Kadek Ayu Ariningsih (Mahasiswa Pascasarjana Filsafat, Universitas Gajah Mada) Sebagai perempuan asal Bali yang setahun terakhir menghabiskan lebih banyak waktu di pulau Jawa, tepatnya Yogyakarta, saya merasakan intensi keindahan budaya Jawa. Batik menjadi salah satu budaya Jawa yang menjadi favorit saya. Intensi saya terhadap batik dimulai ketika saya menonton Pagelaran Wayang Topeng Panji di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Batik sendiri sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi saya, toko-toko penjual Batik di Bali cukup mudah ditemukan. Saya sendiri memiliki sebuah atasan Batik yang sesekali saya gunakan dalam acara tertentu. Selama menyaksikan Pagelaran Wayang Topeng Panji, saya mengamati busana para penari yang berpadu padan dengan Batik. Saya melihat bahwa adanya situasi yang ‘agung’ selama pagelaran turut didukung oleh keberadaan Batik yang dikenakan oleh para penarinya. Relatif singkatnya waktu saya di Jogja dan interaksi saya yang minim dengan batik mengarahkan saya melakukan penelusuran literatur tentang Batik. Pembacaan literatur tersebut masih sangat terbatas, meski demikian, ini adalah upaya untuk memahami subjektifitas pribadi saya sendiri terhadap keindahan Batik. Penelusuran tersebut bukanlah suatu yang terkategori sebagai aktifitas ilmiah namun menjadi cukup menarik untuk sedikit menulis dan membagikannya. Hari Batik
Tanggal 2 Oktober adalah Batik punya hari. Pada tanggal 2 Oktober 2009 Batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO. Penetapan tersebut kemudian diperingati sebagai perayaan Hari Batik Nasional. Sekelumit cerita perjalanan Batik ke dunia internasional tak lepas dari suasana politik budaya pada masa orde baru oleh presiden Soeharto. Pada masa pemerintahan presiden Soeharto, cendera mata pada jamuan-jamuan internasional kerap berupa Batik. Salah satu yang cukup fenomenal adalah perjamuan Presiden Soeharto kepada Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan pada 1 Mei 1986. Ibu negara Amerika Serikat, Nancy Reagan, kala itu turut hadir mengenakan busana Batik dan membuat Batik menjadi semakin terkenal di dunia Internasional. Indonesia berlimpah dengan kebudayaan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Lalu mengapa kemudian presiden Soeharto memilih Batik? Agaknya hal ini erat terkait dengan latar belakang Pak Harto yang memang berasal dari background budaya Jawa dan ditambah dengan pengaruh yang juga kuat dari istri Beliau yakni Raden Ayu Siti Hartinah. Serangkaian catatan mengenai Ibu Tien Soeharto (nama panggilan Raden Ayu Siti Hartinah) salah satunya terangkum dalam buku “Siti Hartinah Soeharto, First Lady of Indonesia’ (Gafur, 1992) menyebutkan bahwa Ibu Tien Seharto akrab dengan Batik sedari Kecil. Ibu Tien memiliki background keluarga dari golongan bangsawan Kesultanan Solo. Kala itu, putri-putri bangsawan Kesultanan Solo menjadikan membatik sebagai aktifitas keseharian. Tidak hanya itu, selama fase awal karir suaminya, Ibu Tien Soeharto menggunakan Batik untuk menunjang ekonomi keluarga. Potensi untuk mengenalkan Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan ragam kebudayaan nasional yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Filosofi Batik Corak Batik mengandung filosofi akan nilai-nilai kehidupan manusia Indonesia. Pola-pola dalam seni tradisi memiliki kedalaman makna yang secara implisit menyajikan petuah-petuah kehidupan. Batik sendiri memiliki ragam jenis corak yang setiap coraknya menyimbolkan makna yang berbeda-beda. Hingga saat ini tercatat 30 jenis batik yang keberadaannya tersebar di beberapa daerah seperti Pekalongan, Surakarta, Madura, Cirebon, Yogyakarta, Banten dan yang lainnya. Corak batik yang berbeda-beda di setiap daerah sangat dipengaruhi oleh kultur historis daerah pengembannya. Nilai-nilai filosofis batik sangat erat dengan keseharian masyarakat Indonesia. Nilai-nilai kemanusiaan terkandung dalam motif Batik Sido Asih misalnya, dimana manusia diharapkan mampu menumbuhkan perdamaian melalui sikap saling mengasihi dan menyayangi. Batik menjembatani tutur kearifan hingga akhirnya tercerap sebagai akal budi yang merepresentasikan karakter manusia Indonesia (Trixie, 2020). Batik dan Perempuan Indonesia Batik memiliki sejarah yang panjang dengan perempuan. Pembuatan Batik Jawa di masa lalu sangat ekslusif sebagai kegiatan putra-putri keraton atau mereka yang berasal dari kelompok priyayi. Masyarakat biasa yang dapat belajar membatik adalah mereka yang menjadi abdi dalem (pelayan kerajaan). Proses belajar itupun merupakan aktifitas yang disebabkan dalam proses menemani atau melayani tuannya. Pengetahuan membatik tersebut kemudian dibawa oleh para abdi dalem untuk keluar dari tembok istana keraton. Batik raja-raja (Batik Keraton) pada akhirnya turut menjadi bagian dari rakyat (Batik Rakyat). Dalam perkembangannya, aktifitas membatik dalam lapisan masyarakat bertumbuh secara kuantitas terlebih dikalangan kelompok perempuan (Dwiyanto & Nugrahani, 2002). Latar belakang budaya patriarki barangkali akan menjawab alasan mengapa perempuan lebih banyak terlibat dalam aktifitas membatik. Struktur kemasyarakatan masyarakat Jawa menganut sistem patriarkal. Peran wanita dianggap menentukan keseimbangan kelompok masyarakatnya melalui pekerjaan-pekerjaan domestik seperti menangani urusan rumah tangga. Jenis pekerjaan domestik dalam budaya patriarki terkategori sebagai pekerjaan yang memerlukan ketekunan, ketelatenan, kelembutan dan kehati-hatian. Kelompok laki-laki sendiri kerap diukur perannya dari kemampuan fisik dan otot - memiliki kemampuan petualangan, menjelajah- sehingga pekerjaan outdoor sangat relevan. Konstruksi sosial budaya patriarki dalam pembagian divisi peran budaya patriarki yang demikian membuat aktifitas membatik dianggap lebih cocok dengan gender perempuan. Peran aktif perempuan dalam membatik saat ini mulai diambil oleh kelompok laki-laki. Ketika budaya membatik tulis berkembang menjadi industri batik cap yang produksinya menggunakan mesin, laki-laki mulai mengambil alih pekerjaan membatik. Lagi-lagi, kelompok perempuan tergeser karena anggapan kemampuan laki-laki dalam pekerjaan menggunakan mesin adalah lebih baik dibandingkan dengan perempuan (Utami, 2020). Ketimpangan tersebut tidak serta merta memisahkan relasi yang saling membangun antara Batik dengan perempuan. Pekerjaan membatik tulis yang dikerjakan oleh kelompok perempuan merupakan suatu upaya menjaga nilai-nilai batik yang berstandar tinggi dan ekslusivitas kebudayaan asli Indonesia yang memang berbeda dengan posisi batik cap yang tujuan produksinya bertujuan menjangkau masyarakat dari berbagai kalangan ekonomi. Batik bagi perempuan, sebaliknya adalah memberikan ruang bagi perempuan untuk berkarya, berekspresi, dan kemapanan perempuan menjadi individu berdaya dan berkontribusi dalam pelestarian kebudayaan nasional. Hingga kita sampai pada kesimpulan bahwa perempuan memiliki peran signifikan dalam menjaga kebudayaan, sehingga tontonan seperti Pagelaran Wayang Topeng Panji menjadi lengkap keindahannya dengan kehadiran Batik.
1 Comment
Irma
15/3/2024 07:39:29 pm
good
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |