Fadilla Dwianti Putri (Alumni Program Studi Pascasarjana Kajian Gender, Universitas Indonesia) Judul di atas adalah judul tesis yang saya tulis sampai akhir tahun 2023 lalu di Program Studi Kajian Gender, Universitas Indonesia. Hal yang paling saya ingat dari tesis saya justru adalah ketika pertama kali saya menyusun proposal tesis dan saya ditanya oleh Ketua Program Studi saya, Mia Siscawati: “Kenapa Dilla tertarik menulis topik ini?” Pertanyaan tersebut kemudian menggelitik saya, karena sejujurnya saya tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren atau sekolah keagamaan. Lantas, kenapa saya menantang diri sendiri untuk membahas topik kesalehan? Tahun 2014, setelah lulus S1, saya bekerja di sebuah non-governmental organization untuk isu-isu gender dan Islam. Dari sana, saya banyak belajar—meskipun secara tidak mendalam—ayat-ayat Al-Quran, Hadis, maupun teks-teks fikih klasik yang berbicara tentang perempuan dan kesetaraan gender. Tahun 2018, saya kembali ke organisasi tersebut setelah bekerja di lembaga lain, dan saya semakin mendapatkan banyak ilmu bahwa agama Islam—agama yang saya anut—sangatlah menjunjung tinggi kesetaraan, termasuk melindungi hak-hak perempuan, anak, dan kelompok marjinal lainnya. Namun, sayangnya, saya juga jadi paham bahwa masih ada interpretasi atas teks-teks keagamaan yang digunakan untuk mendiskriminasi perempuan, termasuk untuk mendomestikasi perempuan.
Pemilihan topik tesis ini sebenarnya berangkat dari keresahan pribadi saya yang melihat banyaknya narasi-narasi keagamaan yang mendomestikasi perempuan, atas alasan bahwa tempat terbaik bagi perempuan adalah di rumah. Menjadi paradoks ketika narasi-narasi tersebut dihadapkan pada situasi Indonesia yang semakin terbuka akses dan kesempatan perempuan pada pendidikan dan pekerjaan. Dari situ, saya menjadi ingin lebih mengeksplorasi bagaimana narasi-narasi keagamaan tersebut dipahami oleh generasi saya sendiri, yakni generasi milenial. Generasi saya juga terbilang unik, karena kami lahir dan tumbuh di penghujung era Orde Baru dan di awal era Reformasi. Ketika satu bentuk otoritas runtuh—negara—muncul bentuk otoritas lainnya—ajaran agama yang konservatif/fundamentalis—yang berkembang akibat proses demokratisasi, yang sama-sama menekan perempuan. Dr. Nur Rofiah, penggagas Ngaji Keadilan Gender Islam, pernah menuliskan dalam buku Justice And Beauty in Muslim Marriage (2022) bahwa, …hubungan dinamis antara teks dan konteks akhirnya digantikan oleh tradisi penafsiran yang kaku dan berpusat pada laki-laki. Akibatnya, saat ini, perempuan sering bergumul dengan teks yang diinterpretasikan dan digunakan dengan cara yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai etika Al-Quran, yaitu keadilan, kesetaraan, dan kepedulian.(1) Keresahan ini kemudian tervalidasi melalui perdebatan teman-teman saya di sebuah grup, yang sebagian besar merasa dilema ketika harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Salah seorang teman saya kemudian menyahut, “Kan aku mau masuk surga, yang nyuruh (berhenti bekerja) suami. Nurut saja biar dapat rida Allah.” Keinginannya berhenti bekerja bukan karena semata-mata ingin menjadi ibu rumah tangga, tetapi ada tujuan yang lebih besar, yaitu sebagai wujud kepatuhannya pada suami agar bisa mendapatkan rida Tuhan. Julia Suryakusuma (2017) pernah menyebutkan bahwa kini kita bukan lagi dihadapkan pada ideologi ibuisme negara, melainkan ibuisme agama.(2) Pada penelitian, ini saya mewawancarai lima orang perempuan secara mendalam. Mereka memiliki karakteristik yang serupa: perempuan, sudah menikah dan memiliki anak, milenial, urban, berpendidikan tinggi, dan ibu rumah tangga. Saya mendengarkan cerita mereka dengan saksama dan memahami kisah perjalanan hidupnya sedari kecil. Di tengah wawancara, terkadang mereka terisak ketika sedang bercerita pengalaman masa lalunya. Sebagai seorang peneliti feminis, saya diajarkan bahwa empati adalah hal yang harus dijunjung tinggi. Maka ketika itu, saya menghentikan wawancara dan memberikan ruang bagi subjek perempuan untuk bernapas sejenak hingga ia tenang kembali. Saya juga jadi semakin belajar bahwa dengan karakteristik subjek yang serupa, pengalaman perempuan tidak pernah tunggal. Saya juga jadi lebih paham bagaimana perempuan mengambil sebuah keputusan dalam hidupnya—dan itu membuat saya semakin sadar bahwa kita tidak berhak menghakimi keputusan-keputusan politis yang dibuat oleh seorang perempuan, karena mereka dibentuk dan dihadapkan pada norma-norma dan nilai-nilai yang ada di sekitarnya. Secara teoretis, saya menggunakan tiga kerangka teori utama dalam menganalisis penelitian tesis ini. Teori pertama yang saya gunakan adalah kerangka teori feminis liberalnya Betty Friedan dari bukunya yang berjudul The Feminine Mystique (1963). Saya menggunakan kerangka teori ini karena melihat bahwa ada proses yang serupa yang terjadi di Amerika Serikat dan Indonesia dalam mendorong perempuan ke dalam ruang domestik. Jika The Feminine Mystique menyoroti konstruksi femininitas, dalam konteks Indonesia saat ini, saya menggarisbawahi konstruksi kesalehan dan ibuisme. Namun, setelah penggalian data, saya sedikit mengalami kesulitan dalam menjembatani antara data lapangan dan teori. Karena sebagai sebuah teori yang muncul di awal gelombang gerakan feminisme, teori ini menjadi kurang kuat ketika dikaitkan dengan konteks perempuan Muslim Indonesia. Karena meskipun konteksnya sama-sama perempuan urban, masih terdapat celah yang cukup signifikan, misalnya, karena perempuan kulit putih Barat tidak dihadapkan pada nilai-nilai keagamaan yang turut memperkuat proses domestikasi. Oleh karena itu, ketika menganalisis data, saya menjembatani aspek-aspek sosial budaya melalui teori ibuisme oleh Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis (1987) yang lebih lekat dengan kehidupan perempuan Indonesia, terutama karena konteksnya berkembang di Pulau Jawa. Saya juga banyak terpengaruh oleh pandangan Julia Suryakusuma (1988) tentang ibuisme negara, sebagai perkembangan pemikiran Djajadiningrat-Nieuwenhuis. Pemikiran Suryakusuma juga masih terus relevan hingga saat ini, terutama ketika ibuisme negara ditempatkan dalam konteks Indonesia pasca-Orde Baru, dan bagaimana relevansi ibuisme negara terhadap kehidupan perempuan di era Reformasi. Saya kemudian menjadi paham bahwa nilai-nilai ibuisme telah melampaui batasan institusi seperti Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita, karena nilai tersebut masih sangat melekat dalam diri perempuan, tak terkecuali perempuan-perempuan milenial yang saya wawancarai. Teori ketiga yang saya gunakan adalah teori agensi dari Saba Mahmood melalui bukunya Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject (2005). Pada awalnya, saya mengira bahwa teori agensi yang dikemukakan oleh Mahmood hanya berlaku dalam konteks negara seperti Mesir atau Turki yang justru sedang mengalami proses sekulerisasi, sehingga perempuan-perempuan dalam gerakan majelis taklim seperti menemukan safe space-nya melalui narasi-narasi keagamaan di tengah gempuran sekulerisme. Akan tetapi, di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, karena Indonesia sedang mengalami pengaruh yang semakin kuat atas wacana keagamaan yang terinstitusionalisasi, mulai dari peraturan daerah, hukum keluarga, aturan sekolah, hingga majelis-majelis taklim, dan ruang pendidikan informal. Namun, menguatnya proses ideologisasi tersebut bukan berarti kemudian meniadakan agensi perempuan. Saya sempat ditantang oleh seorang dosen yang mengatakan bahwa, terlepas dari ideologi kesalehan, ibuisme, dan femininitas yang membelenggu, perempuan tetap bukanlah sosok pasif. Selalu ada celah kesadaran kritis dalam diri perempuan untuk mengembangkan agensinya. Namun, agensi yang dimiliki oleh perempuan-perempuan Muslim serupa di Indonesia ataupun Mesir tidak bisa dipahami melalui teori agensi feminisme Barat, karena dapat “menjebak” saya untuk menjadikan subjek-subjek sebagai “korban” atas hegemoni ideologi tertentu. Dengan teori agensi dari Saba Mahmood, saya menjadi lebih empati dan memahami bahwa pemikiran kritis seorang perempuan tidaklah linier, melainkan kompleks, karena ia dihadapkan pada berbagai realita dan nilai yang membentuknya untuk menginginkan menjadi perempuan salihah, feminin, sekaligus menjadi ibu yang baik. Oleh karena itu, subjek-subjek yang terlibat dalam penelitian tesis saya, bisa dengan yakin saya katakan, bukanlah perempuan-perempuan Muslim yang teropresi sebagaimana yang kerap digambarkan oleh media ataupun pemikiran Barat. Sebaliknya, mereka merupakan subjek penuh yang memiliki agensi, yang memiliki berbagai modalitas untuk membela kepentingannya. Sebagaimana Mahmood sampaikan, agensi bisa dimaknai “…bukan hanya tindakan yang menentang norma, melainkan juga berbagai cara yang dilakukan oleh seseorang yang hidup dalam norma tersebut.” (Mahmood 2005, hlm. 15). Tindakan-tindakan yang dimanifestasikan oleh para subjek perempuan dalam penelitian saya adalah proses perempuan Muslim “melawan” norma-norma sosial dan agama yang berlaku. Pada akhirnya, sebagai sebuah penelitian feminis, penelitian tesis saya melampaui sebagai sebuah penelitian akademis. Di dalamnya mencakup proses refleksi dan perjalanan diri saya sendiri sebagai seorang perempuan Muslim milenial. Dari para subjek, saya menjadi lebih empati terhadap keberagaman pengalaman perempuan. Dari mereka, saya juga belajar untuk memahami bahwa perlawanan perempuan tidak harus selalu dilakukan secara terbuka, tetapi bisa melalui tindakannya sehari-hari. Catatan Kaki (1) Ziba Mir-Hosseini, et.al. (ed), 2022, Justice and Beauty in Muslim Marriage: Towards Egalitarian Ethics and Laws, UK: Oneworld Academic. (2) Aditya Widya Putri, 2017, “Julia Suryakusuma: Dulu Ibuisme Negara, Sekarang Ibuisme Agama”, https://tirto.id/dulu-ibuisme-negara-sekarang-ibuisme-agama-cAMB Daftar Pustaka Djajadiningrat-Nieuwenhuis, Madelon. “Ibuism and Priyayization: Path to Power?” Indonesian Women in Focus: Past and Present Notions, 1987, pp. 43–51. Friedan, Betty. The Feminine Mystique. W. W. Norton & Company, 2001. Mahmood, Saba. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton University Press, 2005. Mir-Hosseini, Ziba, et al., editors. Justice and Beauty in Muslim Marriage: Towards Egalitarian Ethics and Laws. Oneworld Academic, 2022. Putri, Aditya Widya. “Julia Suryakusuma: Dulu Ibuisme Negara, Sekarang Ibuisme Agama”, 2017. https://tirto.id/dulu-ibuisme-negara-sekarang-ibuisme-agama-cAMB. Suryakusuma, Julia. Ibuisme Negara. Komunitas Bambu, 2021.
1 Comment
17/5/2024 04:20:25 pm
Nice for information
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |