Writing is Healing, Writing is Protecting: Catatan Perjalanan Pemulihan dan Perlindungan Diri5/3/2025
![]() Yayasan Nalar Naluri bersama OM Institute telah menyelenggarakan Diskusi Laporan Penelitian: Writing is Healing, Writing is Protecting di Kantor Pos Cikini pada Kamis (27/2/25). Buku ini merupakan hasil dari karya tulis peserta dalam kegiatan menulis “Writing is Healing, Writing is Protecting” yang diadakan di 4 kota: Sleman, Ponorogo, Purwokerto, Jakarta dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual (16HAKTP). Kegiatan launching buku ini dihadiri oleh Okky Madasari, Tsamrotul Ayu Masturoh, dan Kurnia Mega. Yayasan Nalar Naluri bersama OM Institute telah menyelenggarakan Diskusi Laporan Penelitian: Writing is Healing, Writing is Protecting di Kantor Pos Cikini pada Kamis (27/2/25). Buku ini merupakan hasil dari karya tulis peserta dalam kegiatan menulis “Writing is Healing, Writing is Protecting” yang diadakan di 4 kota: Sleman, Ponorogo, Purwokerto, Jakarta dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual (16HAKTP). Kegiatan launching buku ini dihadiri oleh Okky Madasari, Tsamrotul Ayu Masturoh, dan Kurnia Mega. Okky Madasari, Direktur OM Institute, membuka kegiatan dengan menjelaskan latar belakang hadirnya proyek ini. Ia menyoroti tren yang berkembang di media sosial, seperti “lelaki tidak bercerita...” dan “We listen, we don’t judge,” yang mencerminkan realitas sosial di masyarakat, khususnya bagi laki-laki. Dalam budaya kita, laki-laki sering kali diharapkan untuk menahan perasaan dan menghindari berbagi cerita atau keluh kesah, karena tindakan tersebut dianggap sebagai tanda kelemahan. Akibatnya, curhat atau mengungkapkan perasaan menjadi sesuatu yang tabu bagi mereka. Selain itu di Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki masih menghadapi stigma dalam mencari bantuan dari profesional seperti psikolog dan psikiater. Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari kondisi kesehatan mental yang mereka alami. Data menunjukkan bahwa 11% masyarakat Indonesia terdeteksi mengalami gangguan kesehatan mental. Namun, angka ini hanya mencerminkan sebagian kecil masyarakat yang mengakses layanan konseling profesional, sehingga jumlah kasus sebenarnya bisa jauh lebih besar. Okky menjelaskan bahwa menulis adalah salah satu cara efektif untuk menyalurkan pemikiran dan emosi yang terpendam. Karena itu, program ini dirancang untuk membantu masyarakat mengekspresikan diri melalui tulisan, dengan harapan dapat membentuk jiwa yang lebih sehat, pulih, dan pada akhirnya berkontribusi pada kemajuan bangsa. Program ini terbuka bagi semua kalangan, baik muda maupun tua, dan hadir di berbagai universitas serta komunitas. Tujuannya bukan untuk meromantisasi luka, melainkan menyediakan ruang bagi individu agar dapat memproses dan menyembuhkan diri dari pengalaman yang selama ini mereka simpan. Tsamrotul Ayu Masruroh, salah satu kontributor dalam buku Writing is Healing, Writing is Protecting, sekaligus penyintas kekerasan seksual di pesantren, menegaskan bahwa menulis bukan sekadar sarana untuk menyalurkan emosi. Lebih dari itu, menulis telah menjadi alat advokasi bagi dirinya dan teman-temannya dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Tulisan Ayu yang berjudul "Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah: Saya Dianiaya dan Diancam UU ITE" memiliki dampak besar dalam mengungkap kasus kekerasan yang mereka alami. Setelah bertahun-tahun diabaikan oleh aparat, tulisan ini akhirnya mendorong penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut. Selain itu, keberanian Ayu dalam menulis turut menginspirasi penyintas lain untuk melawan para pelaku, meskipun mereka memiliki posisi yang kuat di pesantren maupun masyarakat. “Orang lain bisa bersimpati dan berempati, sedangkan yang bisa merasakan penderitaan hanya diri saya sendiri,” ujar Tsamrotul Ayu. Sejak kecil, Ayu terbiasa menuliskan perasaan dan pengalamannya, dengan harapan agar dirinya tidak dilupakan. Bagi Ayu, menulis adalah satu-satunya cara untuk bersuara tanpa takut mendapat respons yang menyalahkan dirinya atas kejadian yang ia alami. Ia meyakini bahwa menulis bukan hanya menjadi ruang untuk proses penyembuhan, tetapi juga menjadi ruang aman, dan perlindungan, sekaligus sarana untuk mengadvokasikan suaranya. Kurnia Mega, seorang Psikolog Klinis sekaligus anggota HIMPSI, menjelaskan bahwa menulis merupakan salah satu bentuk Creative Art Therapy, yaitu metode baru dalam psikoterapi. Menulis tidak hanya berfungsi sebagai sarana perlindungan diri, tetapi juga dapat membantu membangun resiliensi seseorang. Dengan memiliki resiliensi yang baik, seseorang lebih mampu menghadapi berbagai tantangan hidup, karena menulis membantu dalam melepaskan emosi yang terpendam.
Sering kali, ketika kita mencoba mencurahkan perasaan kepada orang lain, justru kita mendapat respons yang menghakimi. Hal ini dapat membuat kita merasa tidak aman, kehilangan kepercayaan diri, dan akhirnya memilih untuk memendam emosi serta beban yang dirasakan. Oleh karena itu, Kurnia mengajak kita untuk membiasakan menulis atau melakukan jurnaling setiap hari sebagai cara untuk meredakan emosi yang terpendam. Menulis dapat meningkatkan kepercayaan diri, tanpa harus selalu dipublikasikan di media sosial—cukup disimpan dan dibaca sendiri pun sudah memberikan manfaat. Selain membantu melepaskan emosi, jurnaling juga memungkinkan kita untuk merefleksikan perjalanan hidup yang telah dilalui. Dengan begitu, kita bisa memperoleh kekuatan dari pengalaman masa lalu dan terus membangun resiliensi dalam menghadapi kehidupan. Pada sesi penutup, ketiga narasumber memberikan tips bagi siapa pun yang ingin menulis di media, khususnya mengenai isu kekerasan seksual, agar terhindar dari serangan balik atau reviktimisasi. Okky menekankan pentingnya memastikan bahwa tulisan yang diterbitkan berbasis fakta, bebas dari unsur fitnah, dan telah terverifikasi. Ia juga menyarankan agar ada pendamping sebelum tulisan dipublikasikan, seperti editor atau pembaca pertama (first reader), sehingga penulis tidak bertindak sebagai tangan pertama dalam menerbitkan karyanya. Selain itu, ia mengingatkan agar tidak mengunggah tulisan di situs pribadi, melainkan memilih media yang kredibel dan memiliki struktur yang jelas. Ayu menambahkan bahwa penting bagi penulis untuk mengetahui media yang aman bagi diri mereka sendiri. Ia menyoroti bahwa pengalaman pribadi mengenai kekerasan seksual sebaiknya tidak dibagikan di media sosial, terutama Facebook, karena ia pernah mengalami ancaman dari pelaku setelah menulis tentang pengalamannya. Tidak semua cerita layak dipublikasikan secara terbuka; hanya tulisan yang dianggap mendesak dan serius yang sebaiknya disampaikan. Meski ada risiko ancaman, hal ini tidak seharusnya menghalangi seseorang untuk menulis. Sebaliknya, memahami etika dan strategi penulisan yang efektif dapat membuat tulisan lebih berdampak dan aman bagi penulisnya. (Ajeng Ratna Komala) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |