Reformasi yang Ditulis oleh Tubuh Perempuan
(Temu Cerpenis Buku Menulis Tubuh, sebuah kumpulan Cerpen Jurnal Perempuan)
Jurnal Perempuan pada awal tahun 2013 ini menerbitkan buku Kumpulan Cerpen berjudul “Menulis Tubuh”. Bukanlah suatu kejadian yang tiba-tiba bagi para penulis cerpen dalam menuangkan imajinasinya yang mengangkat persoalan perempuan. Mereka telah melalui proses pengendapan yang panjang dan dalam, dari bertahun bahkan dari cerita berabad yang lalu. Proses pengendapan ini dipenuhi oleh peristiwa dan alam pikir mereka, hasilnya kemampuan untuk mengekspresikan suatu keadaan dengan cara baru.
Setiap terbitannya, Jurnal Perempuan menyediakan ruang untuk karya sastra, sebuah ruang refleksi, ruang diri, yang bagi redaksi tidak terlepas dari ruang intelektual. Melalui imajinasi, sastra memiliki keteraturannya sendiri, dimana bahasa bukan sekedar ‘serdadu kata’ yang dikekang oleh kanon besar dalam kekakuan aturan penulisan. Bahasa dalam sastra seperti menulis dengan menggunakan “tinta putih” (istilah Helene Cixous dalam narasi tentang Writing Feminine) dimana kata dan diksi dibolehkan menari-nari di atas kertas tanpa rasa takut. Kebebasan ekspresi dalam karya fiksi membebaskan pula persepsi penulis dalam menangkap kebudayaan dan kehidupan yang dialami perempuan. Dalam hal ini perempuan adalah ‘subyek lepas’ atau terbebas menjadi dirinya sendiri yang jarang sekali dibunyikan dalam karya seni umumnya. Karya fiksi seperti panggung tempat pertunjukan digelar untuk menyampaikan sesuatu yang ‘melampaui’ keadaan.
Malam hari, 13 Februari 2013, Jurnal Perempuan menggelar “Temu Penulis Cerpen” di bilangan Menteng Jakarta Selatan. Selain cerpenis, hadir para pengamat, penikmat sastra, pembaca, serta redaksi Jurnal Perempuan. Temu Penulis Cerpen ini sebagai bentuk penghargaan besar Jurnal Perempuan kepada para penulis cerpen yang menghiasi Jurnal Perempuan sejak awal terbit hingga kini. Antara redaksi, penulis, penikmat dan pengamat saling berbagi tentang peran penting mengusung perjuangan keadilan.
Dalam pertemuan ini, Nur Iman Subono, dewan redaksi Jurnal Perempuan mengungkap bagaimana 17 tahun yang lalu ada semacam dilema dalam membangun jurnal, dimana cerpen dan puisi seringkali dianggap sisipan atau pemanis saja. Padahal sejak awal redaksi tidak berpikir seperti itu. “Bukan sesuatu yang mudah ketika banyak naskah yang masuk, cerpen tentang perempuan dengan cerpen berperspektif perempuan adalah dua hal yang berbeda. Yang berperspektif perempuan inilah yang sulit kita temukan.”
Helga Worotitjan salah satu penulis cerpen berjudul Pulang menyatakan bahwa menulis fiksi tidak mudah, tetapi ketika dilatih, justru menjadi suatu proses penyembuhan trauma bagi seseorang, karena dalam menulis fiksi, mereka dapat menitipkan pengalaman buruknya ke dalam sebuah cerita, dan dialurkan sebagaimana keinginan penulis sendiri.
Djenar Maesa Ayu penulis cerpen berjudul Menyusu Ayah yang juga hadir malam itu melihat bahwa hampir semua profesi penulis fiksi di negeri ini mengalami nasib yang kurang menguntungkan, karena itu ada istilah: memilih menjadi penulis itu harus berani miskin sehingga mereka harus mencari pekerjaan yang lain. “Saya orang yang kurang bisa bicara banyak hal tentang karya saya, karena saya sudah cukup melakukannya dengan menulis. Dengan menulis saya lebih bebas mengungkapkan perasaan saya. Saya menyerahkan pada pembaca, silakan mengartikannya.”
Adji Subela, cerpenis lainnya mengaku terkejut karena cerpennya berjudul Perempuan dari Gunung Antang diterima dan dimuat oleh Jurnal Perempuan. “Saya senang karena cerpen itu memiliki sejarah yang panjang.” Adji Subela pada tahun 70-an pernah kuliah kerja nyata di Indramayu dan mendapatkan kenyataan luar biasa tentang kaum perempuan di sana. Selanjutnya dalam profesi wartawan waktu itu, Adji diminta untuk hadir di kongres pelacur sedunia, setelah pengalamannya menyusuri bagaimana perdagangan manusia dan perempuan diperjualbelikan melalui jalur Surabaya-Semarang-Banjarmasin-Balikpapan-Nunukan sampai Malaysia. “Saya shock sekali karena dalam kongres pelacur dunia itu saya belajar banyak, ternyata masalah pelacuran tidak sesederhana dan semudah yang kita lihat. Dari beberapa pelacur yang saya wawancarai, mereka menyatakan bagaimana upaya keras mereka untuk bertahan hidup.” Menurutnya orang-orang tidak bisa menghakimi pelacur. “Saya ingat kasus terbunuhnya seorang PSK (pekerja seks komersial) di Gunung Antang, dan saya tuangkan ke dalam cerpen. Pada saat menulis saya sampai menangis. “Barangkali emosi saya masuk terlalu dalam dengan masalah ini.” Adji menambahkan, “Ini memang fiksi, tetapi kalau anda ke sana, anda akan bertemu hal seperti yang saya ceritakan dalam cerpen.”
Putu Oka Sukanta penulis cerpen berjudul Mata… menyatakan menulis adalah kebutuhan hidupnya. Ia lahir dari masyarakat miskin sehingga kemiskinan begitu menyatu dengan darah dagingnya. Maka secara tidak sadar tulisan-tulisannya selalu berbicara tentang orang yang termarjinalkan, termasuk kaum perempuan. “Bagaimana mereka tersingkir dari sektor kehidupan seperti agama, tradisi, sistem dan budaya, patriarki.” Putu Oka banyak menulis cerpen menyangkut tragedi 1965. Tragedi tersebut telah mengubah pola hidup masyarakat Indonesia. “Sehingga melihat jari saja kita bisa langsung membayangkan bagaimana jari tangan orang digunting dan masih ada cincin melingkar di situ. Melihat potongan kuping dijadikan kalung oleh penjagal. Atau rambut indah milik perempuan yang dipotong habis. Dari perspektif 65 kita bisa bicara dari ujung kaki sampai ujung rambut manusia.”
Muhamad Badri dari Riau dan kini tinggal di Kalimantan memilih cerpennya berjudul “Loktong”. Kata ini menurutnya sama sekali tidak dikenal oleh orang Indonesia sendiri, padahal bisa ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). “Loktong artinya pelacur. Cerpen itu memang tidak lahir begitu saja. Perlu ada proses, berdasarkan pengalaman saya waktu itu ke Batam tahun 2000 banyak sekali eksploitasi terhadap perempuan. Saya tertarik mencari sumber tentang perdagangan perempuan dan ternyata banyak sekali penculikan perempuan dari negeri Cina.” Badri menjelaskan waktu itu sedang marak-maraknya Jakarta “impor PSK” dan banyak kisah yang tragis dari sana. “Saya sempat juga dialog dengan salah seorang loktong di Jakarta dan itu menginspirasi cerpen saya. Sesuatu yang sangat nyata saya melihat perempuan menjadi korban dan mereka bisa membalas dendam dengan mencari korban laki-laki yang mengeksploitasi mereka.”
Hikmat Gumelar cerpenis yang tinggal di Bandung dengan cerpennya yang berjudul Black Box menceritakan bagaimana proses cerpennya lahir. “Saya membangun komunitas Jatinangor yang salah satu kegiatannya melakukan riset di tahun 1998 mengenai trauma.” Asumsi Hikmat pada waktu itu bahwa bangsa ini dibangun dengan berbagai trauma. Karena itu perlu ada studi tentang trauma tragedi 1965 dan proses riset tersebut ternyata menghasilkan hal yang tak terduga sehingga membutuhkan sarana ekspresi melalui fiksi. “Cerpen saya mengungkapkan bagaimana banyak perempuan yang dianiaya dengan berbagai model penganiayaan yang bahkan sebelumnya susah dibayangkan.” Tragedi tersebut seperti sebuah kenyataan yang digelapkan dan karena itulah Hikmat merasa perlu ada fiksi untuk mengungkapkannya.
Rocky Gerung, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan yang hadir malam itu melanjutkan bahwa buku kumpulan cerpen “Menulis Tubuh” ada semacam pelajaran bahwa sejarah reformasi sejak 1998 sampai saat ini bisa dibaca di dalam tubuh perempuan. “Kita dapat melihat perubahan tema dalam rentang waktu reformasi tersebut melalui buku ini. Ada kecemasan yang diucapkan secara tergesa-gesa, ada dendam yang disembunyikan dalam tiga sampai empat kalimat, ada kemarahan yang diledakkan, jadi sebetulnya tubuh perempuan itu jadi semacam alat tempat orang mengucapkan kemarahan.” Rocky mengatakan bahwa buku ini penting untuk mahasiswa bukan sekedar estetiknya tetapi socio and political origin of reformation melalui cerpen. “Diam-diam kita sedang mensposori benak kita semacam upaya untuk memperlihatkan sejarah yang simbolisasinya terperangkap di dalam rumusan UU, Perda, headline, talkshow, tapi ada politik yang tak bisa dibaca namun mengendap di dalam buku ini.” Rocky menambahkan bahwa adanya fiksi sejarah, memperlihatkan bahwa negara ini belum rapi mengarsipkan sejarahnya sendiri. Teks-teks sejarah menurutnya justru terbungkus kemasan manis oleh karya film dan novel, bukan dalam dokumen negara. “Ibarat baju sutra mahal dijahit oleh penjahit high fashion tapi tidak di obras jadi keleleran kemana-mana.”
Guntur Romli yang hadir pada waktu itu sebagai pengamat seni dari Salihara menceritakan kembali pengalamannya ketika menjadi Redaktur Pelaksana di Jurnal Perempuan. “Kerjaan saya waktu di Jurnal Perempuan adalah memburu penulis dan bagi saya cerpen di Jurnal Perempuan menjadi istimewa karena ada perspektif yang tegas dan berpihak serta memperlihatkan kenyataan yang berbeda.” Guntur menambahkan bahwa ruang fiksi di Jurnal Perempuan memberikan kenyataan dan pengaruh yang tidak kalah kuat dengan tulisan ilmiah.
Sementara Nong Darol Mahmada yang sudah lama menjadi pembaca Jurnal Perempuan menyatakan bahwa non fiksi bisa menyadarkan pembaca dengan kata-kata yang sehari-hari dan dengan cara yang puitis bisa menyentuh dan membayangkan kenyataan yang tidak terduga. “Tulisan menjadi salah satu cara untuk melakukan kritik seperti tubuh perempuan yang dieksploitasi, menjadi sesuatu yang lebih terserap dan tersadarkan.”
Dewi Candraningrum, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan mengakui dirinya sebagai guru atau dosen memerlukan kanon-kanon yang mengabarkan keadilan sosial, politik dan ekonomi untuk diberikan kepada mahasiswa. Karena itu buku “Menulis Tubuh” adalah sebuah langkah politik sastra Jurnal Perempuan sebagai pekerjaan seumur hidup, dan kanonisasi tersebut harus terus berjalan sebagai tandingan kanonisasi yang tidak mengabarkan keadilan. Menurutnya lagi, buku Menulis Tubuh adalah sebuah politik pendidikan, “Saya sebagai dosen sastra menganggap buku ini harta yang sangat bagus, saya biasanya berkelana mengambil novel-novel terbaik dan saya tawarkan kepada mahasiswa. Saya harus memastikan untuk mengabarkan sastra mengandung dimensi untuk keadilan. Semua penulis yang datang disini tentulah bukan penulis an sich, tetapi mereka yang lahir dari “gua”. Mereka melahirkan monumen bukan dalam bentuk narasi verbal.” Dewi mengamati bahwa generasi yang lahir tahun 2000 saat ini terlanjur hidup dalam narasi visual, dan Jurnal Perempuan adalah pilar untuk menghadapi narasi tersebut.
Faiza Mardzoeki juga hadir malam itu menyatakan bahwa ia menyukai karya-karya Jurnal Perempuan terutama karena satu-satunya jurnal feminis yang masih bertahan di Indonesia. “Saya pembaca sastra, penulis drama. Di lain sisi saya juga ada kemunduran selera membaca sastra. Mungkin dengan membaca buku kumpulan cerpen Jurnal Perempuan ini akan memberikan saya semangat lagi.”
Jane Ardaneshwari, editor berbagai majalah populer perempuan menanggapi bahwa kumpulan cerpen Jurnal Perempuan lebih tepat dengan ungkapan “Kata-kata yang diucapkan mungkin tidak abadi dan fana, yang dituliskan itulah yang akan abadi.” Jane menyatakan bahwa mata pencahariannya berbasis kata-kata dan ia percaya tentang kekuatan kata yang ditulis itu. “Dan bila kata-kata menghampiri kita, kita wajib menuliskannya.”
Dona, managing editor majalah Goodhouse Keeping kebetulan hadir saat itu dan terus terang belum pernah melihat Jurnal Perempuan dari dekat, tetapi mendengarkan cerita dari para penulis yang hadir ia mulai mendapatkan sedikit bayangan. “Saya walaupun bukan penggila cerpen tapi ada rasa cinta ke dunia sastra. Walaupun sudah lama agak ditinggalkan, buku ini memanggil saya kembali untuk membaca dunia fiksi.”
Perbincangan semakin menghangat dan Dewi Candraningrum sedikit mengulas tentang buku kumpulan cerpen Jurnal Perempuan yang masuk dalam “perahu feminisme” yang berbeda dengan kanon-kanon di pasar-pasar penulis perempuan atau kisah soal perempuan. Menurut Dewi, yang kebanyakan berada di pasaran tersebut, seperti ungkapan Betty Friedan, masih berada di dalam ruangan yang disebut feminine mystique bahwa tentang kebahagiaan perempuan yang ideal seperti keluarga, langsing, putih, hidung mancung, atau bila seorang laki-laki bertekuk lutut dihadapan perempuan sambil mengatakan “aku cinta padamu”. “Di sini kita memiliki cerpenis laki-laki yang menarasikan kejinya jual-beli vagina, atau bagaimana Kartini dari berkebaya digambarkan menjadi memakai jins. Ada pembongkaran mitos perempuan yang luar biasa itu dengan cara yang berbeda.” Dewi menyatakan dalam buku kumpulan cerpen ini terdapat beragam identitas perempuan terepresentasikan dan sudah berhasil keluar dari feminine mystique. “Sangat penting kita perkenalkan dan berulang-ulang disampaikan serta perlu dipasarkan dengan agresif, supaya tidak tenggelam. Ini mengandung sejarah Indonesia yang cukup luar biasa.”
Hudan Hidayat, salah satu yang pernah mengasuh rubrik budaya Jurnal Perempuan mengungkapkan bahwa kita perlu memaksakan karya sastra Jurnal Perempuan untuk dikenal oleh lembaga-lembaga negara dan perusahaan. “Ini sudah saatnya dibangkitkan kembali.” Hudan juga mengatakan bahwa politik sastra Jurnal Perempuan agar bisa diraih dan dibaca oleh banyak kalangan, tidak hanya di universitas.
Temu Penulis Cerpen kemudian ditutup dengan ramah tamah, dan menyatakan bahwa buku Menulis Tubuh diharapkan sampai ke kalangan luas dengan promosi dan strategi pemasaran yang kuat, dan menjadi referensi penting masyarakat. Semua menitipkan pesan kepada Jurnal Perempuan untuk terus memproduksi ilmu dan pengetahuan dan mencatat kehidupan perempuan.
Ditulis oleh Mariana
Setiap terbitannya, Jurnal Perempuan menyediakan ruang untuk karya sastra, sebuah ruang refleksi, ruang diri, yang bagi redaksi tidak terlepas dari ruang intelektual. Melalui imajinasi, sastra memiliki keteraturannya sendiri, dimana bahasa bukan sekedar ‘serdadu kata’ yang dikekang oleh kanon besar dalam kekakuan aturan penulisan. Bahasa dalam sastra seperti menulis dengan menggunakan “tinta putih” (istilah Helene Cixous dalam narasi tentang Writing Feminine) dimana kata dan diksi dibolehkan menari-nari di atas kertas tanpa rasa takut. Kebebasan ekspresi dalam karya fiksi membebaskan pula persepsi penulis dalam menangkap kebudayaan dan kehidupan yang dialami perempuan. Dalam hal ini perempuan adalah ‘subyek lepas’ atau terbebas menjadi dirinya sendiri yang jarang sekali dibunyikan dalam karya seni umumnya. Karya fiksi seperti panggung tempat pertunjukan digelar untuk menyampaikan sesuatu yang ‘melampaui’ keadaan.
Malam hari, 13 Februari 2013, Jurnal Perempuan menggelar “Temu Penulis Cerpen” di bilangan Menteng Jakarta Selatan. Selain cerpenis, hadir para pengamat, penikmat sastra, pembaca, serta redaksi Jurnal Perempuan. Temu Penulis Cerpen ini sebagai bentuk penghargaan besar Jurnal Perempuan kepada para penulis cerpen yang menghiasi Jurnal Perempuan sejak awal terbit hingga kini. Antara redaksi, penulis, penikmat dan pengamat saling berbagi tentang peran penting mengusung perjuangan keadilan.
Dalam pertemuan ini, Nur Iman Subono, dewan redaksi Jurnal Perempuan mengungkap bagaimana 17 tahun yang lalu ada semacam dilema dalam membangun jurnal, dimana cerpen dan puisi seringkali dianggap sisipan atau pemanis saja. Padahal sejak awal redaksi tidak berpikir seperti itu. “Bukan sesuatu yang mudah ketika banyak naskah yang masuk, cerpen tentang perempuan dengan cerpen berperspektif perempuan adalah dua hal yang berbeda. Yang berperspektif perempuan inilah yang sulit kita temukan.”
Helga Worotitjan salah satu penulis cerpen berjudul Pulang menyatakan bahwa menulis fiksi tidak mudah, tetapi ketika dilatih, justru menjadi suatu proses penyembuhan trauma bagi seseorang, karena dalam menulis fiksi, mereka dapat menitipkan pengalaman buruknya ke dalam sebuah cerita, dan dialurkan sebagaimana keinginan penulis sendiri.
Djenar Maesa Ayu penulis cerpen berjudul Menyusu Ayah yang juga hadir malam itu melihat bahwa hampir semua profesi penulis fiksi di negeri ini mengalami nasib yang kurang menguntungkan, karena itu ada istilah: memilih menjadi penulis itu harus berani miskin sehingga mereka harus mencari pekerjaan yang lain. “Saya orang yang kurang bisa bicara banyak hal tentang karya saya, karena saya sudah cukup melakukannya dengan menulis. Dengan menulis saya lebih bebas mengungkapkan perasaan saya. Saya menyerahkan pada pembaca, silakan mengartikannya.”
Adji Subela, cerpenis lainnya mengaku terkejut karena cerpennya berjudul Perempuan dari Gunung Antang diterima dan dimuat oleh Jurnal Perempuan. “Saya senang karena cerpen itu memiliki sejarah yang panjang.” Adji Subela pada tahun 70-an pernah kuliah kerja nyata di Indramayu dan mendapatkan kenyataan luar biasa tentang kaum perempuan di sana. Selanjutnya dalam profesi wartawan waktu itu, Adji diminta untuk hadir di kongres pelacur sedunia, setelah pengalamannya menyusuri bagaimana perdagangan manusia dan perempuan diperjualbelikan melalui jalur Surabaya-Semarang-Banjarmasin-Balikpapan-Nunukan sampai Malaysia. “Saya shock sekali karena dalam kongres pelacur dunia itu saya belajar banyak, ternyata masalah pelacuran tidak sesederhana dan semudah yang kita lihat. Dari beberapa pelacur yang saya wawancarai, mereka menyatakan bagaimana upaya keras mereka untuk bertahan hidup.” Menurutnya orang-orang tidak bisa menghakimi pelacur. “Saya ingat kasus terbunuhnya seorang PSK (pekerja seks komersial) di Gunung Antang, dan saya tuangkan ke dalam cerpen. Pada saat menulis saya sampai menangis. “Barangkali emosi saya masuk terlalu dalam dengan masalah ini.” Adji menambahkan, “Ini memang fiksi, tetapi kalau anda ke sana, anda akan bertemu hal seperti yang saya ceritakan dalam cerpen.”
Putu Oka Sukanta penulis cerpen berjudul Mata… menyatakan menulis adalah kebutuhan hidupnya. Ia lahir dari masyarakat miskin sehingga kemiskinan begitu menyatu dengan darah dagingnya. Maka secara tidak sadar tulisan-tulisannya selalu berbicara tentang orang yang termarjinalkan, termasuk kaum perempuan. “Bagaimana mereka tersingkir dari sektor kehidupan seperti agama, tradisi, sistem dan budaya, patriarki.” Putu Oka banyak menulis cerpen menyangkut tragedi 1965. Tragedi tersebut telah mengubah pola hidup masyarakat Indonesia. “Sehingga melihat jari saja kita bisa langsung membayangkan bagaimana jari tangan orang digunting dan masih ada cincin melingkar di situ. Melihat potongan kuping dijadikan kalung oleh penjagal. Atau rambut indah milik perempuan yang dipotong habis. Dari perspektif 65 kita bisa bicara dari ujung kaki sampai ujung rambut manusia.”
Muhamad Badri dari Riau dan kini tinggal di Kalimantan memilih cerpennya berjudul “Loktong”. Kata ini menurutnya sama sekali tidak dikenal oleh orang Indonesia sendiri, padahal bisa ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). “Loktong artinya pelacur. Cerpen itu memang tidak lahir begitu saja. Perlu ada proses, berdasarkan pengalaman saya waktu itu ke Batam tahun 2000 banyak sekali eksploitasi terhadap perempuan. Saya tertarik mencari sumber tentang perdagangan perempuan dan ternyata banyak sekali penculikan perempuan dari negeri Cina.” Badri menjelaskan waktu itu sedang marak-maraknya Jakarta “impor PSK” dan banyak kisah yang tragis dari sana. “Saya sempat juga dialog dengan salah seorang loktong di Jakarta dan itu menginspirasi cerpen saya. Sesuatu yang sangat nyata saya melihat perempuan menjadi korban dan mereka bisa membalas dendam dengan mencari korban laki-laki yang mengeksploitasi mereka.”
Hikmat Gumelar cerpenis yang tinggal di Bandung dengan cerpennya yang berjudul Black Box menceritakan bagaimana proses cerpennya lahir. “Saya membangun komunitas Jatinangor yang salah satu kegiatannya melakukan riset di tahun 1998 mengenai trauma.” Asumsi Hikmat pada waktu itu bahwa bangsa ini dibangun dengan berbagai trauma. Karena itu perlu ada studi tentang trauma tragedi 1965 dan proses riset tersebut ternyata menghasilkan hal yang tak terduga sehingga membutuhkan sarana ekspresi melalui fiksi. “Cerpen saya mengungkapkan bagaimana banyak perempuan yang dianiaya dengan berbagai model penganiayaan yang bahkan sebelumnya susah dibayangkan.” Tragedi tersebut seperti sebuah kenyataan yang digelapkan dan karena itulah Hikmat merasa perlu ada fiksi untuk mengungkapkannya.
Rocky Gerung, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan yang hadir malam itu melanjutkan bahwa buku kumpulan cerpen “Menulis Tubuh” ada semacam pelajaran bahwa sejarah reformasi sejak 1998 sampai saat ini bisa dibaca di dalam tubuh perempuan. “Kita dapat melihat perubahan tema dalam rentang waktu reformasi tersebut melalui buku ini. Ada kecemasan yang diucapkan secara tergesa-gesa, ada dendam yang disembunyikan dalam tiga sampai empat kalimat, ada kemarahan yang diledakkan, jadi sebetulnya tubuh perempuan itu jadi semacam alat tempat orang mengucapkan kemarahan.” Rocky mengatakan bahwa buku ini penting untuk mahasiswa bukan sekedar estetiknya tetapi socio and political origin of reformation melalui cerpen. “Diam-diam kita sedang mensposori benak kita semacam upaya untuk memperlihatkan sejarah yang simbolisasinya terperangkap di dalam rumusan UU, Perda, headline, talkshow, tapi ada politik yang tak bisa dibaca namun mengendap di dalam buku ini.” Rocky menambahkan bahwa adanya fiksi sejarah, memperlihatkan bahwa negara ini belum rapi mengarsipkan sejarahnya sendiri. Teks-teks sejarah menurutnya justru terbungkus kemasan manis oleh karya film dan novel, bukan dalam dokumen negara. “Ibarat baju sutra mahal dijahit oleh penjahit high fashion tapi tidak di obras jadi keleleran kemana-mana.”
Guntur Romli yang hadir pada waktu itu sebagai pengamat seni dari Salihara menceritakan kembali pengalamannya ketika menjadi Redaktur Pelaksana di Jurnal Perempuan. “Kerjaan saya waktu di Jurnal Perempuan adalah memburu penulis dan bagi saya cerpen di Jurnal Perempuan menjadi istimewa karena ada perspektif yang tegas dan berpihak serta memperlihatkan kenyataan yang berbeda.” Guntur menambahkan bahwa ruang fiksi di Jurnal Perempuan memberikan kenyataan dan pengaruh yang tidak kalah kuat dengan tulisan ilmiah.
Sementara Nong Darol Mahmada yang sudah lama menjadi pembaca Jurnal Perempuan menyatakan bahwa non fiksi bisa menyadarkan pembaca dengan kata-kata yang sehari-hari dan dengan cara yang puitis bisa menyentuh dan membayangkan kenyataan yang tidak terduga. “Tulisan menjadi salah satu cara untuk melakukan kritik seperti tubuh perempuan yang dieksploitasi, menjadi sesuatu yang lebih terserap dan tersadarkan.”
Dewi Candraningrum, Dewan Redaksi Jurnal Perempuan mengakui dirinya sebagai guru atau dosen memerlukan kanon-kanon yang mengabarkan keadilan sosial, politik dan ekonomi untuk diberikan kepada mahasiswa. Karena itu buku “Menulis Tubuh” adalah sebuah langkah politik sastra Jurnal Perempuan sebagai pekerjaan seumur hidup, dan kanonisasi tersebut harus terus berjalan sebagai tandingan kanonisasi yang tidak mengabarkan keadilan. Menurutnya lagi, buku Menulis Tubuh adalah sebuah politik pendidikan, “Saya sebagai dosen sastra menganggap buku ini harta yang sangat bagus, saya biasanya berkelana mengambil novel-novel terbaik dan saya tawarkan kepada mahasiswa. Saya harus memastikan untuk mengabarkan sastra mengandung dimensi untuk keadilan. Semua penulis yang datang disini tentulah bukan penulis an sich, tetapi mereka yang lahir dari “gua”. Mereka melahirkan monumen bukan dalam bentuk narasi verbal.” Dewi mengamati bahwa generasi yang lahir tahun 2000 saat ini terlanjur hidup dalam narasi visual, dan Jurnal Perempuan adalah pilar untuk menghadapi narasi tersebut.
Faiza Mardzoeki juga hadir malam itu menyatakan bahwa ia menyukai karya-karya Jurnal Perempuan terutama karena satu-satunya jurnal feminis yang masih bertahan di Indonesia. “Saya pembaca sastra, penulis drama. Di lain sisi saya juga ada kemunduran selera membaca sastra. Mungkin dengan membaca buku kumpulan cerpen Jurnal Perempuan ini akan memberikan saya semangat lagi.”
Jane Ardaneshwari, editor berbagai majalah populer perempuan menanggapi bahwa kumpulan cerpen Jurnal Perempuan lebih tepat dengan ungkapan “Kata-kata yang diucapkan mungkin tidak abadi dan fana, yang dituliskan itulah yang akan abadi.” Jane menyatakan bahwa mata pencahariannya berbasis kata-kata dan ia percaya tentang kekuatan kata yang ditulis itu. “Dan bila kata-kata menghampiri kita, kita wajib menuliskannya.”
Dona, managing editor majalah Goodhouse Keeping kebetulan hadir saat itu dan terus terang belum pernah melihat Jurnal Perempuan dari dekat, tetapi mendengarkan cerita dari para penulis yang hadir ia mulai mendapatkan sedikit bayangan. “Saya walaupun bukan penggila cerpen tapi ada rasa cinta ke dunia sastra. Walaupun sudah lama agak ditinggalkan, buku ini memanggil saya kembali untuk membaca dunia fiksi.”
Perbincangan semakin menghangat dan Dewi Candraningrum sedikit mengulas tentang buku kumpulan cerpen Jurnal Perempuan yang masuk dalam “perahu feminisme” yang berbeda dengan kanon-kanon di pasar-pasar penulis perempuan atau kisah soal perempuan. Menurut Dewi, yang kebanyakan berada di pasaran tersebut, seperti ungkapan Betty Friedan, masih berada di dalam ruangan yang disebut feminine mystique bahwa tentang kebahagiaan perempuan yang ideal seperti keluarga, langsing, putih, hidung mancung, atau bila seorang laki-laki bertekuk lutut dihadapan perempuan sambil mengatakan “aku cinta padamu”. “Di sini kita memiliki cerpenis laki-laki yang menarasikan kejinya jual-beli vagina, atau bagaimana Kartini dari berkebaya digambarkan menjadi memakai jins. Ada pembongkaran mitos perempuan yang luar biasa itu dengan cara yang berbeda.” Dewi menyatakan dalam buku kumpulan cerpen ini terdapat beragam identitas perempuan terepresentasikan dan sudah berhasil keluar dari feminine mystique. “Sangat penting kita perkenalkan dan berulang-ulang disampaikan serta perlu dipasarkan dengan agresif, supaya tidak tenggelam. Ini mengandung sejarah Indonesia yang cukup luar biasa.”
Hudan Hidayat, salah satu yang pernah mengasuh rubrik budaya Jurnal Perempuan mengungkapkan bahwa kita perlu memaksakan karya sastra Jurnal Perempuan untuk dikenal oleh lembaga-lembaga negara dan perusahaan. “Ini sudah saatnya dibangkitkan kembali.” Hudan juga mengatakan bahwa politik sastra Jurnal Perempuan agar bisa diraih dan dibaca oleh banyak kalangan, tidak hanya di universitas.
Temu Penulis Cerpen kemudian ditutup dengan ramah tamah, dan menyatakan bahwa buku Menulis Tubuh diharapkan sampai ke kalangan luas dengan promosi dan strategi pemasaran yang kuat, dan menjadi referensi penting masyarakat. Semua menitipkan pesan kepada Jurnal Perempuan untuk terus memproduksi ilmu dan pengetahuan dan mencatat kehidupan perempuan.
Ditulis oleh Mariana