Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

Tubuh Perempuan Tionghoa Dieksploitasi: Membongkar Kekerasan Seksual dan Femisida Mei 1998

20/5/2025

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Diskusi bertema kekerasan terhadap perempuan Tionghoa dalam tragedi Mei 1998 kembali diselenggarakan untuk menghidupkan ingatan kolektif dan menuntut keadilan. Acara ini berlangsung pada Sabtu (17/5/2025) secara online melalui platform Zoom. Logos ID berkolaborasi dengan KontraS menghadirkan Jessenia Destarini selaku staf Advokasi dan Pemantauan Impunitas KontraS sebagai pembicara utama. Diskusi ini digelar dalam konteks peringatan 27 tahun kerusuhan Mei 1998 yang masih menyisakan luka dan ketidakadilan. Diskusi ini diikuti oleh berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa, aktivis, dan akademisi. Dalam pengantarnya, Jessenia menekankan pentingnya membedah peristiwa ini secara interseksional. Perempuan Tionghoa bukan hanya korban kekerasan, tetapi simbol dari kekuasaan yang ingin diperlihatkan secara brutal oleh para pelaku.

     Jessenia memaparkan bahwa kekerasan seksual pada Mei 1998 terjadi bukan karena kebetulan, melainkan sangat terstruktur. Kekerasan tersebut merupakan bagian dari pola sistematis yang digunakan untuk menciptakan ketakutan dan dominasi. “Kekerasan seksual 1998 dilakukan secara sistematis dan terorganisir seperti ‘kerusuhan’,” kata Jessenia.

     Jessenia menjelaskan bahwa para pelaku bergerak dengan pola, menyasar kelompok yang sama, dan melakukan kekerasan dalam kerangka konflik yang tampak seperti kekacauan massal. Namun di balik kekacauan itu, ada rencana yang memanfaatkan tubuh perempuan sebagai alat kekuasaan. Kekerasan seksual digunakan untuk mempermalukan, merendahkan, dan menunjukkan siapa yang berkuasa. Sasaran utamanya adalah perempuan Tionghoa karena mereka merepresentasikan minoritas yang mudah diserang. Dalam konteks ini, kekerasan seksual adalah bentuk pesan politik dan sosial.

     Upaya untuk mengungkap fakta dan mengusut keadilan atas peristiwa Mei 1998 tidak berjalan mulus. Menurut Jessenia, para pegiat HAM dan pihak yang terlibat dalam pencarian fakta menghadapi berbagai bentuk teror dan intimidasi. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan terhadap korban tidak berhenti setelah peristiwa berlangsung, tapi berlanjut dalam bentuk impunitas dan pembungkaman. Negara justru berperan dalam mempertahankan keheningan sistemik ini.

     Melihat dari perspektif gender dan etnis, kerusuhan Mei 1998 menggambarkan bagaimana perempuan Tionghoa dijadikan simbol dari kekuasaan yang ingin dirusak. Tubuh mereka tidak hanya diperkosa secara fisik, tapi juga secara simbolik sebagai bentuk dominasi dan penghinaan. “Kerusuhan Mei 1998 merupakan bentuk penggambaran tubuh perempuan Tionghoa sebagai lokus exercise of power dan merupakan fenomena dengan dimensi interseksionalitas yaitu gender dan etnis,” tegas Jessenia.

     ​Perempuan diserang karena mereka perempuan, dan Tionghoa diserang karena mereka etnis minoritas. Dua identitas itu menjadi kombinasi yang membuat mereka sangat rentan. Dalam situasi itu, tubuh perempuan menjadi semacam panggung kekerasan struktural. Etnisitas mereka digunakan sebagai alasan untuk mengobjektifikasi dan melukai. Kekerasan itu bukan hanya fisik, tapi juga sarat makna simbolik dan ideologis.

Picture
Dok. Jurnal Perempuan
     Diskusi ini juga menghadirkan perspektif dari pemikir feminis untuk memperdalam pemahaman atas dimensi kekerasan tersebut. Lentin (1990) menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah hasil dari konstruksi sosial yang diperkuat saat konflik. Konstruksi gender harus diinterseksi dengan proses rasialisasi. Dalam hal ini, perkosaan adalah strategi untuk membuat dan membuat kembali batasan dengan lokus tubuh perempuan. Anggraeni (2014) menyebut bahwa Peristiwa Mei 1998 mencerminkan konstruksi sosial yang patriarkal, bahwa perempuan ditempatkan sebagai "harta" laki-laki. Brownmiller (1975) menambahkan bahwa pemerkosaan digunakan sebagai cara membangun dan mengekspresikan maskulinitas superior, sambil memfeminisasi kelompok yang dikalahkan. Dalam kerusuhan Mei 1998, kekerasan seksual bukan hanya tentang seks, tapi tentang kuasa. Kekerasan seksual juga menjadi alat politik dan ideologis yang mencerminkan relasi kekuasaan yang timpang. Perspektif ini penting untuk menghindari simplifikasi bahwa peristiwa itu hanya soal kriminalitas biasa.

     Jessenia juga menguraikan tentang bagaimana kekerasan seksual digunakan sebagai senjata dalam masa konflik, sebagaimana dijelaskan oleh Pankhurst (2010). Pankhurst mengungkapkan bahwa dalam masa ketegangan sosial-politik, bentuk-bentuk maskulinitas agresif sering kali diagung-agungkan dan dilegalkan. Diskriminasi yang sudah berlangsung lama terhadap etnis Tionghoa menciptakan prasangka dan kebencian yang mudah dikapitalisasi. Tubuh perempuan Tionghoa dijadikan objek balas dendam, penghinaan, dan alat pelepasan agresi. Kekerasan terhadap mereka tidak muncul begitu saja, melainkan sebagai hasil dari prakondisi diskriminasi dan rasisme sistemik. Dalam konteks ini, pemerkosaan bukan hanya sebagai senjata fisik, tapi juga senjata sosial untuk memperkuat dominasi. Ini menunjukkan betapa kekerasan seksual bisa digunakan sebagai alat ideologis dalam konflik sosial.

     Diskusi kemudian ditutup dengan pembahasan mengenai konsep femisida sebagai puncak dari kekerasan terhadap perempuan. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Diana Russell pada tahun 1976 dalam International Tribunal of Crimes Against Women. Pada tahun 1990, femisida didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan oleh laki-laki karena kebencian, penghinaan, atau rasa kepemilikan atas tubuh perempuan. “Femisida adalah wujud ekstrem dari struktur kekuasaan patriarkal yang melihat perempuan sebagai objek yang bisa dimiliki dan dihancurkan,” jelas Jessenia. Pada 2001, definisinya diperluas untuk mencakup pembunuhan berbasis identitas gender perempuan secara lebih umum, termasuk misogini dan seksisme sistemik.

     Dalam konteks Mei 1998, femisida terjadi sebagai akibat langsung dari kebencian etnis dan gender yang berkelindan. Pembunuhan dan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa bukan sekadar tindakan kriminal, tapi tindakan politik. Ini merupakan bentuk pesan kekuasaan brutal yang ingin menghapus eksistensi perempuan minoritas secara simbolik dan nyata. (Elisabet Ardiningsih Wiko)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025