Sebuah Cerpen oleh Mia Olivia (Mantan Badan Pekerja Komnas Perempuan dan Pengembang Safe Circle, Komunitas Pemberdaya Jiwa untuk Perempuan dan Minoritas) Apakah seorang seperti aku diperbolehkan semesta untuk jatuh cinta? Apakah seorang pekerja seks seperti aku mampu mendapat kasih sayang alam untuk bisa bersama dengan orang yang aku cintai? Jika takdir bisa mempersatukan orang yang bahkan tidak saling cinta selama puluhan tahun, kenapa takdir tidak berkenan untuk menyatukan aku dan dia? Ibu - panggilan kami untuk mucikari yang menanggung kami dalam satu rumahnya- memperingatkan di awal sekali, bertahun yang lalu, bahwa kalau bisa jangan sampai membuka hati untuk klien. Aku, yang saat itu baru berusia 15 tahun, kebingungan dengan pekerjaan macam apa ini dan selipan rasa takut yang selalu datang akibat dikelilingi orang-orang yang tidak kukenal, tidak memahami betul apa maksudnya. Sampai suatu waktu, beberapa bulan setelah kedatanganku, salah satu gadisnya Ibu, Nirmala namanya, ditemukan overdosis, tergeletak di taman dekat rumah kami. Ia rupanya bunuh diri dengan sengaja meminum pil lebih banyak dari seharusnya menggunakan alkohol lebih banyak dari semestinya. Dalam suratnya yang penuh bercak air mata, ia menuliskan betapa ia patah hati karena ia jatuh cinta dengan klien regulernya. Tetapi orang itu hanya menganggapnya sebagai tempat pelimpahan nafsu saja, tidak lebih dari itu. Orang yang dia cintai bahkan seringkali salah memanggil nama Nirmala dengan nama pacar aslinya atau nama perempuan lain yang entah ia tiduri dimana. Karena tidak sanggup, Nirmala akhirnya bunuh diri. Ibu, aku ingat betul ekspresinya, memasang muka dingin saat melihat jasad Nirmala dan hanya mengucapkan satu kata saja, “Tolol”.
Rupanya yang dimaksud dengan membuka hati adalah dengan membiarkan diri kita lupa akan profesi kita saat bertemu dengan klien. Jika ingin membuka hati, bukalah dengan orang lain, bukan klien, begitu kata Ibu. Jika ingin memulai keluarga, bayarlah semua hutangmu dan baru kamu bisa pergi dari rumah ini, Ibu menambahkan. Sejak dari itu, aku, yang sama sekali belum mengenal cinta tapi sudah hafal cara-cara bercinta, memasang penjagaan kuat. Aku, Desita, adalah seorang pekerja seks dan klienku tidak lebih dari manusia-manusia tak berwajah yang silih berganti setiap harinya. Cerita-cerita klienku tentang kehidupan pribadi mereka, hanya kuanggap seperti air pembasuh kaki saja, kurasakan alirannya tapi kubiarkan ia terbuang ke got, tidak menetap. Selama empat tahun aku menjalani peran itu tanpa sedikitpun tergugah. Penjagaan ini sekaligus membuang rasa jijik jika aku mendapat klien yang jelek atau bau, selama ia bersedia membayar dan memberi tips, bagiku mereka hanyalah seonggok daging tak berharga. Silih berganti anak-anak gadis Ibu, masih kudengar juga petuah itu diulang-ulang setiap datang gadis baru tapi masih juga tetap ada yang terjebak dan akhirnya patah hati meski tidak semuanya berakhir seperti Nirmala, tapi tidak pernah ada happy ending untuk gadis Ibu. Semesta punya cara sendiri, katanya. Lagi-lagi kata yang tidak aku pahami. Apa itu semesta dan cara apa yang ia punya? Semesta yang aku tahu hanya yang ada di pelajaran SMP-ku, itupun aku sudah lupa. Dia tersenyum dan menjelaskan kepadaku apa itu semesta yang ada di kalimatnya, dengan penuh sabar dan tanpa merendahkan ketidaktahuanku. Durasi booking empat jam, tiga jam kami habiskan untuk berbincang dan hanya sedikit kami habiskan untuk bercinta, bahkan kadang kami tidak penetrasi sama sekali dan hanya berbincang saja tentang harinya, pekerjaannya sebagai fotografer pemandangan alam dan posisinya sebagai anak bungsu dari keluarga Jawa yang penuh dengan tuntutan. Aku tidak begitu mengerti sebagian besar dari kata-katanya dan aku merasa aku tidak butuh untuk mengerti itu juga, toh dia hanya klien, dan setelah dia aku masih ada klien berikutnya dua jam kemudian atau malam harinya. Tapi ada sesuatu, ya ada sesuatu dari cara dia bercerita yang membuatku ingin bertanya dan bertanya dan membuatnya menjelaskan dengan begitu rinci dan menarik. Klien bercerita bukan hal aneh bagi kami, bahkan ada yang cerita sambil nangis tentang istrinya yang selingkuh dengan pejabat atau cerita kerinduannya akan anaknya yang diambil mantan istrinya, tapi semua itu kutanggapi dengan senyuman atau belas kasih palsu, karena aku tidak peduli dengan semua itu. Mereka bukan siapa-siapaku sehingga aku tidak perlu lelah-lelah mengeluarkan tenaga untuk peduli. Tapi tidak dengan orang ini. “Tahukah kamu Des, bahwa air itu punya gelombang energi yang luar biasa? Itu sebabnya air itu seringkali disebut sebagai penyembuh“ katanya dalam suatu siang di sebuah hotel jelek dengan gagang bekas sikat gigi sebagai pengganjal lampunya. “Oh ya? Aku belum pernah dengar itu,“ jawabku. “Kamu harus membaca ini Des, bacalah!“ katanya sambil menyodorkan tabletnya yang layarnya berisi banyak sekali huruf. Duh, malas sekali aku disuruh membaca tapi wajahnya yang seperti anak anjing penuh kegirangan itu membuatku mau tidak mau menerima tablet itu dan membacanya sedikit. Aku mengatakan padanya aku tidak terlalu paham apa yang dimaksud dengan tulisan itu dan ia menjelaskan laksana dosen dengan gaya yang lucu sampai aku terpingkal-pingkal. Aku meluluhkan penjagaanku, entah sengaja atau tidak. Kusadari itu saat aku mulai menunggu panggilan darinya, saat aku mulai berharap setiap bunyi di ponselku adalah darinya. Kami bertukar nomor telepon dan memang ia jarang menelepon tapi ia sesekali mengirimkanku pesan kadang gambar yang lucu berisi ucapan selamat pagi. Entah berapa kali aku bolak balik melongok ke ponselku, berharap namanya muncul di sana. Hari dimana ia membookingku adalah hari yang sangat kunantikan. Aku selalu membeli baju baru dengan uangku yang seadanya, agar ia tidak melihatku dengan baju yang sama seperti terakhir kali ia bertemu denganku. Aku selalu mandi lebih lama dan memakai parfum terbaikku. Apakah seperti ini kalau orang mau berkencan? Ya ini memang kencan, kencan berbayar dengan klien, bukan dengan kekasih, tapi seruak dorongan untuk menganggap bahwa aku akan berkencan dengan pacarku itu tidak bisa kubendung dan kukontrol lagi. Saat melihat wajahnya hatiku begitu penuh kegembiraan dan aku memberikan yang terbaik untuk dia, aku bahkan berusaha untuk membaca beberapa berita di malam sebelum aku bertemu dengannya meskipun aku sangat kelelahan, agar aku bisa memiliki bahan pembicaraan yang bermutu. Aku ingin dia melihatku sebagai perempuan yang bisa diajak bicara, bukan hanya bisa diajak tidur saja. Aku ingin dia melihatku sebagai kekasihnya, bukan pelampiasan sesaat nafsunya. Aku mulai merasakan mual saat aku harus melayani klien yang lain, aku merasa seperti diperkosa. Aku tidak ingin tubuhku menjadi milik siapapun, aku hanya ingin mempersembahkan tubuhku untuk dia saja, aku tidak ikhlas tubuhku disentuh barang sedikitpun oleh orang lain. Dan ini ternyata berdampak ke performa kerjaku, beberapa klien akhirnya tidak lagi datang kepadaku dan aku tidak peduli, hanya saja Ibu mulai marah-marah karena aku tidak memberikan pemasukan dan pembayaran hutang seperti sediakala. Aku tahu dia punya kekasih betulan. Beberapa kali aku melihat ponselnya saat ia mandi dan aku mendapatinya bertukar pesan dengan seseorang dengan sangat akrab, hangat dan penuh kasih sayang. Hatiku sakit sekali. Aku melihat foto profil perempuan itu dan wajahnya ayu sekali dan aku yakin ia pintar dan berpendidikan. Pedih sekali hatiku. Bisakah aku seperti dia? Bisakah aku melunasi semua hutangku ke Ibu dan kemudian mencari pekerjaan lain sehingga dia akan melihatku sebagai aku dan bukan sebagai pemuas nafsunya saja? Namun hutangku begitu besar dan bisa apa seorang anak yang bahkan tidak lulus SMP di Ibukota ini? Pekerjaan apa yang bisa kudapat? Berapa gajinya? Meski orang bilang tempat ini buruk tapi tempat ini bisa memberikan sandang, pangan dan papan yang layak. Bisakah aku mendapat ini semua saat aku dilepas Ibu nanti? Aku memberanikan diri berkata padanya suatu malam, bahwa aku ingin keluar dari tempat ini dan bisakah ia menampungku untuk sementara. Ia terkejut dan kebingungan. Ia berkata bahwa ia masih tinggal dengan orangtuanya dan tidak mungkin menampung seorang perempuan di rumahnya. Kata-katanya entah kenapa menusuk sekali karena aku tahu yang ia maksud ‘perempuan’ adalah perempuan seperti aku. Entah kerasukan setan apa, aku berkata padanya bahwa aku mencintai dia, bahwa aku memiliki perasaan yang besar kepadanya. Ia semakin kebingungan dan melangkah mundur. Ia menatapku dengan tatapan aneh yang tidak pernah aku lihat dari mimik wajahnya selama enam bulan ini. Ia bertanya apakah aku sadar sekarang, apakah aku sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. “Desita, sepertinya kamu sudah salah paham ya dengan aku? “ “Salah paham apanya? Aku tahu perasaan aku, aku mencintai kamu dan berharap aku bisa menjadi perempuan yang kamu cintai juga.Kita berbagi cerita dan rasa, aku tidak salah paham. “ “Desita, aku membayarmu untuk itu, dan dengan nominal yang tidak murah. Aku membayarmu bukan karena urusan ranjang saja tapi karena kamu bisa diajak bicara banyak hal yang aku tidak bisa lakukan dengan pacarku. “ Satu kalimat dalam satu tarikan nafas itu berhasil menarik jiwaku keluar. Pedih sekali rasanya, seperti inikah saat nyawa dicabut? Sesakit inikah? Kepalaku kosong, aku tidak bisa bergerak. Ia menaruh beberapa lembar uang di meja dan menuju pintu. “Aku tidak akan menemuimu lagi. Ini menjadi berlebihan. Aku tidak ingin apapun darimu kecuali waktumu, tapi sepertinya kau salah menerima. “ Hanya sepotong-sepotong kalimat yang masuk ke dalam telingaku tapi aku tahu bahwa detik itu juga aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Kudengar bunyi pintu ditutup dan aku menangis sejadi-jadinya di kamar itu sendirian. Oh, sesakit inikah? Tidak aneh Nirmala waktu itu sampai menghabisi nyawanya sendiri karena patah hati ini begitu, karena rasanya sakit sekali. Hatiku patah dengan sekali hentakan dan isi perutku keluar tak henti. Kepalaku yang tadinya kosong, menjadi begitu sakit sampai aku tidak bisa membuka mataku. Aku tidak akan jatuh cinta lagi. Cinta itu begitu menyakitkan dan memeranakan. Atau aku memang tidak pantas mencintai dan dicintai seumur hidupku? Ponselku berdering keras, aku berlari menghampiri karena aku kira itu adalah dia. Saat kulihat itu adalah pesan dari Ibu, “Jangan kelamaan! Ini Pak Seno sudah mau datang satu jam lagi!“
3 Comments
27/1/2023 09:07:40 am
Sad story dengan ending yang membagongkan, kirain bakal ending mirip nirmala ternyata "back to work", wkwk.
Reply
31/7/2024 06:05:15 pm
Nice for information
Reply
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |