Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia Sabtu, genap dua minggu Ibu mengurung diri di rumah. Sepanjang empat belas hari itu tidak ada seulas senyum-pun di wajah Ibu. Makanan yang dimasak di meja hampir-hampir tak disentuhnya kecuali barang satu dua suapan saja. Beberapa temannya menelepon menanyakan kabarnya dan dari balik pintu kamarnya aku bisa mendengar suara jawaban Ibu, sedang kurang enak badan. Satu dua orang tetangga juga datang bertandang tetapi Ibu menolak menerima dan menyuruhku mengatakan bahwa Ibu sedang sakit. “ Bu..tadi Bude Ning sama Tante Oki telepon, menanyakan apakah Ibu sudah sehat dan apakah besok Ibu jadi ikut menjenguk cucunya Bude Tami, “ kataku perlahan sambil merapikan meja makan kepada Ibu yang sedang duduk di sofa, memandang kosong acara yang memutar lagu-lagu dangdut. Ibu diam saja. Aku yakin suaraku lebih keras daripada suara lagu-lagu itu dan aku tahu Ibu sebetulnya mendengar, hanya memilih untuk mengabaikanku.
“ Bu… “ “ Nggak. Ibu nggak mau ikut. Ibu malu. Mau ditaruh di mana muka Ibu? “ jawab Ibu ketus tapi dengan nada tak berdaya. Aku yang terdiam. Sudah berulang kali Ibu mengatakan hal yang sama kepadaku, malu. Semenjak aku datang ke rumah ini dengan membawa dua koper besar dan satu tas jinjing, tidak pernah sekalipun Ibu tidak mengatakan kata itu. Ia malu karena anak perempuannya mengajukan perceraian dan berkeras tidak mau menuruti kata-katanya untuk kembali kepada suamiku. Ia malu akan dibicarakan oleh teman-temannya dan keluarganya tentang rumah tanggaku yang gagal, yang akan dianggap sebagai kegagalannya juga. Semenjak aku kecil, aku sudah menyadari bahwa keluargaku bukanlah keluarga yang ‘harmonis’. Orangtua-ku memang menjalani pernikahan yang awet dan jarang bertengkar tapi juga jarang berbicara dengan lugas dan natural. Kami adalah keluarga yang tampak sangat indah untuk orang luar, disiplin, teratur, anak-anak yang rupawan dan berbaju bagus, dan aku sadar kami memang diatur untuk tampak baik di luar, dari fisik, dari kebendaan yang bisa dilihat dan dinilai orang lain, tapi dari dalam, dari hati dan jiwa, kami diabaikan secara total. Kedua keluarga orangtuaku juga sama seperti itu, kecuali adik perempuan Ayahku, Tante Ida. Di dalam keluarga, Tante Ida adalah si biang kerok, si bikin malu keluarga, anak-anaknya semua tidak ada yang meraih rangking di sekolah, yang laki-laki, Brian dibiarkan gondrong dan bermain boneka sedangkan kedua anak perempuannya yang kembar dua-duanya senang berolahraga. Ayah selalu mengatakan bahwa anak-anak Tante Ida adalah contoh manusia yang tidak perlu dicontoh, sebagai anak-anak yang akan bermasa depan suram, dan segala keburukan lainnya. Aku yang saat itu masih SD, tidak memahami apa yang dikatakan Ayah, yang ada di hatiku hanya rasa iri kepada sepupu-sepupuku itu. Mereka seperti bebas melakukan apapun dan orangtua mereka tetap mencintai mereka. Untukku, mereka adalah dunia lain, dunia yang sama sekali asing bagiku dan aku ingin sekali memasukinya. “ Kamu dengar nggak kata-kata Ibu? “ tiba-tiba suara Ibu meninggi. Aku terkejut dan sadar dari lamunanku. “ Malu, malu tahu nggak Ibu ini. Nama almarhum Ayahmu akan tercoreng di keluarga! “ “ Bu, aku tidak akan mencabut gugatan perceraianku! Mas Hendra sudah berselingkuh dan memukulku, Bu! Apalagi yang aku harapkan dari orang macam itu? Dia tidak pantas menjadi suami siapapun! “ kataku frustasi karena harus menjelaskan untuk entah berapa ribu kalinya. “ Suamimu berselingkuh pasti ada sebabnya, Fani! Kamu itu harusnya introspeksi diri kamu, dong. Kamu sudah melakukan yang terbaik belum untuk suami? Setiap dia pulang kamu sambut atau tidak? Penampilanmu bagaimana di rumah? “ “ Bu! “ “ Nah, dengan Ibu kandungmu sendiri saja kamu berani suara tinggi begitu, apalagi dengan suami kamu? Tidak heran jika Hendra marah kepada kamu, Fani! “ Aku tidak sanggup menahan geram dan tangis yang berlomba ingin keluar dan segera ke kamarku. Sakit sekali rasanya diperlakukan seperti penjahat sementara orang jahat yang sebenarnya sedang asyik di luar sana dan orang yang seharusnya menjadi pembela, malahan menuding bahwa semua yang terjadi adalah salahku. Sudah cukup aku meragukan diriku sendiri selama hampir tiga tahun, saat pertama kali Hendra melakukan kekerasan fisik kepadaku dan kemudian ketahuan selingkuh. Saat itu aku merasa persis seperti yang Ibu sampaikan, aku selalu bertanya apakah ini salahku, salahku di mana, dan aku berusaha keras memperbaiki diri. Namun, tidak ada yang berubah, Hendra tetap main tangan dan tetap berselingkuh. Beratku turun drastis dan nyaris menyentuh angka 40 kg dengan tinggi yang 160. Aku depresi berat dan saat di titik terberatku, sepupu-sepupuku, anak dari Tante Ida, datang menyelamatkanku. Ia segera membawaku ke rumahnya dan merawatku di sana. Suamiku tidak peduli aku pergi justru ia makin senang karena ia bisa membawa selingkuhannya ke rumah. Selama di sana aku mengikuti konsultasi dengan psikolog dan aku mendapat penguatan, bahwa ini semua bukan salahku dan tidak seharusnya aku membiarkan Hendra menghancurkan diriku lebih dari ini. Aku harus bertindak untuk membela diriku sendiri karena hanya dengan itu aku bisa selamat. Sebulan kemudian aku kembali ke rumah dan Hendra terkejut dengan kepulanganku. Ia menunjukkan seakan-akan merindukanku, padahal tidak sekalipun ia menghubungiku. Hampir saja aku goyah, percaya bahwa dia ternyata merindukanku dan mungkin akan ada harapan, tapi semua pupus saat aku menemukan baju-baju kotor milik selingkuhan Hendra di keranjang pakaian. Ia mengamuk saat aku menanyakan baju siapa dan mengatakan bahwa aku seharusnya tidak perlu pulang karena ia tidak peduli aku mau mati sekalipun. Saat itu aku hanya diam mendengar amukannya. Dulu, aku akan menangis dan mengiba-iba agar dia tidak mengamuk karena aku takut dan tetangga akan dengar. Setelah ia menyadari bahwa aku tidak merespon, ia mereda, kehabisan tenaga. Aku menarik nafas panjang dan mengatakan satu kalimat dengan satu nafas, “ Aku akan mengajukan gugatan perceraian”. Dan aku kembali membawa koperku yang masih ada di pintu depan, kembali ke rumah sepupuku. Berbulan-bulan aku habiskan di rumah mereka sampai suatu waktu Ibu mengetahui perihal aku mengajukan gugatan cerai. Ibu marah, bukan kepada Hendra tapi justru kepadaku. Berita mengenai aku menggugat cerai suamiku sudah sampai ke semua keluarga karena Hendra memasang status di whatsapp dan sosial medianya, berlagak seakan menjadi korban. Ibu merasa wajahnya seperti dilempar kotoran oleh anaknya sendiri. Segala keanggunan dan keagungan yang dibangunnya sebagai keluarga harmonis runtuh sudah. Seorang perempuan berani menggugat cerai suaminya sendiri adalah sebuah kedurhakaan luar biasa menurut Ibu, dan ia tidak sanggup menampakkan mukanya di manapun. Ibu menyuruhku kembali ke rumahku dan aku menolak. “ Bu, anak Tante Tami kan juga bercerai sama istrinya. “ “ Iya tapi itu pantas karena istrinya geblek, nggak pintar urus rumah tangga, mikirinnya karir melulu. Wajar saja diceraikan suaminya. Dan lagi, dimana-mana seharusnya suami yang menceraikan istri, kan pas menikah yang mengucap ijab qabul itu suamimu, bukan kamu. “ “ Bu, bahkan hukum di negara kita saja membolehkan istri menggugat cerai suaminya. “ “ Itu hukum bisa dibuat, terutama sama orang-orang apa itu sebutannya, feminis itu, seperti anak-anaknya si Ida itu. Membuat istri berani menggugat cerai suami. Mau jadi apa nanti para perempuan? “ suara Ibu cukup keras dan aku jadi khawatir akan terdengar sepupu-sepupuku. “ Tidak ada hubungannya dengan mereka, Bu. Ini keinginanku sendiri. Justru mereka yang menolongku. “ “ Menolong kamu? Memangnya kamu diapain sih? Kalau cuma dipukul sedikit saja kan tidak apa-apa, biar kamu juga belajar jadi istri yang baik! Ada aturannya dan contohnya kok kalau istri boleh dipukul supaya taat pada suami. “ “ Memangnya Ibu mau kalau anak Ibu sendiri dipukuli dan diselingkuhi seumur hidup? “ “ Tidak akan itu terjadi seumur hidup. Kan Ibu sudah bilang, kamu introspeksi diri, cek diri kamu sudah betul apa belum menjalankan peran sebagai istri. Ibu kan sudah mencontohkan bagaimana menjadi istri yang baik, apakah selama ini kamu tidak belajar dari Ibu? Ibu yakin Hendra akan luluh kalau kamu meminta maaf dan berubah, itu terjadi karena ia marah saja, Ibu tahu dia anak baik. “ Benci sekali aku mendengar nama suamiku yang pelaku kekerasan disematkan dengan pujian, sementara aku yang menjadi samsak bagi suamiku, dianggap titik utama terjadinya keonaran. “ Kamu jangan berlagak jadi korban, Fani. Tidak ada korban korban di sini, ini kan bukan pembunuhan atau apa, jangan berlebihan! Ini pasti hasil cuci otak anak si Ida, kan? Ibu tahu salah satu dari mereka bertiga itu kerja di organisasi yang membantu perempuan-perempuan untuk bercerai, Ibu tahu ini pasti hasil dari berbulan-bulan kamu tinggal bersama mereka. “ “ Ibu! Sepupu-sepupuku tidak mencuci otakku atau otak perempuan-perempuan lain, mereka justru menyadarkan akan hak-hak kami sebagai manusia. “ “ Hak apa? Hak perempuan itu ada di orangtuanya, lalu setelah menikah ada di suaminya, dari dulu sampai sekarang selalu begitu! “ Aku tidak sanggup menjawab lagi dan menangis tersedu-sedu, keputusasaan terhadap Ibu jauh melebihi daripada kepada suamiku. Ibu lalu seperti melunak dan memegang bahuku. “ Coba kamu program hamil, Fani. Ibu yakin kalau kalian punya anak, pasti Hendra akan berubah. “ “ Bu, aku kan sudah bilang, aku tidak mau membawa seorang anak dalam kehidupan yang penuh dengan kepahitan. Aku akan jadi orangtua yang sangat jahat jika aku tega melahirkan anakku dengan kondisi suamiku yang begitu jahat padaku, Bu! “ “ Kamu ini ngomong apa sih? Apa sih yang sebenarnya anak-anak si Ida itu masukkan ke kepalamu, hah!? “ Ibu memukul kepalaku, tapi yang terasa sakit justru di ulu hatiku. “Kamu sudah tidak mau dengarkan kata-kata Ibu lagi? Kamu sudah durhaka dua kali, kepada suamimu dan kepada ibumu, kamu tahu tidak Fani? Sekarang kamu ngomong nggak mau punya anak? Kamu itu sadar atau tidak sih? Kamu itu perempuan, Fani! Sudah seharusnya kamu punya anak, karena itulah kamu dikasih rahim! Mau suamimu kayak gimana, sudah kewajiban perempuan untuk punya anak! “ Ibu menjerit. “ Sekarang ikut Ibu ke rumah! Tinggal di sini bikin kamu makin sinting! “ Aku sungguh malu dengan Ibu dan memutuskan untuk mengikuti ucapannya untuk ikut ke rumah Ibu. Aku tidak mau membuat keluarga orang lain jadi bermasalah karena aku. Saat aku mengambil koper, sepupuku mengatakan bahwa ia tidak masalah dengan perkataan Ibu dan mengatakan sebaiknya aku tetap di sini tapi aku tidak tega. Aku memilih ikut ke rumah Ibu saja dulu, lihat nantinya bagaimana. Sepupuku akhirnya membiarkanku dan mengatakan bahwa kalau aku butuh apapun, ia akan segera menjemputku. Sepanjang jalan itu Ibu terdiam. Ia melancarkan aksi diamnya di rumah sampai hari ini, tepat dua minggu. “ Bu.. “ bujukku lagi. “ Apa kamu sudah sadar? Sudah bersedia untuk kembali kepada suamimu? Sudah bersedia melakukan apa saran Ibu untuk segera hamil dan punya anak? “ tanya Ibu. “ Tidak, Bu. Beribu maaf tapi aku sudah menggenapkan tekadku bahwa aku tidak akan pernah kembali kepada Hendra. Sidang perceraian sudah akan berlangsung dan aku tidak akan mundur apapun alasannya. “ “ Kalau begitu untuk apa kamu berbicara pada Ibu? Kamu anak durhaka, menyenangkan orangtuamu saja tidak mau. Ini Ibumu sendiri yang memohon kepadamu untuk kembali kepada Hendra dan punya anaklah, Ibu jamin ia akan berubah, ia akan baik kepadamu, pasti. “ suara Ibu mulai terdengar tidak sabar. Aku pun sepertinya sudah mencapai titik kesabaranku yang terujung. “ Punya anak itu baik Fani. “ “ Aku bukan tidak mau punya anak, Bu, tapi aku tidak mau punya anak dari suami yang menjahatiku, yang memukulku. Aku tidak mau mencontohkan bahwa perempuan boleh dipukul atau laki-laki boleh memukul istrinya kepada anak-anakku nanti. Aku ingin anak-anakku tumbuh di keluarga yang sehat. Aku tidak mau anakku menderita karena orangtuanya “ “ Wajar anak menderita untuk orangtua, itu namanya balas budi karena sudah dilahirkan kamu tahu tidak sih!? “ Ibu semakin meninggi. Ia bangkit dari sofa dan menghardikku sambil menunjuk mukaku. “ Kamu durhaka sama Ibumu karena kamu tidak mau balas budi sama Ibumu sendiri, Fani! Kamu masuk neraka! Ibu tidak minta apa-apa sama kamu, tidak minta uang atau apa, Ibu hanya mau kamu balik sama suami kamu dan perbaiki rumah tangga kalian! Tunjukkan bahwa anak-anak Ibu sukses semuanya! Cuma itu yang Ibu minta Fani! “ “ Aku tidak berhutang apapun pada Ibu! “ jeritku. “ Ibu lebih suka anaknya mati daripada nama Ibu tercoreng? “ “ Kalau cuma itu pilihannya, Ibu memilih anak Ibu mati, setidaknya itu lebih terhormat! “ Ibu memukulku bertubi-tubi. Tidak tahan, aku akhirnya menghalau Ibu sampai ia jatuh ke sofa. Ibu terkejut luar biasa dan aku menggunakan sepersekian detik itu untuk lari ke kamarku dan menguncinya. Ibu menjerit-jerit menyumpahiku dan memukul-mukul pintu kamarku seperti orang gila. Aku segera mengumpulkan baju-bajuku dan memasukkannya ke dalam koper. Tidak lama aku membuka pintu, Ibu dengan mata penuh amarah dan air mata siap untuk memukulku lagi. “ Jika aku harus masuk neraka karena durhaka, silakan, aku pun sudah hidup di neraka selama ini, tapi setidaknya setelah ini aku masih punya sisa hidup untuk aku perjuangkan. Kalau Ibu mau membunuhku sekarang juga silahkan, setidaknya aku bisa terbebas dengan lebih cepat dari “ kataku dingin kepada Ibu dan menunggu reaksi Ibu. Beberapa menit berlalu tanpa ada reaksi, aku kemudian menyeret koperku dan keluar dari rumah. Dengan mata buram bersimbah air mata dan sakit hati yang tidak terkirakan, aku memencet nomor telepon sepupuku. Ini adalah terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah Ibuku, apapun yang terjadi aku tidak akan kembali. Setelah ini aku akan menghadapi semua dengan berani dan aku tidak akan mundur untuk memperjuangkan kebebasan dari suami yang jahat dan orangtua yang tega menjadikan anaknya sekadar bahan pameran belaka. Entah sudah berapa lama aku berjalan, kakiku terasa sakit dan udara dingin menusuk-nusuk dadaku meski aku sudah menggunakan jaket tebal. Aku memutuskan untuk menunggu sepupuku di halte bus. Saat duduk, aku seperti dilepaskan dari beban yang sangat berat dan udara di sekitarku terasa begitu nyaman. Aku menarik nafas yang dalam, seakan menghirup semua kekuatan dari semesta dan menghembuskan dengan perlahan, memberikan kelegaan yang luas di dalam dadaku. Ya, aku adalah manusia bebas dan tidak akan ada yang bisa merebut kebebasanku itu. Tidak ada. Mobil sepupuku datang setengah jam kemudian. Dengan senyum aku menyambut mereka bertiga dan mereka sedikit bingung. Aku menaiki mobil, menutup pintu dan melaju, meninggalkan penjaraku, menjemput asa.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |