Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia Hariman bingung saat pamannya, Lik Kung, mengatakan ia akan memberinya uang sebesar satu juta rupiah. Awalnya Hariman heran darimana Lik Kung mendapatkan uang karena setahu Hariman ia tidak punya uang dan yang lebih mengherankan lagi, bagaimana ia bersedia membagi uang yang ia dapatkan. Lik Kung terkenal sangat amat pelit bahkan untuk bersedekah dua ribu perak di masjid saja ia bisa membahasnya sampai tiga kali sholat Jumat. Mulut Hariman sudah ingin menanyakan tapi urung, entah kenapa ia merasa segan. Seakan gayung bersambut, Lik Kung membuka sendiri dari mana uang itu datang. “Banci itu sudah mati. Ini uang warisan dari tabungannya. Hahaha, memang rezeki tidak kemana.“
Hariman dan istri saling berpandangan. Banci? “Sepupumu itu, si Haris.” Lik Kung seakan bisa membaca pikiran. “Seminggu yang lalu temannya dari Jakarta menghubungi, mengabarkan bahwa Haris sakit keras dan tidak lama dikabarkan sudah isdet“ kata Lik Kung sambil menunjukkan jempol ke bawah. Hariman cukup terkejut. Ah Haris! Rupanya ia sudah meninggal. Hariman menundukkan kepalanya, air mata serasa ingin tumpah tak terbendung. Haris sudah lama sekali tidak bisa dikontak, mungkin sejak sepuluh tahun yang lalu mereka terakhir berkontak. Sejak kecil Haris terkenal di kampung sini sebagai banci, wadam, kedi, laki-laki yang menyalahi kodrat. Hampir setiap hari ia dipukuli entah oleh anak-anak seusianya, yang lebih besar darinya, atau oleh Bapaknya sendiri, Lik Kung. Hanya ibunya tempat Haris berlindung meski akhirnya jadi sasaran tinju bapaknya juga. Hariman dekat dengan Haris karena mereka hampir seumuran dan ibu mereka kembar. Wajah mereka mirip kecuali bagian hidung, Haris mengikuti hidung Lik Kung yang sangat mancung sedangkan Hariman sebaliknya. Beranjak remaja tubuh Haris bertumbuh tinggi dan besar sehingga orang-orang jadi takut untuk mengganggunya secara fisik sehingga gangguan secara psikis meningkat pesat. Cibiran tidak henti selalu mengikuti, dari, di, dan menuju rumah. Hariman menjadi satu-satunya teman Haris da kerap menjadi sasaran ejekan orang-orang juga dan mengatainya sebagai teman homo-nya Haris. Namun, Hariman tidak peduli karena ia tahu bagaimana sepupunya itu menjalani hidup dengan sangat baik dan taat beribadah. Haris juga yang memperkenalkannya dengan Genda, perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Lima belas tahun yang lalu, tepat di usia Haris yang keenam belas, ia tidak sanggup lagi untuk tinggal di kampung ini dan memutuskan dengan berat hati akan merantau ke Jakarta. Ia sebenarnya sudah berniat kabur sejak SMP tetapi ia tidak tega meninggalkan ibunya sendirian. Namun, suatu hari bapaknya memukulinya sampai Haris hampir mati dan ibunya menyuruhnya untuk kabur ke rumah Hariman. Orangtua Hariman sudah meninggal dua-duanya dan ia tinggal sendirian, rumahnya seringkali menjadi tempat pelarian Haris, entah sudah berapa kali pintu depan rumahnya dirusak oleh Lik Kung karena mengamuk mencari Haris. Setelah kejadian itu, ibunya Haris mengatakan bahwa ia ikhlas melepas Haris untuk pergi ke tempat manapun yang aman untuknya, ia juga memberikan bekal uang untuk menjadi modal awal Haris untuk hidup merantau. Dengan menangis sejadi-jadinya hati Haris tercabik-cabik saat ibunya menyerahkan semua uang tabungan yang ia miliki, uang yang disembunyikannya dari Lik Kung selama mereka menikah. Hariman tadinya ingin menemani Haris dan ikut merantau ke Jakarta tapi Haris memohon kepada Hariman untuk tetap tinggal di sini, menjaga ibunya dan Haris berjanji akan selalu menyokong biaya hidup Hariman sebagai balas budi. Hariman, yang juga sudah menganggap Ibunya Haris sebagai Ibunya sendiri, memutuskan untuk menuruti permintaan Haris. Periode awal Haris merantau, ia sering memberi kabar kepada Hariman dan Hariman akan meneruskan kepada ibunya. Setelah sekian bulan merantau ia akhirnya mendapat pekerjaan sebagai buruh pabrik dan mengirimkan uang kepada Hariman dan ibunya. Beberapa bulan berlalu dan semua berjalan lancar sampai suatu waktu seorang tetangga bertanya kepada Lik Kung apa kabar Haris. Tetangga itu mengatakan bahwa ia bertemu dengan Haris di suatu daerah di Jakarta dan Haris ternyata menjadi pekerja seks di sana. Seisi kampung gempar dan Lik Kung tidak berani lagi menunjukkan wajahnya untuk beberapa saat. Ibunya Haris jatuh sakit dan Hariman-lah yang merawatnya, sementara Lik Kung sibuk dengan amarahnya yang tak kunjung usai, menyalahkan ibunya Haris atas segalanya. Hariman ingin mengabari Haris tapi ibunya melarang. Ibunya sebenarnya sudah tahu bahwa Haris memiliki pekerjaan lain di Jakarta karena tidak mungkin gaji seorang buruh pabrik bisa menyokong dua orang dalam nominal yang cukup besar meski untuk ukuran orang kampung. Ibunya pun tidak menyalahkan Haris karena ia tahu betapa sulitnya beradu nasib sebagai perantauan, apalagi Haris tidak lulus SMA. Ibunya juga meminta agar sakitnya tidak dikabarkan ke Haris, ia tidak mau anaknya bertambah beban pikirannya. Semakin hari sakit ibunya Haris makin menjadi dan Hariman tidak tahan lagi untuk tidak mengabari kondisi ini. Hariman ingin bertanya apakah mungkin Haris bisa pulang tapi ia tahu kalau Haris pulang mungkin ia tidak akan pernah bisa kembali lagi ke Jakarta, ia mungkin akan mati di tangan bapaknya sendiri. Ternyata Haris pun tidak bisa pulang karena pabriknya bahkan memaksa buruh-buruhnya untuk masuk setengah hari di hari Minggu demi mengejar target. Haris berjanji ia akan mengirimkan uang lebih untuk biaya berobat Ibunya. Hariman tercekat, entah dari mana lagi Haris akan mencari uang, tapi ia memang butuh biaya berobat untuk ibunya Haris. Lik Kung sulit sekali dimintakan uang untuk berobat dan menyuruh Hariman membeli jamu-jamu atau obat warung saja. Makanan pun kurang bergizi karena Lik Kung enggan membeli daging ayam dan lebih memilih untuk membeli rokok. Sehingga uang kiriman dari Haris akan sangat amat berguna, itu sebabnya Hariman tidak berkata apa-apa. Lik Kung kemudian mulai bertanya-tanya dari mana Hariman bisa membeli ayam dan obat-obatan apotek, Hariman berbohong dan mengatakan bahwa Genda membantunya. Genda, pacarnya, sekarang kerja sebagai pegawai toko buku, dan Hariman mengatakan gajinya cukup besar sehingga bisa membantu sedikit. Lik Kung bahagia, ia bersyukur tidak perlu lagi pusing mengeluarkan uang untuk istrinya dan bisa menggunakan uang untuk keperluannya sendiri. Namun, tidak sampai setahun kemudian Lik Kung tahu bahwa uang-uang itu adalah kiriman dari Haris. Tidak sengaja Lik Kung membaca surat dari Haris dan ia murka. Ia mengatakan bahwa uang kiriman dari Haris adalah uang haram, uang hasil zina, mending zinanya dengan perempuan, ini dengan sesama laki-laki. Lik Kung menyuruhku untuk tidak lagi membeli apapun dari uang kiriman Haris, ia juga mengatakan bahwa sakitnya ibunya Haris semakin menjadi karena ia makan dari uang haram. Segunung kalimat berbau agama yang diiringi dengan kalimat makian keluar tak henti dari mulut Lik Kung sampai Hariman merasa ingin muntah. Karena kejadian itu, akhirnya Hariman terpaksa memberikan ibunya Haris makanan dan obat secara diam-diam tapi ibunya Haris menyetopnya, ia tidak ingin Hariman terlibat masalah lagi, apalagi sebentar lagi ia akan menikah dengan Genda. Dua bulan setelah menikah kabar buruk datang. Ibunya Haris meninggal dunia. Ah tapi Hariman berpikir mungkin itulah yang terbaik karena perempuan itu begitu menderita. Haris juga akhirnya kembali ke rumah setelah bertahun-tahun pergi dari sana tapi sambutan yang didapat sangat mengecewakan. Lik Kung masih saja membenci anak laki-laki satu-satunya itu. Ia menuding bahwa Haris adalah penyebab ibunya meninggal dan sebaiknya ia tidak lagi menginjakkan kakinya di sini karena hanya akan menyebabkan kemalangan bagi kampung, sama seperti kaum Sodom. Haris seperti menulikan diri dan tetap mencium jasad ibunya meski berakhir dengan ditendang oleh Lik Kung. Warga sibuk menenangkan Lik Kung yang seperti kesetanan, beberapa orang meminta Haris untuk segera pergi saja demi ketenangan almarhumah. “ Bapak saya yang bikin ribut kenapa saya yang disuruh pergi? “ tanya Haris dingin. “ Sudahlah, Nak, mengalah saja, bagaimanapun dia kan bapakmu, lakukanlah demi almarhumah ibumu, kasihan dia, Nak. “ jawab salah satu warga sepuh. “ Dia bukan bapakku. “ Haris berkata penuh dengan kebencian. “ Ya, memang aku bukan bapakmu! Tidak sudi aku punya anak banci, tukang zina, jual diri! Aku putuskan ikatan orangtua dan anak detik ini juga! Yatim piatu kau mulai sekarang! “ Lik Kung berteriak. “ Jangan pernah lagi kau injakkan kakimu di sini! Hei Hariman, buang semua barang yang dibeli dari uang si wadam ini! Uang haram itu! Tidak sudi aku mengotori rumahku dengan barang-barang hasil uang haram! Kembalikan seluruh uang yang kau dapatkan dari anak laknat ini! Tujuh turunan tidak berkah kau makan uang haram, tahu !? “ Hariman terdiam dan mengepalkan tangan. Ia menahan geram luar biasa dan kalau istrinya tidak segera meraih tangannya dan menggenggamnya, ia sudah pasti akan kesetanan juga. Ingin rasanya saat itu ia memukul pamannya dan menyumpal mulutnya dengan kapur barus yang berada di sekitar jenazah bibinya agar tidak ada lagi kata-kata busuk yang keluar dari mulut itu. Haris dengan tenang berdiri setelah membisikkan sesuatu di telinga jenazah Ibunya. Ia lalu berjalan ke arah Hariman dan menyalaminya, “ Terima kasih, Man, atas semua yang sudah kau lakukan untukku. Seumur hidupku aku tidak akan pernah tidak membalas jasamu. Jikalau di dunia aku tidak sanggup, di akhirat aku pasti akan membayar semua hutang budiku padamu. Berbahagialah Man, jalanilah hidup dengan bahagia dengan keluargamu. “ Haris tersenyum dengan sangat tulus kepada Hariman. Ia lalu melirik Genda dan tersenyum juga kepadanya seraya mengucapkan terima kasih telah menjaga Hariman. Setelah drama itu, Haris tidak pernah lagi kedengaran beritanya. Hariman berusaha mengontaknya melalui telepon dan surat tapi tidak pernah ada balasan. Ia juga sempat menitipkan pesan pada temannya yang ingin ke Jakarta tapi tidak ada yang membawa kabar baik. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Presiden pun berganti. Hariman melalui hidup dengan sederhana tapi penuh dengan ketenangan. Ia menjual rumah lama orangtuanya dan pindah ke daerah Kabupaten. Ia sekarang bekerja sebagai kepala administrasi di sebuah kantor kecil sementara istrinya memilih untuk menjadi IRT setelah memiliki anak. Hampir setiap minggu Hariman berusaha mencari keberadaan Haris, kadang ada informasi yang cukup menjanjikan tapi ternyata tidak sampai menemukan orangnya. Haris seperti ingin ditelan bumi, meniadakan dirinya, demi tidak merepotkan orang-orang yang menyayanginya. Sementara Lik Kung sudah memasuki masa pensiun dan ia tidak sanggup lagi bekerja. Ia hanya mengandalkan uang pensiunnya yang tidak seberapa. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Hariman, meminta bantuan uang tapi Hariman menolak. Selain karena ia juga butuh uang untuk membiayai keluarganya, Hariman tidak akan pernah lupa perlakuan Lik Kung kepada bibi dan sepupunya. Lik Kung menyumpah-nyumpahi Haris setiap kali ia menghubungi Hariman, mengatakan bahwa anak durhaka itu bahkan tidak ingat pada orang tuanya dan tidak pernah menanyakan kabar atau mengirimi uang. Hariman sudah sampai puncak kesabarannya dan mengatakan bahwa bukankah uang Haris adalah uang haram dan kemudian mematikan teleponnya. Hariman berpesan kepada istri dan anaknya kalau Lik Kung menelepon lagi jangan diangkat. Namun, kemarin Lik Kung menghubungi Hariman lewat kawan Hariman dan mengatakan bahwa ada sesuatu yang penting yang harus disampaikan. Hariman diminta datang sesegera mungkin ke rumah Lik Kung. Atas bujukan istrinya akhirnya Hariman mau datang dan ternyata kedatangannya adalah untuk dikasih uang satu juta, uang dari Haris, yang dikabarkan sudah meninggal dunia. “ Nah karena kau sudah membantu istriku dulu dan kabarnya kau kan susah sekarang, ini aku sumbang satu juta untukmu dan keluargamu. Anggap saja ini terima kasihku meski kau tidak pernah mau membantuku saat aku kesulitan uang. “ kata Lik Kung jumawa. Darah Hariman mendidih lagi. Bagaimana bisa manusia di depannya ini dengan santai mengatakan bahwa anak kandungnya meninggal dan tidak ada reaksi sedih apapun. “ Maaf Lik, tapi saya mau tahu bagaimana cerita Haris. Bagaimana ia meninggal dan dikuburkan dimana. “ “ Saya lupa ya, saya tidak terlalu ingat. Waktu itu yang urus kuburannya juga kawan-kawannya. Kamu tanya saja ke kawannya lah, saya tidak urusin itu. “ “ Maaf lagi Lik, tapi saya ingin berziarah ke kuburan Haris. “ “ Man, saya tidak peduli apapun yang kamu mau lakukan. Ini saya sudah berbaik hati mau memberi kamu duit, jangan bikin saya marah dan jangan jadi orang yang tidak bersyukur. “ “ Maaf beribu maaf, Lik. Saya tolak uangnya. Itu bukan hak saya dan saya tidak bersedia. Saya punya uang meski perusahaan saya sedang goyah dan saya tidak merasa diberatkan mengurus Bulik saat sakit. “ Hariman berdiri, diikuti istrinya yang juga semakin muak dengan Lik Kung. “ Saya akan ke Jakarta melihat kuburan Hariman bersama istri dan anak saya. Selamat tinggal Lik, selamat menikmati uang haram anakmu. “ “ Kurang ajar kau ya Man! Sombongmu kelewatan! Persis kau seperti si Haris itu! “ Lik Kung berdiri dan memaki-maki Hariman dan istrinya. Hariman mengabaikan dan melangkah keluar pintu dengan tenang. Tetangga kanan kiri mulai berkumpul untuk melihat apa yang terjadi dan beberapa bertanya kepada Hariman yang baru keluar dari pagar rumah Lik Kung. “ Lik Kung baru dapat warisan dari anaknya, 70 juta rupiah, tapi sayangnya itu hasil jual diri dan zina di Jakarta. Tuh katanya mau ia bagi-bagi, soalnya ia anti makan uang haram. “ Hariman sengaja berkata dengan suara keras kepada tetangga yang berkumpul. Para tetangga langsung terkejut dan melihat ke arah Lik Kung yang sama kagetnya dengan pernyataan Hariman. Hariman tersenyum dan kemudian melajukan motornya meninggalkan asap knalpot dan keributan tetangga yang sekarang mulai menunggu dengan tidak sabar pembagian uang haram itu.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |