Undangan Menulis
TOR JP 92
Call for Paper
Tenggat tulisan 22 Januari 2017
Perempuan dan Kebijakan Publik
Jatuhnya rezim Orde Baru dan bergulirnya reformasi membuka pintu bagi keterlibatan perempuan secara lebih luas dalam kehidupan politik dan pengambilan kebijakan setelah sebelumnya Orde Baru melakukan stigmatisasi, domestikasi, dan kooptasi terhadap perempuan. Proses transisi demokrasi yang telah dan sedang berjalan sedikit banyak memungkinkan perempuan untuk mengklaim ruang bagi kesetaraan dan keadilan gender di lembaga-lembaga yang baru muncul atau yang direformasi. Upaya meningkatkan keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam lembaga-lembaga yang menghasilkan kebijakan publik dipandang penting dan menjadi prioritas gerakan perempuan. Hal ini mengingat kebijakan publik memiliki dampak yang berbeda bagi laki-laki, perempuan, dan gender ketiga. Selain itu kebijakan publik juga memiliki kapasitas baik untuk melanggengkan maupun menghapuskan diskriminasi dan ketidakadilan gender. Karena itu dengan memasukkan perspektif feminis sebagai pertimbangan utama dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik, kita dapat berharap kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud. Sejauh ini langkah menghadirkan dan melibatkan perempuan tersebut cukup menunjukkan hasil, di lembaga legislatif di tingkat pusat (DPR) terdapat peningkatan jumlah perempuan terpilih pada dua kali pemilu, yakni 12% pada 2004, 18% pada 2009, dan penurunan pada 2014, 17,63%. Meskipun untuk level daerah (DPRD) jumlahnya lebih kecil, bahkan terdapat beberapa daerah yang tidak memiliki anggota legislatif perempuan di DPRD. Di lembaga eksekutif jumlah pegawai perempuan yang menduduki jabatan eselon 1 atau memiliki peran dan posisi strategis sebagai pengambil kebijakan juga meningkat, pada 2011 sebanyak 9,17%, pada 2012 sebanyak 16,41%, pada 2013 sebanyak 20,09% dan pada 2014 sebanyak 20,65% (Publikasi Statistik Indonesia 2015). Akan tetapi data yang ada menunjukkan terdapat ketimpangan yang tajam antara pegawai negeri laki-laki dan perempuan yang berada di jabatan struktural (eselon) dibandingkan dengan yang berada di jabatan fungsional.
Selain penetapan kuota perekrutan perempuan baik di partai politik, legislatif, maupun lembaga negara atau independen untuk memastikan kehadiran dan keterlibatan perempuan, upaya lain juga didorong kelompok feminis agar sektor publik menjadi sensitif gender. Seperti pengenalan masalah kesetaraan gender dalam pengukuran kinerja, penerapan anggaran sensitif gender dalam penyusunan anggaran, dan reformasi kerangka hukum dan sistem peradilan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap keadilan. Penerapan otonomi daerah sejalan dengan bergulirnya reformasi diharapkan juga dapat membuka akses, partisipasi, dan kontrol perempuan terhadap berbagai kebijakan publik di tingkat lokal sehingga perempuan juga mendapat manfaat dan menjadi subjek kebijakan. Pertanyaan penting yang perlu diajukan terkait kehadiran dan keterlibatan perempuan di ranah politik pengambilan kebijakan publik adalah apakah perempuan yang berada di jabatan publik benar-benar mempromosikan kepentingan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik? Apakah kebijakan yang dihasilkan otomatis menjadi adil gender? Dalam situasi semacam apa perempuan dan kolega laki-lakinya dapat menghasilkan kebijakan publik yang sensitif gender? Joyce Gelb (1989) mengungkapkan kita dapat mengetahui pengaruh feminis terhadap politik nasional dengan menganalisis isu-isu kebijakan publik. Ini dilakukan dengan mengeksplorasi 1) pengaturan agenda—peran kelompok-kelompok feminis dalam menginisiasi dan menyusun kebijakan publik, 2) pengaruh kelompok-kelompok feminis dalam pengambilan keputusan di legislatif dan eksekutif, dan 3) implementasi kebijakan yang diberlakukan. Poin penting dari analisis ini adalah memeriksa peran yang dijalankan kelompok-kelompok feminis di salah satu atau semua langkah-langkah penting tersebut dalam proses pembuatan kebijakan.
Kita dapat mencatat sejumlah kebijakan yang ramah perempuan yang dihasilkan DPR pasca reformasi seperti UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 10 tahun 2012 tentang Pemilu dan UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Di level daerah juga terdapat sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang berpihak pada perempuan seperti Perda Pelindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Perda Pembebasan Biaya Akte Kelahiran, Perda Pemberdayaan Perempuan dan Perda Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Intruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan. Di sisi lain terdapat juga sejumlah rancangan kebijakan yang hingga hari ini masih dalam proses pembahasan dan belum berhasil diundangkan, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pertanyaan yang perlu kita ajukan kemudian adalah bagaimana implementasi kebijakan-kebijakan tersebut? Sejauhmana kebijakan tersebut berpengaruh terhadap kehidupan perempuan dan perubahan sosial dan budaya? Bagaimana pembelajaran dari proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut? Bagaimana strategi yang perlu dikembangkan ke depan? Selain itu penting juga bagi gerakan perempuan untuk memeriksa dan mengevaluasi kebijakan progender yang telah dihasilkan pemerintahan Jokowi dalam dua tahun terakhir. Bagaimana dan sejauhmana kebijakan yang dihasilkan telah mengakomodasi agenda politik, kebutuhan dan hak-hak dasar perempuan sebagai warga negara? Kajian JP92 akan membedah pertanyaan-pertanyaan kunci terkait perempuan dan kebijakan publik dari berbagai matra, yakni filsafat, antropologi, politik, ekonomi, sosiologi, hukum, dan pendidikan.
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 22 Januari 2017 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Anita Dhewy
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan
Selain penetapan kuota perekrutan perempuan baik di partai politik, legislatif, maupun lembaga negara atau independen untuk memastikan kehadiran dan keterlibatan perempuan, upaya lain juga didorong kelompok feminis agar sektor publik menjadi sensitif gender. Seperti pengenalan masalah kesetaraan gender dalam pengukuran kinerja, penerapan anggaran sensitif gender dalam penyusunan anggaran, dan reformasi kerangka hukum dan sistem peradilan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap keadilan. Penerapan otonomi daerah sejalan dengan bergulirnya reformasi diharapkan juga dapat membuka akses, partisipasi, dan kontrol perempuan terhadap berbagai kebijakan publik di tingkat lokal sehingga perempuan juga mendapat manfaat dan menjadi subjek kebijakan. Pertanyaan penting yang perlu diajukan terkait kehadiran dan keterlibatan perempuan di ranah politik pengambilan kebijakan publik adalah apakah perempuan yang berada di jabatan publik benar-benar mempromosikan kepentingan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik? Apakah kebijakan yang dihasilkan otomatis menjadi adil gender? Dalam situasi semacam apa perempuan dan kolega laki-lakinya dapat menghasilkan kebijakan publik yang sensitif gender? Joyce Gelb (1989) mengungkapkan kita dapat mengetahui pengaruh feminis terhadap politik nasional dengan menganalisis isu-isu kebijakan publik. Ini dilakukan dengan mengeksplorasi 1) pengaturan agenda—peran kelompok-kelompok feminis dalam menginisiasi dan menyusun kebijakan publik, 2) pengaruh kelompok-kelompok feminis dalam pengambilan keputusan di legislatif dan eksekutif, dan 3) implementasi kebijakan yang diberlakukan. Poin penting dari analisis ini adalah memeriksa peran yang dijalankan kelompok-kelompok feminis di salah satu atau semua langkah-langkah penting tersebut dalam proses pembuatan kebijakan.
Kita dapat mencatat sejumlah kebijakan yang ramah perempuan yang dihasilkan DPR pasca reformasi seperti UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 10 tahun 2012 tentang Pemilu dan UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Di level daerah juga terdapat sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang berpihak pada perempuan seperti Perda Pelindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Perda Pembebasan Biaya Akte Kelahiran, Perda Pemberdayaan Perempuan dan Perda Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak. Selain itu pemerintah juga mengeluarkan Intruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan. Di sisi lain terdapat juga sejumlah rancangan kebijakan yang hingga hari ini masih dalam proses pembahasan dan belum berhasil diundangkan, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pertanyaan yang perlu kita ajukan kemudian adalah bagaimana implementasi kebijakan-kebijakan tersebut? Sejauhmana kebijakan tersebut berpengaruh terhadap kehidupan perempuan dan perubahan sosial dan budaya? Bagaimana pembelajaran dari proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut? Bagaimana strategi yang perlu dikembangkan ke depan? Selain itu penting juga bagi gerakan perempuan untuk memeriksa dan mengevaluasi kebijakan progender yang telah dihasilkan pemerintahan Jokowi dalam dua tahun terakhir. Bagaimana dan sejauhmana kebijakan yang dihasilkan telah mengakomodasi agenda politik, kebutuhan dan hak-hak dasar perempuan sebagai warga negara? Kajian JP92 akan membedah pertanyaan-pertanyaan kunci terkait perempuan dan kebijakan publik dari berbagai matra, yakni filsafat, antropologi, politik, ekonomi, sosiologi, hukum, dan pendidikan.
Tenggat Tulisan
Seluruh tulisan pada 22 Januari 2017 dikirim ke Pemred JP ([email protected])
Teknik Penulisan
Setiap tulisan mengacu pada Pedoman Penulisan Jurnal Perempuan.
Kesediaannya sangat membantu visi kami memberdayakan perempuan, merawat pengetahuan dan mewujudkan kesetaraan di Indonesia.
Salam Pencerahan dan Kesetaraan,
Anita Dhewy
Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan