Endang Listiani: “Tujuh Tuntutan Perempuan Solo untuk Pilpres Damai”
(7 Juli 2014)
(7 Juli 2014)
Surakarta—Pada minggu pagi 6 Juli 2014 Aliansi Perempuan Surakarta untuk Pilpres Damai menyampaikan bahwa runtuhnya rejim Soeharto pada bulan Mei 1998 mengawali era politik multipartai, kebebasan pers, dan kebebasan berekspreksi. “Salah satu penandanya adalah penyelenggaraan Pemilu yang relatif bebas sejak tahun 1999. Bahkan sejak tahun 2004 Presiden dan Wakil Presiden pun dipilih secara langsung. Namun demikian arah transisi menuju demokrasi di Indonesia masih penuh tantangan. Penyelenggara negara masih banyak yang terlibat korupsi, dan pelanggaran HAM masa lalu pun belum terselesaikan. Pada sisi yang lain masyarakat masih dihadapkan pada ancaman terpecah belah dengan penguatan sentimen berbasis agama dan etnisitas yang membonceng produk demokrasi. Berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuanpun masih terlihat nyata”, demikian disampaikan Endang Listiani (Direktur SPEK HAM). Kemudian Nunung Purwanti (dari WKRI—Wanita Katolik RI) melanjutkan: “Terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, Pemilihan Umum (Pemilu) tetap menjadi alat partisipasi rakyat yang strategis dan bermakna. Hal ini memberikan ruang bagi rakyat untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. Tak hanya itu, produk Pemilu yaitu parlemen dan presiden-wakil presiden juga relatif bisa dikritik tanpa rasa was-was. Dengan segala kelemahannya, Pemilu masih menjadi pilihan yang terbaik dibanding dengan mekanisme pemilihan pemimpin lainnya”.
Menyikapi situasi politik terkini menjelang Pemilihan Presiden 2014, muncul kecenderungan adanya ancaman terhadap arah transisi demokrasi yang sudah dimulai sejak tahun 1998. Persaingan ketat antar dua kubu Calon Presiden yang cenderung tidak sehat dan menggunakan isu SARA dan fitnah yang keji untuk menyerang pihak lawan sangat berpotensi mendorong terjadinya konflik-konflik horizontal yang berujung pada aksi kekerasan di tengah masyarakat. Oleh karena itulah, agar Pilpres 9 Juli 2014 ini dapat memperkuat tonggak-tonggak demokrasi, persatuan dan kesatuan, serta perdamaian di Indonesia, maka kemudian Aliansi Perempuan Surakarta untuk Pilpres Damai menyerukan enam hal berikut: (1) Negara harus memastikan birokrasi, TNI, dan Polri bersikap netral dan tidak memihak dalam penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014. (2) Negara harus berupaya maksimal untuk memastikan proses dan dinamika Pilpres 9 Juli 2014 nanti berlangsung dengan damai, tanpa kekerasan, menjunjung nilai-nilai keberagaman dan keadilan gender. (3) Negara menjamin setiap warga negaranya untuk secara bebas dan aman mengeluarkan pandangan, sikap, dan pilihan politiknya untuk menentukan capres dan cawapres pilihannya. (4) Negara memastikan tidak terjadi kecurangan dan politik uang selama proses Pilpres 9 Juli 2014. (5) Negara memastikan kelompok perempuan, difabel, dan kelompok marginal lainnya dapat menggunakan hak pilihnya dengan mudah, bebas, leluasa, dan tanpa intimidasi. (6) Penyelenggara Pemilu (KPU) dan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersikap netral dan harus proaktif menindaklanjuti segala bentuk pelanggaran Pemilu. (7) Capres dan Cawapres yang berhasil menerima mandat rakyat harus menjalankan program-program konkrit untuk menghapus berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan menuju penghidupan perempuan yang lebih adil dan bermartabat. (dc-redaksi-jp)
Menyikapi situasi politik terkini menjelang Pemilihan Presiden 2014, muncul kecenderungan adanya ancaman terhadap arah transisi demokrasi yang sudah dimulai sejak tahun 1998. Persaingan ketat antar dua kubu Calon Presiden yang cenderung tidak sehat dan menggunakan isu SARA dan fitnah yang keji untuk menyerang pihak lawan sangat berpotensi mendorong terjadinya konflik-konflik horizontal yang berujung pada aksi kekerasan di tengah masyarakat. Oleh karena itulah, agar Pilpres 9 Juli 2014 ini dapat memperkuat tonggak-tonggak demokrasi, persatuan dan kesatuan, serta perdamaian di Indonesia, maka kemudian Aliansi Perempuan Surakarta untuk Pilpres Damai menyerukan enam hal berikut: (1) Negara harus memastikan birokrasi, TNI, dan Polri bersikap netral dan tidak memihak dalam penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014. (2) Negara harus berupaya maksimal untuk memastikan proses dan dinamika Pilpres 9 Juli 2014 nanti berlangsung dengan damai, tanpa kekerasan, menjunjung nilai-nilai keberagaman dan keadilan gender. (3) Negara menjamin setiap warga negaranya untuk secara bebas dan aman mengeluarkan pandangan, sikap, dan pilihan politiknya untuk menentukan capres dan cawapres pilihannya. (4) Negara memastikan tidak terjadi kecurangan dan politik uang selama proses Pilpres 9 Juli 2014. (5) Negara memastikan kelompok perempuan, difabel, dan kelompok marginal lainnya dapat menggunakan hak pilihnya dengan mudah, bebas, leluasa, dan tanpa intimidasi. (6) Penyelenggara Pemilu (KPU) dan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bersikap netral dan harus proaktif menindaklanjuti segala bentuk pelanggaran Pemilu. (7) Capres dan Cawapres yang berhasil menerima mandat rakyat harus menjalankan program-program konkrit untuk menghapus berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan menuju penghidupan perempuan yang lebih adil dan bermartabat. (dc-redaksi-jp)