Cerita Hidup Perempuan Pejabat Publik di Surabaya
Hari Kamis tanggal 17 Januari 2013 lalu Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Pusat Studi HAM Universitas Airlangga, Surabaya menyelenggarakan acara Pendidikan Publik seiring dengan terbitnya Jurnal Perempuan edisi 75 yang mengangkat tema "Perempuan Pejabat Publik". Acara ini mengundang pembicara yang terdiri dari Esty Martiana selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya untuk berbagi pengalamannya dalam menjalankan posisi sebagai perempuan pejabat publik, Dwi Windyastuti selaku dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Emy Susanti yang mana adalah ketuaPusat Studi Gender LPPM Unair, serta Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan sebagai moderator.
Acara yang dimulai pukul 12.00 hingga 16.30 WIB ini dibuka oleh sambutan dari dosen FISIP Unair, Bambang Budiono serta Deedee Achriani sebagai perwakilan dari Jurnal Perempuan. Dalam sambutannya, Bambang menyatakan bagaimana perempuan sangat jarang mendapatkan perhatian, terlebih lagi porsi yang telah sewajarnya menjadi hak mereka. Setelah sambutan, Dewi Candraningrum membuka acara setelah terlebih dahulu menegaskan bahwa kehendak untuk memimpin bukanlah kehendak untuk berkuasa, namun untuk mendistribusikan keadilan. Tidak lupa ia sedikit mengangkat hal yang menjadi topik yang sangat sering dibicarakan saat ini, yaitu tentang Perda "dilarang duduk mengangkang" bagi perempuan di Aceh. Dewi mengundang begitu banyak tepuk tangan penghargaan dari setiap orang yang ada dengan berkata bahwa Aisyiah (istri Nabi Muhammad dalam agama Islam) ikut pergi berperang tidak dengan duduk menyamping, dan bukan hanya itu, tidak juga dibocengi oleh laki-laki. Oleh karena itulah Perda yang mengatasnamakan agama ini bukan hanya tidak rasional,
namun juga ahistoris.
Esty sebagai pembicara pertama menyatakan pentingnya akses dan kesempatan bagi perempuan untuk membuktikan kompetensi dirinya, sebab yang seringkali terjadi bukanlah perkara ketidakmampuan perempuan untuk menjabat dalam suatu posisi, namun ketidakpercayaan publik yang diikuti dengan prasangka akan kemampuan perempuan untuk memimpin. Agar ketidakpercayaan semacam ini tidak menjadi sebentuk self-fulfilling prophecy, maka perempuan yang telah menempati suatu jabatan menjadi sangat perlu membuktikan representasi metafisik dengan kinerjanya, bukan menjadi sekadar pengisi kuota dengan representasi fisiknya.
Pembicara kedua yaitu Dwi memfokuskan bahasannya tentang peraturan serta 'aturan' yang dikenakan terhadap setiap perempuan. Ia memaparkan bagaimana negara seringkali melakukan suatu kekerasan struktural dengan mengeluarkan peraturan yang secara khusus direncanakan, dibuat, dan diberlakukan dengan perempuan sebagai objek yang menyebabkan segala masalah dan oleh karena itu harus 'ditertibkan'. Harapan dari Dwi adalah, dengan adanya perempuan yang benar-benar 'hadir' dalam suatu jabatan, maka setiap kebijakan yang dikeluarkan nantinya agar mampu lebih adil dan sensitif gender. Ia menutup bahasannya dengan mengajak publik untuk tidak lagi melihat perempuan yang memiliki keinginan memimpin sebagai perempuan yang ambisius. Pola pikir yang memojokkan semacam inilah yang harus diubah.
Emy Susanti sebagai pembicara terakhir memulai bahasannya dengan memaparkan tentang banyaknya stereotip yang melekat di benak publik terhadap perempuan. Dalam bahasanya, ia banyak berbicara tentang masalah eksistensi, dimana perempuan (seharusnya) akan selalu menjadi anak, istri, dan ibu dari seseorang, tidak pernah mengada untuk dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan perempuan sebagai pejabat publik, ia menyatakan seringnya keluar perkataan yang menyangsikan setiap perempuan yang berhasil menjabat, seolah hal tersebut adalah suatu anomali, yang patut dicurigai maupun dipuji dengan berlebihan, yang mana tidak satu pun diantaranya yang menjanjikan kesetaraan.
Pendidikan Publik diakhiri dengan tanggapan dari berbagai pihak diantaranya Esthi dari Yayasan Hotline Surabaya serta Pantjaningsih sebagai Kepala Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Malang. Beberapa anggota legistatif dari berbagai daerah yang datang juga ikut membagi pengalaman mereka sebagai perempuan yang menjabat dalam suatu pemerintahan. Setelah diikuti diskusi tanyajawab yang seru, acara pun ditutup oleh Dewi Candraningrum selaku moderator.
(Ditulis oleh Ajeng Lesmini)