Pada Senin (4/10/2024) lalu, Cakra Wikara Indonesia (CWI) menggandeng Komite Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (KPPKS) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) mengadakan diskusi publik bertajuk “Peran Strategis Kepala Daerah dalam Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual” di Kampus FISIP UI, Depok, Jawa Barat. Kegiatan ini juga didukung oleh program INKLUSI. Menghadirkan beberapa Calon Gubernur (Cagub) dan panelis ahli, diskusi ini sekaligus bertujuan untuk mendesak komitmen para Cagub yang hadir terhadap pemaksimalan UU TPKS di tingkat daerah. Dekan FISIP UI, Semiarto Aji Purwanto, menyoroti kerentanan perempuan dan anak-anak dalam masyarakat Indonesia, baik secara struktural maupun kultural. Ia menegaskan bahwa negara dan para pemimpin daerah bertanggung jawab memberikan perlindungan yang tegas bagi kelompok rentan ini demi menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Sambutan dilanjutkan oleh dosen Kriminologi FISIP UI, Mamik Sri Supatmi, yang juga Ketua Komita KPPKS FISIP UI. Mamik mengenalkan KPPKS FISIP UI sebagai lembaga yang dibentuk atas kepedulian warga FISIP terhadap isu kekerasan seksual. Pembentukan komite ini bahkan mendahului berdirinya Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI. Lewat kegiatan ini, KPPKS FISIP UI juga mendorong para calon kepala daerah agar nantinya melindungi korban kekerasan seksual sesuai dengan amanat konstitusi Indonesia. Sambutan terakhir diberikan oleh Anna Margret selaku Direktur CWI. Akademisi ini menyoroti pentingnya peran kepala daerah dalam mendorong efektivitas Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dalam menjalankan tugasnya. Anna berharap para calon kepala daerah dapat benar-benar memperhatikan serta meningkatkan capaian yang sudah diraih oleh UPTD PPA, sambil terus mengawal kerja sama yang sudah terjalin antara pemerintah dan unit pelayanan berbasis komunitas. Sesi diskusi dibuka oleh paparan dari Luluk Hamidah, Cagub Provinsi Jawa Timur. Idenya untuk menjalankan amanat dan implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah memastikan keterlibatan pemerintah dalam menjalankan UU tersebut. Saat ini, angka kekerasan seksual di Jawa Timur masih tinggi. Tidak ada pula Peraturan Gubernur yang khusus membawahi semangat UU TPKS. Demikian, Cagub Nomor Urut 1 ini mengusulkan pembentukan dana abadi Jawa Timur dapat dianggarkan untuk operasional UPTD PPA. “Dana ini dapat diperuntukkan untuk memberikan bantuan pada korban dan mereka yang memiliki kerentanan terhadap tindak pidana kekerasan seksual,” jelasnya. Calon kepala daerah selanjutnya, Dedi Mulyadi, Cagub Provinsi Jawa Barat, memberikan pandangan mengenai pengentasan kekerasan seksual. Menurutnya, untuk mengoptimalkan pencegahan kekerasan seksual, harus diselesaikan pada tataran rumah tangga. Tingginya kasus penelantaran anak di Jawa Barat ia tuding sebagai hulu masalah. Anak-anak yang ditelantarkan ini berada di lingkungan yang tidak diproteksi dengan baik, sehingga membuat mereka berada dalam pergaulan yang rentan. Solusinya adalah membangun asrama pendidikan bagi anak-anak terlantar ini. Asrama nantinya akan dikelola oleh Dinas Sosial Jawa Barat, janji Dedi. Muda Mahendrawan, Cagub Provinsi Kalimantan Barat, mengajak audiens untuk membongkar stigma tabu kekerasan seksual dengan membicarakannya terus menerus. Faktor tingginya kekerasan seksual di daerah pun sangat beragam, mulai dari lingkungan, pola pikir masyarakat, hingga penggunaan teknologi yang tidak bijak. Demikian, kekerasan seksual harus banyak didiskusikan di setiap kesempatan untuk mengedukasi masyarakat. Ia juga menyoroti meningkatnya laporan kasus kekerasan seksual di Kalimantan Barat. “Kita harus mulai dengan banyak membicarakannya (isu kekerasan seksual-red), dan keterlibatan pemerintah daerah harus diperkuat hingga ke tingkat desa,” ujarnya. Kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) seperti PEKKA, yang pernah diimplementasikan di Kabupaten Kubu Raya, juga dapat kembali dilaksanakan di tingkat provinsi. Dari sudut pandang OMS, hadir Lusia Palulungan dari BaKTI. Lusia menyoroti kurangnya fasilitas rumah aman di banyak UPTD PPA. Ini menjadi tantangan dalam menjamin keamanan korban kekerasan. Menurutnya, perlindungan korban memerlukan koordinasi lintas sektor yang kuat, yang idealnya berada di bawah kewenangan kepala daerah. Namun, Lusia mencatat bahwa pemerintah daerah sering kali beranggapan bahwa Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dan UPTD PPA sudah cukup untuk menangani isu kekerasan seksual. Tantangan lain yang dihadapi adalah minimnya OMS di daerah yang fokus pada isu perempuan. Kekurangan ini membuat koordinasi dengan pihak nonpemerintah menjadi terbatas. Tanggapan yang senada juga diberikan oleh Ratna Batara Munti dari LBH APIK Jawa Barat. Sebagai pengada layanan yang baru membuka cabang di Jawa Barat, kasus yang ditangani per tahun 2023 sudah membludak. Jumlah kasus yang ditangani lebih dari 100 kasus. Ratna menyuarakan pelayanan yang disediakan pemerintah daerah sering kali tidak stabil. Salah satu kondisi yang pernah ia tangani adalah kekurangan psikolog anak yang kompeten dan berperspektif gender dalam memberikan pendampingan pada korban kekerasan seksual anak. Peristiwa miris lainnya adalah ketika Ratna diberikan saran oleh psikolog anak lain, bahwa korban anak tidak perlu diberikan pemulihan sebelum sidang. Sebab, ditakutkan trauma yang sudah ditangani tidak dapat meyakinkan penegak hukum dan tidak bisa menjadi bukti di pengadilan. Selain UU, perspektif dari penegak hukum dan pendamping juga terkadang menghambat penanganan kasus. Panelis terakhir, Dirga Ardiansa dari CWI, memaparkan temuan dari riset CWI sejak Juni hingga Desember 2023, yang menunjukkan tantangan dan hambatan dari pencegahan kekerasan seksual di daerah ini bersifat struktural dan sistemik. Tantangan pertama bersifat institusional. Regulasi dan UU adalah instrumen penting yang dapat mendorong perubahan norma. Namun praktik di berbagai negara menunjukkan bahwa UU yang progresif tidak serta-merta efektif jika masyarakat belum siap menerapkannya. Tantangan kedua bersifat kultural-normatif, mencakup adat, agama, dan peran gender tradisional, yang menjadi bagian paling sulit untuk diubah. Kedua tantangan ini saling berkelindan erat dan membutuhkan upaya lebih untuk mengurainya. Atas temuan ini, CWI memberikan catatan bagi para calon kepala daerah untuk serius memastikan kinerja dan kualitas SDM UPTD PPA. UPTD PPA yang bekerja di bawah dinas daerah akan sangat terbantu jika kepala daerah menaruh perhatian lebih pada operasionalnya. Harapannya, hal ini dapat meningkatkan pelayanan pada korban. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |