Tubuh Perempuan Tionghoa Dieksploitasi: Membongkar Kekerasan Seksual dan Femisida Mei 199820/5/2025
![]() Diskusi bertema kekerasan terhadap perempuan Tionghoa dalam tragedi Mei 1998 kembali diselenggarakan untuk menghidupkan ingatan kolektif dan menuntut keadilan. Acara ini berlangsung pada Sabtu (17/5/2025) secara online melalui platform Zoom. Logos ID berkolaborasi dengan KontraS menghadirkan Jessenia Destarini selaku staf Advokasi dan Pemantauan Impunitas KontraS sebagai pembicara utama. Diskusi ini digelar dalam konteks peringatan 27 tahun kerusuhan Mei 1998 yang masih menyisakan luka dan ketidakadilan. Diskusi ini diikuti oleh berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa, aktivis, dan akademisi. Dalam pengantarnya, Jessenia menekankan pentingnya membedah peristiwa ini secara interseksional. Perempuan Tionghoa bukan hanya korban kekerasan, tetapi simbol dari kekuasaan yang ingin diperlihatkan secara brutal oleh para pelaku. Jessenia memaparkan bahwa kekerasan seksual pada Mei 1998 terjadi bukan karena kebetulan, melainkan sangat terstruktur. Kekerasan tersebut merupakan bagian dari pola sistematis yang digunakan untuk menciptakan ketakutan dan dominasi. “Kekerasan seksual 1998 dilakukan secara sistematis dan terorganisir seperti ‘kerusuhan’,” kata Jessenia. Jessenia menjelaskan bahwa para pelaku bergerak dengan pola, menyasar kelompok yang sama, dan melakukan kekerasan dalam kerangka konflik yang tampak seperti kekacauan massal. Namun di balik kekacauan itu, ada rencana yang memanfaatkan tubuh perempuan sebagai alat kekuasaan. Kekerasan seksual digunakan untuk mempermalukan, merendahkan, dan menunjukkan siapa yang berkuasa. Sasaran utamanya adalah perempuan Tionghoa karena mereka merepresentasikan minoritas yang mudah diserang. Dalam konteks ini, kekerasan seksual adalah bentuk pesan politik dan sosial. Upaya untuk mengungkap fakta dan mengusut keadilan atas peristiwa Mei 1998 tidak berjalan mulus. Menurut Jessenia, para pegiat HAM dan pihak yang terlibat dalam pencarian fakta menghadapi berbagai bentuk teror dan intimidasi. Hal ini membuktikan bahwa kekerasan terhadap korban tidak berhenti setelah peristiwa berlangsung, tapi berlanjut dalam bentuk impunitas dan pembungkaman. Negara justru berperan dalam mempertahankan keheningan sistemik ini. Melihat dari perspektif gender dan etnis, kerusuhan Mei 1998 menggambarkan bagaimana perempuan Tionghoa dijadikan simbol dari kekuasaan yang ingin dirusak. Tubuh mereka tidak hanya diperkosa secara fisik, tapi juga secara simbolik sebagai bentuk dominasi dan penghinaan. “Kerusuhan Mei 1998 merupakan bentuk penggambaran tubuh perempuan Tionghoa sebagai lokus exercise of power dan merupakan fenomena dengan dimensi interseksionalitas yaitu gender dan etnis,” tegas Jessenia. Perempuan diserang karena mereka perempuan, dan Tionghoa diserang karena mereka etnis minoritas. Dua identitas itu menjadi kombinasi yang membuat mereka sangat rentan. Dalam situasi itu, tubuh perempuan menjadi semacam panggung kekerasan struktural. Etnisitas mereka digunakan sebagai alasan untuk mengobjektifikasi dan melukai. Kekerasan itu bukan hanya fisik, tapi juga sarat makna simbolik dan ideologis. Diskusi ini juga menghadirkan perspektif dari pemikir feminis untuk memperdalam pemahaman atas dimensi kekerasan tersebut. Lentin (1990) menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah hasil dari konstruksi sosial yang diperkuat saat konflik. Konstruksi gender harus diinterseksi dengan proses rasialisasi. Dalam hal ini, perkosaan adalah strategi untuk membuat dan membuat kembali batasan dengan lokus tubuh perempuan. Anggraeni (2014) menyebut bahwa Peristiwa Mei 1998 mencerminkan konstruksi sosial yang patriarkal, bahwa perempuan ditempatkan sebagai "harta" laki-laki. Brownmiller (1975) menambahkan bahwa pemerkosaan digunakan sebagai cara membangun dan mengekspresikan maskulinitas superior, sambil memfeminisasi kelompok yang dikalahkan. Dalam kerusuhan Mei 1998, kekerasan seksual bukan hanya tentang seks, tapi tentang kuasa. Kekerasan seksual juga menjadi alat politik dan ideologis yang mencerminkan relasi kekuasaan yang timpang. Perspektif ini penting untuk menghindari simplifikasi bahwa peristiwa itu hanya soal kriminalitas biasa.
Jessenia juga menguraikan tentang bagaimana kekerasan seksual digunakan sebagai senjata dalam masa konflik, sebagaimana dijelaskan oleh Pankhurst (2010). Pankhurst mengungkapkan bahwa dalam masa ketegangan sosial-politik, bentuk-bentuk maskulinitas agresif sering kali diagung-agungkan dan dilegalkan. Diskriminasi yang sudah berlangsung lama terhadap etnis Tionghoa menciptakan prasangka dan kebencian yang mudah dikapitalisasi. Tubuh perempuan Tionghoa dijadikan objek balas dendam, penghinaan, dan alat pelepasan agresi. Kekerasan terhadap mereka tidak muncul begitu saja, melainkan sebagai hasil dari prakondisi diskriminasi dan rasisme sistemik. Dalam konteks ini, pemerkosaan bukan hanya sebagai senjata fisik, tapi juga senjata sosial untuk memperkuat dominasi. Ini menunjukkan betapa kekerasan seksual bisa digunakan sebagai alat ideologis dalam konflik sosial. Diskusi kemudian ditutup dengan pembahasan mengenai konsep femisida sebagai puncak dari kekerasan terhadap perempuan. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Diana Russell pada tahun 1976 dalam International Tribunal of Crimes Against Women. Pada tahun 1990, femisida didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan oleh laki-laki karena kebencian, penghinaan, atau rasa kepemilikan atas tubuh perempuan. “Femisida adalah wujud ekstrem dari struktur kekuasaan patriarkal yang melihat perempuan sebagai objek yang bisa dimiliki dan dihancurkan,” jelas Jessenia. Pada 2001, definisinya diperluas untuk mencakup pembunuhan berbasis identitas gender perempuan secara lebih umum, termasuk misogini dan seksisme sistemik. Dalam konteks Mei 1998, femisida terjadi sebagai akibat langsung dari kebencian etnis dan gender yang berkelindan. Pembunuhan dan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa bukan sekadar tindakan kriminal, tapi tindakan politik. Ini merupakan bentuk pesan kekuasaan brutal yang ingin menghapus eksistensi perempuan minoritas secara simbolik dan nyata. (Elisabet Ardiningsih Wiko) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |