Undangan Menulis
TOR JP 91 November 2016
Tenggat 25 September 2016
Tenggat 25 September 2016
Status Perempuan dalam STEM
(Sains, Teknologi, Engineering & Matematika)
Dalam agenda SDGs (Sustainable Development Goals) atau dikenal juga sebagai agenda 2030, salah satu mandat dalam wacana kesetaraan adalah pentingnya perempuan, remaja perempuan dan anak-anak perempuan untuk menguasai sains, teknologi dan inovasi (STI), yang merupakan tujuan kelima. Kesempatan pembangunan politik ekonomi tidak bisa dipisahkan dari sektor ini, misalnya perubahan iklim dan teknologi yang bersih karbon (atau bebas karbon) membutuhkan partisipasi perempuan dalam penguasaan teknologinya. Akan tetapi, dunia mengalami masalah mendasar dalam hal ini, yaitu adanya gap penguasaan dan akses STI oleh laki-laki dan perempuan. Setidaknya 90% pekerjaan sekarang membutuhkan ketrampilan ICT (Information Communication and Technology). The Commission on the Status of Women (2011, 2014) dan 20 tahun perjalanan Beijing Platform for Action (2015) merekomendasikan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengadvokasi rendahnya perempuan dan remaja perempuan dalam ICT dan STI. Maka dari itu dibutuhkan investasi dan jalan akses untuk diberikan pada anak-anak dan remaja perempuan untuk menutup jurang penguasaannya.
Menurut laporan Bank Dunia, jumlah perempuan dalam STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) terus-menerus menurun dari sekolah menengah sampai dengan universitas, kemudian diteruskan dalam pekerjaan di laboratorium, pengajaran dan pengambil kebijakan riset dan teknologi (UN Women Report 2015). Perihal ini disebabkan oleh rendahnya perempuan dalam pengambil kebijakan dan keputusan yang menyangkut riset teknologi di negara masing-masing. Kepemimpinan perempuan amat rendah dalam penggunaan energi, adaptasi perubahan iklim, dan produksi ekonomi. Dalam sektor formal, hanya 10% perempuan berada dalam sektor STI. Ini amat kecil sekali dan merugikan perempuan secara global. Dan yang lebih menyedihkan UN Women melaporkan hanya 5% perempuan saja yang menjadi anggota dari akademi nasional dalam disiplin sains teknologi. Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena anak-anak perempuan, remaja perempuan dari kecilnya telah terdiskoneksi dengan akses teknologi dan tak adanya dukungan budaya dan lingkungan pada anak-anak dan remaja perempuan untuk menguasai STI, ICT, STEM.
Di Jerman misalnya, untuk mendongkrak dan mengurangi gap antara anak laki-laki dan perempuan, sekolah-sekolah menyelenggarakan GIRLS’ DAY, yaitu visitasi anak-anak dan remaja perempuan ke perusahaan, pabrik dan industri-industri untuk memberikan mereka gambaran pelbagai jenis pekerjaan dan riset—setidaknya anak-anak perempuan tertarik akan bidang ini. Sikap dan bias masyarakat telah melahirkan ketidakadilan atas partisipasi anak dan remaja perempuan dalam STI, ICT dan STEM—yang telah lama menjadi domain keahlian laki-laki. Penguasaan teknologi dan sains menjadi penyumbang bagi pembangunan ekonomi. Maka tidak heran jika banyak perempuan lebih miskin karena tidak menguasai ICT, STI, STEM.
Salah satu cara untuk mereduksi gap tersebut adalah mengadvokasi sekolah-sekolah kejuruan untuk membuka peluang lebih banyak pada anak dan remaja perempuan. Data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menarasikan bahwa di Indonesia setidaknya ada 6.800 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). ADB (Asian Development Bank) menunjukkan pentingnya SMK dengan membuka data bahwa tantangan ekonomi Indonesia besar karena hanya 120 juta pekerja ada dalam sektor formal dan terlatih. Ini terlalu sedikit, maka diperlukan SMK. Depdikbud melaporkan juga bahwa hanya 62% guru-guru SMK yang memenuhi kualifikasi standar sekolah kejuruan. ADB melaporkan bahwa banyak siswa SMK berasal dari keluarga berlatarbelakang ekonomi kelas bawah. SMK membuka jurusan sebanyak 46% dalam teknologi dan industri, 43% dalam bisnis dan manajemen, 5% dalam agrikultur dan 2.4% dalam seni dan kerajinan tangan. Yang menyedihkan hanya 4 anak perempuan dari 10 siswa adalah perempuan (Strait Times, 2015). Gap ini amat memprihatinkan dan menjadi salah satu faktor penyumbang mengapa perempuan cenderung lebih miskin daripada laki-laki secara nasional.
Dalam kajian UNESCO: A Complex Formula: Girls and Women in Science, Technology, Engineering and Mathematics in Asia (UNESCO Bankok, 2015) menarasikan pelbagai sebab dan langkah pemberdayaan untuk menutup gap tersebut. Secara global dilaporkan bahwa hanya ada 30% perempuan dalam STEM. Di Asia sendiri hanya ada 18% perempuan. Seperti dalam hadiah Nobel, hanya ada 2 perempuan yang memenangkan dalam bidang STEM, dan tak ada satu pun perempuan dari Asia. Jelas di sini dapat disimpulkan ada defisit perempuan dalam ICT, STI dan STEM. Remaja perempuan di Asia lebih banyak memilih jurusan lain ketika di universitas daripada yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Setidaknya di ASEAN, kurang dari 23% perempuan masuk jurusan teknik. Salah satu sebab yang membuat remaja perempuan enggan masuk jurusan ini, karena adanya bias dalam materi, kurikulum dan kuatnya stereotype dalam masyarakat bahwa anak perempuan tidak cocok dengan STEM. Cara-cara inspiratif dan konfirmatif perlu dilakukan untuk meningkatkan hasrat anak perempuan belajar dan berkarir dalam STEM. Di samping itu, kurangnya role models dan tokoh perempuan dalam STEM banyak membuat anak perempuan enggan menekuninya. Dalam temuan UNESCO ini juga dinarasikan bagaimana sesungguhnya anak dan remaja perempuan amat bisa menguasai STEM ketika di sekolahan tetapi merasa takut, cemas, dan malu ketika harus berhubungan dengan guru mereka. Ini menunjukkan masih kuatnya bias dalam proses pembelajaran STEM di sekolah-sekolah. Setidaknya UNESCO melaporkan kurang dari 19% kontrak-kontrak kerja dalam bidang STEM dilakukan oleh perempuan. Sedang lebih dari 81% dikuasai oleh laki-laki, sehingga wajar bila kemudian perempuan tidak ada dalam meja-meja keputusan dalam kebijakan sains dan teknologi. Hal ini kemudian berimbas pada pola kebijakan infrastruktur dan politik ekonomi secara luas, yaitu: disparitas gender yang semakin besar.
STEM di Indonesia, selain diperkenalkan di sekolah tingkat dasar, menengah dan universitas; secara khusus ada di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dalam film dokumenter GIZ berjudul Indonesian Women in Science and Technology perihal sosialisasi SMK bagi anak perempuan menarasikan bahwa siswi di SMK yang berbasis STEM (Teknik Pendingin & Tata Udara; Pemesinan; Teknik Kendara Ringan) hanya 2% dibandingkan siwa laki-laki yang hampir 98% untuk kelas X, XI, XII dan XIII (PDSP Kemdikbud, 2015). Defisit anak perempuan dalam SMK dengan basis STEM menegaskan kembali disparitas gender secara nasional. Promosi dan langkah afirmatif untuk memperkenalkan ini pada anak dan remaja perempuan amat penting untuk menutup disparitas ini. Dalam documenter ini dinarasikan bagaimana Okti Diani merupakan satu-satunya siswa perempuan dari 65 siswa lain Teknik Pemesinan di SMKN1 Cibinong. Widia Putri juga merupakan sedikit dari siswi yang masuk jurusan Mesin Pendingin dan Tata Udara kelas XII di SMKN1 Magelang. Ini tentu bukan kabar yang baik. Sosialisasi STEM untuk anak-anak perempuan perlu dilakukan dengan lebih banyak lagi melalui kecintaan pada sains dan teknologi.
Kajian JP91 kali ini akan membedah pelbagai matra atas gap anak dan remaja perempuan dalam ICT, STI, dan STEM dari matra filsafat, antropologi, politik ekonomi, sosiologi, pendidikan, dan kebijakan. Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 25 September 2016 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Menurut laporan Bank Dunia, jumlah perempuan dalam STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) terus-menerus menurun dari sekolah menengah sampai dengan universitas, kemudian diteruskan dalam pekerjaan di laboratorium, pengajaran dan pengambil kebijakan riset dan teknologi (UN Women Report 2015). Perihal ini disebabkan oleh rendahnya perempuan dalam pengambil kebijakan dan keputusan yang menyangkut riset teknologi di negara masing-masing. Kepemimpinan perempuan amat rendah dalam penggunaan energi, adaptasi perubahan iklim, dan produksi ekonomi. Dalam sektor formal, hanya 10% perempuan berada dalam sektor STI. Ini amat kecil sekali dan merugikan perempuan secara global. Dan yang lebih menyedihkan UN Women melaporkan hanya 5% perempuan saja yang menjadi anggota dari akademi nasional dalam disiplin sains teknologi. Mengapa hal itu dapat terjadi? Karena anak-anak perempuan, remaja perempuan dari kecilnya telah terdiskoneksi dengan akses teknologi dan tak adanya dukungan budaya dan lingkungan pada anak-anak dan remaja perempuan untuk menguasai STI, ICT, STEM.
Di Jerman misalnya, untuk mendongkrak dan mengurangi gap antara anak laki-laki dan perempuan, sekolah-sekolah menyelenggarakan GIRLS’ DAY, yaitu visitasi anak-anak dan remaja perempuan ke perusahaan, pabrik dan industri-industri untuk memberikan mereka gambaran pelbagai jenis pekerjaan dan riset—setidaknya anak-anak perempuan tertarik akan bidang ini. Sikap dan bias masyarakat telah melahirkan ketidakadilan atas partisipasi anak dan remaja perempuan dalam STI, ICT dan STEM—yang telah lama menjadi domain keahlian laki-laki. Penguasaan teknologi dan sains menjadi penyumbang bagi pembangunan ekonomi. Maka tidak heran jika banyak perempuan lebih miskin karena tidak menguasai ICT, STI, STEM.
Salah satu cara untuk mereduksi gap tersebut adalah mengadvokasi sekolah-sekolah kejuruan untuk membuka peluang lebih banyak pada anak dan remaja perempuan. Data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menarasikan bahwa di Indonesia setidaknya ada 6.800 SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). ADB (Asian Development Bank) menunjukkan pentingnya SMK dengan membuka data bahwa tantangan ekonomi Indonesia besar karena hanya 120 juta pekerja ada dalam sektor formal dan terlatih. Ini terlalu sedikit, maka diperlukan SMK. Depdikbud melaporkan juga bahwa hanya 62% guru-guru SMK yang memenuhi kualifikasi standar sekolah kejuruan. ADB melaporkan bahwa banyak siswa SMK berasal dari keluarga berlatarbelakang ekonomi kelas bawah. SMK membuka jurusan sebanyak 46% dalam teknologi dan industri, 43% dalam bisnis dan manajemen, 5% dalam agrikultur dan 2.4% dalam seni dan kerajinan tangan. Yang menyedihkan hanya 4 anak perempuan dari 10 siswa adalah perempuan (Strait Times, 2015). Gap ini amat memprihatinkan dan menjadi salah satu faktor penyumbang mengapa perempuan cenderung lebih miskin daripada laki-laki secara nasional.
Dalam kajian UNESCO: A Complex Formula: Girls and Women in Science, Technology, Engineering and Mathematics in Asia (UNESCO Bankok, 2015) menarasikan pelbagai sebab dan langkah pemberdayaan untuk menutup gap tersebut. Secara global dilaporkan bahwa hanya ada 30% perempuan dalam STEM. Di Asia sendiri hanya ada 18% perempuan. Seperti dalam hadiah Nobel, hanya ada 2 perempuan yang memenangkan dalam bidang STEM, dan tak ada satu pun perempuan dari Asia. Jelas di sini dapat disimpulkan ada defisit perempuan dalam ICT, STI dan STEM. Remaja perempuan di Asia lebih banyak memilih jurusan lain ketika di universitas daripada yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Setidaknya di ASEAN, kurang dari 23% perempuan masuk jurusan teknik. Salah satu sebab yang membuat remaja perempuan enggan masuk jurusan ini, karena adanya bias dalam materi, kurikulum dan kuatnya stereotype dalam masyarakat bahwa anak perempuan tidak cocok dengan STEM. Cara-cara inspiratif dan konfirmatif perlu dilakukan untuk meningkatkan hasrat anak perempuan belajar dan berkarir dalam STEM. Di samping itu, kurangnya role models dan tokoh perempuan dalam STEM banyak membuat anak perempuan enggan menekuninya. Dalam temuan UNESCO ini juga dinarasikan bagaimana sesungguhnya anak dan remaja perempuan amat bisa menguasai STEM ketika di sekolahan tetapi merasa takut, cemas, dan malu ketika harus berhubungan dengan guru mereka. Ini menunjukkan masih kuatnya bias dalam proses pembelajaran STEM di sekolah-sekolah. Setidaknya UNESCO melaporkan kurang dari 19% kontrak-kontrak kerja dalam bidang STEM dilakukan oleh perempuan. Sedang lebih dari 81% dikuasai oleh laki-laki, sehingga wajar bila kemudian perempuan tidak ada dalam meja-meja keputusan dalam kebijakan sains dan teknologi. Hal ini kemudian berimbas pada pola kebijakan infrastruktur dan politik ekonomi secara luas, yaitu: disparitas gender yang semakin besar.
STEM di Indonesia, selain diperkenalkan di sekolah tingkat dasar, menengah dan universitas; secara khusus ada di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Dalam film dokumenter GIZ berjudul Indonesian Women in Science and Technology perihal sosialisasi SMK bagi anak perempuan menarasikan bahwa siswi di SMK yang berbasis STEM (Teknik Pendingin & Tata Udara; Pemesinan; Teknik Kendara Ringan) hanya 2% dibandingkan siwa laki-laki yang hampir 98% untuk kelas X, XI, XII dan XIII (PDSP Kemdikbud, 2015). Defisit anak perempuan dalam SMK dengan basis STEM menegaskan kembali disparitas gender secara nasional. Promosi dan langkah afirmatif untuk memperkenalkan ini pada anak dan remaja perempuan amat penting untuk menutup disparitas ini. Dalam documenter ini dinarasikan bagaimana Okti Diani merupakan satu-satunya siswa perempuan dari 65 siswa lain Teknik Pemesinan di SMKN1 Cibinong. Widia Putri juga merupakan sedikit dari siswi yang masuk jurusan Mesin Pendingin dan Tata Udara kelas XII di SMKN1 Magelang. Ini tentu bukan kabar yang baik. Sosialisasi STEM untuk anak-anak perempuan perlu dilakukan dengan lebih banyak lagi melalui kecintaan pada sains dan teknologi.
Kajian JP91 kali ini akan membedah pelbagai matra atas gap anak dan remaja perempuan dalam ICT, STI, dan STEM dari matra filsafat, antropologi, politik ekonomi, sosiologi, pendidikan, dan kebijakan. Pada edisi ini Jurnal Perempuan hendak mengulas aspek berikut sebagai mata kajian dengan basis riset:
- Apa dan bagaimana anak dan remaja perempuan tertinggal dalam sains dan teknologi? Bagaimana filsafat feminisme melihat ini? (matra filsafat dan antropologi feminis).
- Apa dan bagaimana instrumen hukum dan kebijakan pendidikan bagi pemberdayaan anak dan remaja perempuan dalam sains dan teknologi? Usaha-usaha apa yang telah dilakukan pemerintah dalam hal ini? Bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia? (matra kebijakan dan pendidikan).
- Bagaimana fakta dan pencapaian perempuan dalam sains dan teknologi? (matra psikologi dan sosiologi).
- Bagaimana menutup gap perempuan dalam penguasaan sains dan teknologi di SMK? (matra teknologi). Bagaimana menaikkan jumlah siswi SMK dengan basis STEM di Indonesia?
- Dan lain-lain.
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 25 September 2016 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Dr. Phil. Dewi Candraningrum
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan