Perempuan dan Hak Properti
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) mengadakan focus group discussion (FGD) tentang Properti Perempuan dan Hak Warga Negara Perempuan pada Rabu (7/5) di Gedung Widya Sarwono LIPI. Ketua Bidang Dinamika Masyarakat PMB-LIPI Widjajanti Santoso mengatakan kajian PMB-LIPI tentang hak properti di dua provinsi yaitu Sumatra Barat dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa adat dan agama memainkan peran besar di dalam pemahaman tentang hak properti perempuan. Di Sumatera Barat dengan sistem matrilineal dan Bunda Kandung, perempuan menjadi agen supaya harta waris tidak terpecah belah. Di Nusa Tenggara, properti menjadi perhatian untuk beberapa hal penting, seperti perceraian.
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan Kunthi Tridewiyanti mengatakan properti bisa dilihat dalam kondisi aman, dalam situasi konflik dan situasi bencana. Dari sisi hukum, maka hukum yang ada sangat bervariasi dalam mengatur harta perceraian, secara umum prinsip yang berlaku adalah 50-50, tetapi ada yang memakai konsep sepikul segendongan. Pertanyaannya apakah hal tersebut adil untuk perempuan? Ternyata tidak, karena realitasnya ada fakta tentang perempuan yang menjadi kepala keluarga, tetapi hukum tidak melihat hal tersebut. Karena itu Gerakan Kesetaraan dan Keadilan Gender mendorong sejumlah rekomendasi terkait hak properti yang mencakup aspek substansi, struktur dan budaya hukum.
Terkait substansi hukum, menurut Kunthi penting untuk mendorong perubahan atas UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) terkait dengan pembagian harta bersama atau gono-gini. Selain itu perlu ada penambahan pasal sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan putusan pengadilan. Hal lain adalah perlunya mendorong RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat terkait dengan perkawinan dan warisan. Sementara terkait struktur hukum, Kunthi mengatakan perlu mendorong adanya pengadilan khusus berikut perangkat hukumnya serta mekanisme pemantauan pelaksanaan putusan pengadilan. (Anita Dhewy)
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan Kunthi Tridewiyanti mengatakan properti bisa dilihat dalam kondisi aman, dalam situasi konflik dan situasi bencana. Dari sisi hukum, maka hukum yang ada sangat bervariasi dalam mengatur harta perceraian, secara umum prinsip yang berlaku adalah 50-50, tetapi ada yang memakai konsep sepikul segendongan. Pertanyaannya apakah hal tersebut adil untuk perempuan? Ternyata tidak, karena realitasnya ada fakta tentang perempuan yang menjadi kepala keluarga, tetapi hukum tidak melihat hal tersebut. Karena itu Gerakan Kesetaraan dan Keadilan Gender mendorong sejumlah rekomendasi terkait hak properti yang mencakup aspek substansi, struktur dan budaya hukum.
Terkait substansi hukum, menurut Kunthi penting untuk mendorong perubahan atas UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) terkait dengan pembagian harta bersama atau gono-gini. Selain itu perlu ada penambahan pasal sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan putusan pengadilan. Hal lain adalah perlunya mendorong RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat terkait dengan perkawinan dan warisan. Sementara terkait struktur hukum, Kunthi mengatakan perlu mendorong adanya pengadilan khusus berikut perangkat hukumnya serta mekanisme pemantauan pelaksanaan putusan pengadilan. (Anita Dhewy)