Seli Muna Ardiani (Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia) Enam tahun yang lalu, disebuah perbincangan, saya bersama beberapa rekan saling bertukar cerita mengenai pengalaman mendapatkan sexual harassment atau pelecehan seksual di masa remaja. Tentu penyebutan istilah ini kami sematkan setelah cukup mengetahui apa itu pelecehan seksual. Ingatan samar kami berisikan penilaian masa lalu terhadap tubuh yang tersakiti, kotor, menjijikkan, bahkan berdosa. Hampir keseluruhan dari kami menyimpan anggapan tersebut bertahun-tahun, tanpa sedikitpun pemahaman mengenai apa itu pelecehan dan kekerasan seksual. Kisah-kisah tersebut membuat kami menyimpulkan bahwa, sangat mungkin perempuan telah mengalami pelecehan tanpa tahu otonomi atas tubuhnya dilanggar. Melalui perbincangan inilah saya kemudian tertarik untuk mengetahui bagaimana awal mula istilah ‘sexual harassment’ dirumuskan. Sejarah Awal dan Diskusi yang Berkembang Sebelum periode 1970-an, istilah pelecehan seksual ternyata belum ditemui baik dalam naskah akademik, laporan, maupun surat kabar. Istilah tersebut baru dirumuskan oleh dua tokoh besar gerakan feminisme di Amerika, yakni Lin Farley dan Catharine A. MacKinnon. Reva B. Siegel dalam tulisannya A Short History of Sexual Harassment menyebut bahwa dua tokoh ini membawa pengaruh besar dalam sejarah perumusan dan implementasi konsep pelecehan seksual di dalam kebijakan Amerika pada saat itu. Meski secara istilah baru diformulasi pada periode 70-an, laporan pekerja buruh perempuan sudah mencatatkan pengalaman-pengalaman yang kemudian disebut sebagai pelecehan seksual. Catatan pertama tersebut dituliskan oleh Helen Campbell pada tahun 1887 yang berjudul “Women Wage Workers”. Dalam laporan ini, Campbell sudah mengidentifikasi bentuk-bentuk pemerasan seksual (sexual extortion) yang dialami perempuan pekerja pabrik dan industri garmen di Amerika. Berbekal dari pelbagai pengalaman buruh perempuan, Farley dalam sesi pengajarannya di Universitas Cornell tahun 1975 melakukan survey bersama Working Women United. Mereka menemukan suatu pola: kebanyakan para pekerja perempuan berhenti atau dipecat dari pekerjaan karena mereka dibuat tidak nyaman oleh perilaku laki-laki. Upaya perumusan juga dilakukan oleh MacKinnon dalam bukunya “Sexual Harassment of Working Women” (1979). Melalui karya inilah MacKinnon mempopulerkan istilah pelecehan seksual yang ia amati dalam lingkungan kerja. Ia medefiniskan pelecehan seksual sebagai “sexual harassment, most broadly defined, refers to the unwanted imposition of sexual requirements in the context of a relationship of unequal power”. Melalui definisi MacKinnon, pelecehan seksual mensyaratkan suatu kondisi tindakan yang tidak diinginkan dan dibawah ketimpangan kekuasaan. Pendefinisian inilah yang kemudian menjadi capaian gerakan feminisme Amerika, karena untuk pertama kalinya perlindungan terhadap pelecehan seksual mampu dimasukkan dalam Title VII atau Undang-Undang Hak Sipil di Amerika. Sebagai definisi, kategori situasi yang tidak diinginkan dan relasi kuasa adalah terobosan cemerlang dari MacKinnon. Namun dalam perkembangan intelektual feminisme, teori ini terus mengalami evaluasi. Salah satu gagasan yang mengoreksi pandangan MacKinnon datang dari Anita M. Superson. Ia tidak sependapat bahwa parameter tindakan pelecehan seksual dilihat dari situasi yang tidak diinginkan. Batasan ini dianggap bermasalah karena tidak cukup menggambarkan dampak buruk yang menimpa jenis kelas tertentu yakni perempuan. Bagi Superson, seorang korban tidak perlu lagi ditanyai apakah ia mengingankan atau tidak tindakan terhadapnya (Superson, 1993). Superson melalui definisi objektifnya mendapatkan dukungan dari beberapa pemikir seperti Jenna Tomasello dan Carol Hay. Sementara itu, diskusi yang lebih mutakhir seperti pandangan Vicki Schultz dan Margaret A. Crouch. Keduanya sama-sama mengoreksi pandangan MacKinnon yang dinilai heterosentris (Crouch, 2001). Schultz dan Crouch memahami bahwa pelecehan seksual dapat diterima siapa saja. Selain itu, hampir sama dengan gagasan Superson bahwa dengan melihat dampak buruk pelecehan seksual suatu tindakan juga berlaku sama terhadap suatu kelompok kelas. Melalui pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan juga berarti pelecehan terhadap seluruh kelompok perempuan. Silang pendapat konsep pelecehan seksual di dalam tubuh feminisme agaknya terus berkembang hingga saat ini. Bahkan Crouch sendiri dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada definisi tunggal mengenai pelecehan seksual. Perkembangan Konsep Pelecehan Seksual di Indonesia Dalam perkiraan kasar saya, publik Indonesia mulai mengakrabi istilah pelecehan seksual sejak periode tahun 90-an akhir dan awal 2000-an. Rentang waktu tersebut saya ketahui ketika mulai melacak kembali pelbagai laporan kekerasan terhadap perempuan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan). Tentu perkiraan ini bisa saja keliru, sebab saya hanya mengukurnya dengan parameter penggunaan istilah di dalam laporan akademik. Terlepas dari kemungkinan itu, laporan-laporan berikut ini menjadi catatan awal bagi publik untuk mengenali sejarah diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Pada bulan November tahun 1999, istilah pelecehan seksual dipakai dalam seri dokumen kunci Komnas Perempuan. Seri ini berisikan temuan tim gabungan pencari fakta peristiwa kerusuhan Mei 1998. Dalam cakupan yang lebih umum, pelecehan seksual hanyalah satu bagian dari beberapa kategori kekerasan seksual yang banyak menimpa perempuan etnis Tionghoa. Kejahatan seksual masal lainnya adalah perempuan korban peristiwa 1965. Kebanyakan dari mereka adalah istri tahanan politik serta yang dilabeli dengan Gerwani. Laporan yang terakhir ini diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2007. Kemudian pada laporan tahun 2010, pelecehan seksual dimasukkan dalam 15 bentuk kekerasan seksual meliputi: Perkosaan; Intimidasi Seksual; Pelecehan Seksual; Eksploitasi Seksual; Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual; Prostitusi Paksa; Perbudakan Seksual; Pemaksaan Perkawinan; Pemaksaan Kehamilan; Pemaksaan Aborsi; Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi; Penyiksaan Seksual; Penghukuman Tidak Manusiawi yang Bernuansa Seksual; Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan dan Mendiskriminasi; serta Kontrol Seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moral dan agama. 15 bentuk kekerasan seksual inilah yang kemudian dirumuskan dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2017. Melalui jalan terjal, RUU PKS yang diganti judul menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) berhasil disahkan menjadi UU TPKS pada 12 April 2022 dengan hanya mengakomodir 9 jenis kekerasan seksual. Antara Bahasa Hukum dan Perdebatan Akademik Bahasa hukum adalah bahasa kesepakatan, sementara bahasa akademik dipenuhi dengan perdebatan. Kendati konsep pelecehan seksual sudah masuk di dalam 9 jenis kekerasan seksual UU TPKS, perdebatan akademik mengenai konsep tersebut patut terus dikaji. Bukan hanya pada konsep pelecehan seksual saja yang telah dibahas oleh pemikir feminis selama ini, namun juga konsep kekerasan seksual secara umum. Di ruang akademik, perdebatan konsep pelecehan seksual jauh lebih sengit karena menghadapkan berbagai perspektif. Sebagaimana penjelasan saya di atas mengenai pendefinisian awal oleh MacKinnon, definisi pelecehan seksual terus diperiksa. Sementara istilah hukum lebih berupa bahasa objektif yang secara fungsional digunakan sebagai payung penegakan keadilan. Kebutuhannya didesak oleh nasib para korban di lapangan. Tentu perdebatan pendefinisian pelecehan seksual di dalam teori feminisme akan memengaruhi suatu kebijakan hukum. Namun saya melihatnya sebagai suatu proses berkelindan yang lagi-lagi terus mengevaluasi diri. Baik dalam segi pengembangan teori feminisme maupun konsep pelecehan seksual yang tersedia dalam bahasa hukum. Melalui pemahaman ini setidaknya kita menyadari bahwa pelecehan seksual bukanlah konsep final. Di ruang akademik, silang pendapat tentu tidak bisa dilepaskan dari landasan utama konseptualisasi ini. Yakni mengupayakan keadilan bagi korban pelecehan seksual. Spirit inilah yang kiranya akan melapangkan dada setiap pemerhati isu pelecehan seksual. Bahwa konsep ini akan terus dikaji ulang dan memungkinkan pengetahuan bagi semua individu.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |