunakan sehari-hari. Semua dijelaskan oleh Maharani hingga aku benar-benar paham. Solusi yang bisa aku, Maharani, dan teman-teman lakukan adalah mulai mengurangi sampah, menanam pohon di lahan yang gundul serta mendukung upaya pemerintah mengurangi emisi karbon. Semoga apa yang kami lakukan dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kondisi Bumi. Alya Fathinah adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Suka mengobrol, bercerita, dan kadang-kadang menulis. Cerpennya yang bertajuk Niraksara terbit di Jurnal Perempuan edisi 105. Saat ini lebih sering membuat tulisan berita yang dapat dibaca melalui wartakema.com. Jika ingin kenal lebih dekat, bisa dihubungi di [email protected]. Comments are closed.
|
AuthorKumpulan Cerpen Archives
October 2024
Categories |