Wanda Roxanne Ratu Pricillia (Mahasiswa Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Tahun lalu, Penerbit Odise menerbitkan buku saya dengan judul “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Ada 20 artikel dalam buku saya, dan dua diantaranya membahas mengenai kelajangan, yaitu “Stigma, Penghalang Potensi Perempuan Lajang” dan “Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah”. Dengan judul itu, saya memberikan penekanan bahwa menjadi lajang memang bukan masalah, di tengah masyarakat yang mempermasalahkan kelajangan itu sendiri. Jadi, menjadi perempuan lajang itu masalah atau bukan? Saya pernah diundang untuk membahas buku ini. Dalam pembahasan itu, penanggap buku saya menyampaikan bahwa tidak masalah menjadi perempuan lajang asal melakukan hal-hal yang bermanfaat dan meyakini jika pada suatu saat akan menemukan pasangan yang tepat. Saya setuju, sekaligus tidak. Pada akhirnya, kehidupan ideal tentang pernikahan dalam masyarakat adalah norma dan normal bagi kita. Masyarakat tidak dapat menerima orang-orang yang melajang atau selibat (celibate) seumur hidupnya.
“Kita mengondisikan anak-anak gadis kita untuk mencita-citakan pernikahan, tapi kita tidak mengondisikan anak laki-laki dengan cara yang sama, artinya sedari awal sudah ada ketidakseimbangan yang mengerikan. Gadis-gadis akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang sibuk memikirkan pernikahan. Anak laki-laki akan tumbuh menjadi pria yang santai saja soal pernikahan”, menurut Chimamanda Ngozi Adichie dalam buku “A Feminist Manifesto”. Kita dikondisikan untuk membentuk harga diri salah satunya melalui pernikahan atau status berpasangan. Sejak kecil kita diajarkan dan disosialisasikan di rumah, keluarga, sekolah, pemerintahan, dan semua tempat di Indonesia bahkan sejak kecil bahwa suatu saat kita pasti akan menikah. Sebagai perempuan, kita diajarkan sedini mungkin juga untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, bermain peran menjadi istri atau ibu, dan semua ekspektasi gender lainnya yang dilekatkan pada kita. Stigma dan Stereotip Pada Lajang Menjadi lajang seringkali dipermasalahkan dan status lajang itu sendiri memiliki stigma dan stereotip yang menyertai. beberapa penelitian (DePaulo & Morris, 2006; Morris, DePaulo, Hertel, & Taylor), pada penelitian pertama menunjukkan bahwa orang-orang yang sudah menikah dideskripsikan secara positif daripada orang-orang yang melajang seperti dianggap baik, penyayang, stabil, bahagia dan puas. Para lajang dideskripsikan dengan negatif seperti rasa tidak aman, kesepian, keras kepala dan jelek, dan deskripsi positifnya seperti lebih independent, mudah bergaul dan lebih seru (Pignotti dan Abell, 2009). Pada penelitian kedua, orang-orang yang menikah dianggap lebih mudah beradaptasi, matang secara sosial, lebih seru hidupnya. Sedangkan para lajang dianggap self-centered, iri hati, dan berorientasi pada karir. Penelitian-penelitian ini sesuai dengan hal-hal yang saya alami sendiri dan juga orang-orang di sekitar saya. Beberapa hari lalu saya bertanya pada teman-teman saya di Instagram mengenai stereotip pada orang-orang yang melajang atau jomblo. Mereka dianggap terlalu memilih, akan dianggap perawan tua, tidak laku, expired, tidak bahagia, kesepian, dianggap homoseksual, dibandingkan dengan yang sudah memiliki pasangan, dianggap aneh, tidak normal, dianggap tidak bisa bergaul, menyedihkan, dan akan dikasihani karena tidak segera menikah. Saya juga mengalami semua hal yang telah dikatakan teman-teman saya di atas. Banyak nasihat yang diberikan juga kepada saya seperti “jangan terlalu memilih”, padahal untuk membeli buah saja kita pasti memilih yang terbaik, apalagi dengan pasangan. Stigma bahwa perempuan akan menjadi perawan tua, tidak laku atau expired berhubungan langsung dengan penghargaan diri dan ekspektasi gender pada perempuan untuk menikah dan memiliki anak. Masyarakat dengan norma heteroseksual menganggap bahwa semua orang pasti ingin menikah dan ingin memiliki anak secara biologis. Sama seperti para lajang pada umumnya, sebagai perempuan di “usia menikah”, sebagian anggota keluarga saya juga mendorong saya untuk segera memiliki pasangan dan segera menikah. Salah satu dari mereka mengatakan, “Kalau kamu nikah usia 30, kamu akan tua saat anakmu sudah sekolah. Jaraknya terlalu jauh dan udah gak sekuat saat muda”. Mereka menganggap saya sudah pasti menginginkan anak secara biologis, sama seperti mereka dan semua keluarga saya. Kelajangan dan Kebahagiaan Tren global menunjukkan bahwa menjadi lajang adalah sebuah gaya hidup yang semakin lama semakin bertambah persentasenya. Di Amerika, Australia, dan Asia menunjukkan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang dan pernikahan menjadi kurang diminati meski secara normatif masih diharapkan pada orang dewasa (Himawan dkk, 2017). Indonesia juga menunjukkan tren yang sama dengan global, meski proporsi melajang tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Jepang, Taiwan dan Singapura, namun angka orang-orang yang melajang menjadi meningkat (Gull, 2002; Jones, 2010). Bersama dengan peningkatan jumlah orang-orang yang melajang, diikuti juga dengan peningkatan kualitas hidup diantara para lajang (Himawan dkk, 2007). Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam antara kebahagiaan orang-orang yang melajang dan yang menikah. Penelitian Myers (2000) menunjukkan bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada para lajang. Data Badan Pusat Statistik (2015) yang menunjukkan bahwa level kebahagiaan para lajang 68,77% dan level kebahagiaan yang sudah menikah 68,74% (Himawan dkk, 2017). Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa para lajang lebih bahagia yaitu 65,31% dan yang menikah 64,99%. Seperti yang disampaikan teman-teman saya mengenai stereotip menjadi lajang, saya juga pernah dikasihani, dianggap kesepian dan dianggap tidak sempurna kebahagiaan saya karena melajang. Padahal kesepian adalah manusiawi serta manusia tidak bisa selalu bahagia setiap saat, saya memiliki banyak teman, banyak aktivitas yang bisa dilakukan para lajang selain pekerjaan atau sekolah, juga tentu saja dapat sepenuhnya bahagia sendirian. Teman-teman saya juga mengatakan bahwa melajang juga menyenangkan karena hidup mereka lebih bebas menentukan keinginan mereka, memiliki waktu untuk mengenal diri lebih banyak, memiliki kesempatan untuk memaksimalkan potensi diri, dan mencoba hal-hal baru. Ester Lianawati dalam bukunya “Ada Serigala betina dalam Diri Setiap Perempuan” mengatakan bahwa kehidupan lajang itu sendiri tidak membuat mereka tertekan, malah bisa jadi sangat memuaskan. Perempuan tidak tertekan oleh kelajangannya, ia tertekan oleh pandangan dan perlakuan orang-orang di sekitarnya terkait kelajangan mereka (Lianawati, 2020). Masyarakat masih tidak bisa menerima bahwa para lajang terutama perempuan, bisa sepenuhnya bahagia dengan status lajang mereka dan mereka masih menganggap bahwa pasangan terutama dalam pernikahan akan membuat hidup mereka lengkap atau sempurna.
9 Comments
Yuliana
14/9/2022 02:22:00 pm
Benar sekali kak, kita sebagai perempuan lajang yang dewasa terkadang ada rasa tertekan dengan tuntutan menikah. Sebenarnya bukan tidak ingin menikah, api jika memang belum ada sosok yang benar benar bisa dipercaya masa iya harus dipaksakan.
Reply
Wanda Roxanne
18/9/2022 08:19:31 pm
Benar, dan tekanan semacam ini sudah sistemik. Di manapun kita berada, orang akan bertanya apa kita sudah menikah atau belum. Kalau belum kenapa, dst. Kemudian kalau terus sendirian akan dikasihani kan. Begitulah ya...
Reply
10/11/2023 12:45:02 pm
How does the perception of being a single woman differ from the past, and why is it considered not a problem?
Reply
12/3/2024 10:06:17 pm
banyak yg mendefinisikan melajang itu adalah kesepian padahal definisi kesepian itu sangat berbeda konteks
Reply
Irma Agustina
15/3/2024 07:47:43 pm
membuka pola pikir untuk remaja bahkan dewasa dimasa sekarang melihat lingkungan sekitar seperti memaksakan setiap orang harus memiliki hubungan dengan orang lain, melajang jadikan momen itu untuk perkembangan diri sendiri tanpa adanya tambahan fikiran dari hal-hal yang sudah pasti tidak ada manfaatnya yang lebih buruk ialah hanya membuat perkembangan diri kita semakin terpendam bahkan hilang fokus.
Reply
31/7/2024 06:04:26 pm
Nice for information
Reply
9/10/2024 12:41:23 pm
What are some common stereotypes associated with being a single woman, and how can they be challenged?
Reply
8/11/2024 02:29:52 pm
Menarik sekali bagaimana artikel ini menyoroti bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup tidak harus diukur dari status pernikahan, tetapi dari bagaimana seseorang menjalani hidupnya dan mencapai potensi penuh mereka.
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |