Hany Fatihah Ahmad (Mahasiswi S1 UIN Syarif Hidyatullah) Feminisme, sebuah kata dengan banyak stigma dan menimbulkan berbagai persepsi di dalam ruang dialektika masyarakat. Mengenai pengertian feminisme, tentu pembaca artikel ini dapat menelusuri langsung karya-karya tokoh feminis seperti Nawal el-Saadawi, Simone de Beauvoir, Marry Wollstonecraft dan masih banyak lagi. Pilihan lainnya, pembaca juga dapat menyimak video kuliah tokoh feminis Indonesia seperti Gadis Arivia atau Rocky Gerung di Youtube. Atau membaca ribuan jurnal penelitian mengenai gagasan ini di internet. Melalui berbagai pembacaan, baik secara tekstual dan kontekstual, saya sampai pada pemahaman bahwa feminisme bukan hanya sekaedar -isme belaka, tetapi sebuah tindakan, gerakan perubahan, cara pandang, dan moral.
Gagasan feminisme dalam mengkaji ketertindasan pun berhasil melampaui sosialisme. Bayangkan saja, ketika sosialisme mengatakan bahwa ketertindasan berasal dari struktur kelas sosial, feminisme membahas lebih jauh dan detail mengenai situasi ketertindasan tersebut. Bahwa ketertindasan juga berasal dari perbedaan jenis kelamin. Selama ini, perempuan seringkali dianggap sebagai manusia kelas kedua setelah laki-laki. Tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan atau dipinggirkan dalam pergaulan publik, politik, bahkan industri tentu menjadikan perempuan miskin secara struktural yang selanjutnya melahirkan generasi miskin dan tertindas berikutnya. Maka feminisme awalnya diproduksi oleh perempuan dengan pengalaman ketertindasannya sepanjang usia abad ini, bukan berarti selain perempuan tidak dapat mereproduksi atau mengadopsi pengetahuan tersebut. Saya umpamakan feminisme sebagai rahim pengetahuan: tempat pengetahuan dari berbagai situasi diproduksi dan ruang bebas untuk merebut pengetahuan dari kuasa kelompok dominan. Bagi saya, feminisme tidak pernah saklek berdiri di parameter kanan atau kiri. Ia begitu cair karena pembacaannya berangkat dari sebuah situasi lokal bukan teori universal. Harus saya ulangi sekali lagi bahwa feminisme bukan hanya -isme belaka, tetapi sebuah tindakan, gerakan perubahan, cara pandang, dan moral. Feminisme bukan sesuatu yang sudah mapan dan selesai. Ia adalah awalan bagi siapapun yang ingin melihat ketertindasan yang tak pernah dikaji oleh kebanyakan -isme di dunia, dimana penggagasnya penuh diisi oleh laki-laki. Agar pengetahuan berperspektif feminisme dapat terdistribusikan secara luas di berbagai kalangan masyarakat, sebisa mungkin harus disampaikan dengan kosakata atau istilah yang tidak berbelit. Tentu dengan ruang yang bebas dan inklusif. Ia tidak boleh hadir sebagai jurang pemisah antara seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan. Supaya tidak melahirkan suatu sistem hierarki baru dan berujung ketertindasan dalam dunia pemikiran bagi kelompok-kelompok tertentu. Saya masih ingat perkataan Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas yang berbunyi, “...Kaum penindas dan humanisme revolusioner sama-sama menggunakan ilmu pengetahuan. Namun kaum penindas menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mengubah kaum tertindas menjadi ‘benda’ atau objek. Sedangkan kaum revolusioner menggunakan ilmu pengetahuan sebagai alat humanisasi. Kaum tertindas harus menjadi subjek dari proses revolusioner, jangan sampai mereka kembali menjadi objek untuk kepentingan ilmiah saja.” Hal ini kemudian saya coba terapkan dalam sebuah forum yang didirikan dan dirawat bersama kawan-kawan di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, bernama Forum Ngaji Gender (FNG). Begitu pula dengan forum yang menjadi wadah saya untuk belajar bersama kawan-kawan mahasiswa dan dosen lintas bidang program studi di UIN Jakarta yaitu Gender Equality Class (GEC). Di Forum Ngaji Gender, kami mengadakan kegiatan literasi seperti bedah buku dan diskusi akar rumput dengan topik gender dan perempuan serta keterkaitannya dengan dunia pemikiran Islam. Tidak hanya perempuan, semua orang berhak mendapat pengetahuan berperspektif feminis, tanpa memandang jenis kelamin. Kawan perempuan dan laki-laki duduk bersama menjadi subjek untuk berbagi pengetahuan dan menggugat budaya patriarki bersama. Di Gender Equality Class, kami menjadi fasilitator dalam kelas daring yang berkolaborasi dengan dosen-dosen UIN Jakarta dari berbagai konsentrasi bidang keilmuan, seperti teologi, sejarah, dan sosiologi. Forum ini merupakan manifestasi dari keresahan kami sebagai mahasiswa yang tidak mendapat ilmu mengenai kajian gender di kelas-kelas formal perkuliahan. Saya bersama kawan-kawan dalam forum tersebut meyakini bahwa pengetahuan perspektif feminis harus hadir dalam setiap ruang akademik, baik formal maupun non-formal. Tentu sebagai anti-tesis atas keilmuan yang dianggap sudah mapan sebelumnya, namun masih melegitimasi ketertindasan terhadap perempuan.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSahabat Jurnal Perempuan Archives
October 2024
Categories |