Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

Ruang Aman yang Belum Aman: Perjalanan Panjang Solidaritas Pekerja untuk Menghapus Kekerasan dan Diskriminasi di Dunia Kerja

14/10/2025

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menyelenggarakan diskusi publik dan peluncuran riset yang berjudul “Saling Rawat, Saling Jaga: Merajut Jejaring Pendukung Pekerja Perempuan & Ragam Gender” di ruang aula Gudskul, Jakarta Selatan (11/10/2025). Ganies Oktaviana selaku moderator menjelaskan bahwa diskusi ini merupakan medium berbagi atas kerja-kerja yang telah diupayakan SINDIKASI sepanjang Juni dan Juli 2025 mengenai penghapusan diskriminasi berbasis gender, keadilan kerja dan solidaritas lintas kerja. Diskusi ini sekaligus juga menunjukkan rasa syukur atas 8 tahunnya SINDIKASI melakukan pendidikan, riset, pengorganisasian, dan advokasi, khususnya tentang ruang yang lebih aman untuk kondisi kerja yang lebih baik untuk keragaman gender di Indonesia. Pembicara pada diskusi ini adalah Selira Dian sebagai Koordinator Divisi Gender dan Inklusi Sosial SINDIKASI, Wanda Roxanne sebagai aktivis perempuan, Steven Handoko sebagai Tim Peneliti Riset Tubuh & Menubuh: Kondisi Pekerja Ragam Gender di Ekosistem Seni dan Kreatif, dan Isvara Devati sebagai pekerja seni. 


     Selira Dian yang biasa dipanggil Dian, menjelaskan tentang upaya SINDIKASI dalam memperbaharui standard operating procedure (SOP) terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS). Sejak berdiri di tahun 2017, SINDIKASI membangun narasi inklusivitas yang berangkat dari kesadaran untuk menyertakan perempuan dan ragam gender lainnya dalam serikat pekerja. Menurutnya, serikat pekerja dan upaya advokasi kebijakan tidak harus dipimpin oleh laki-laki. Dian bercerita, pada tahun 2020, SINDIKASI mengalami cobaan berupa kasus kekerasan seksual (KS) yang dilakukan oleh anggotanya. Sebagai organisasi, SINDIKASI pada saat itu bingung untuk menanganinya. Inklusivitas memang sudah menjadi menjadi jargon antar anggota, tetapi tetap dibutuhkan SOP dan dokumen resmi untuk menangani kasus KS yang terjadi dalam sebuah organisasi.

​    Menurut Dian, organisasi tidak perlu malu dan takut akan cancel culture jika terjadi kasus KS di dalamnya. Yang terpenting adalah organisasi mau untuk terus berbenah dan memperbaiki diri. Salah satu organisasi binaan SINDIKASI ialah Gudskul yang merupakan lembaga yang bergerak di bidang seni. Dalam mendampingi organisasi untuk pencegahan dan penanganan KS, SINDIKASI menempatkan diri sebagai pihak yang sama-sama belajar, bukan pihak yang ahli, serta memiliki tujuan agar organisasi lain tidak berujung sama seperti SINDIKASI yang sempat mengalami kebingungan ketika terjadi kasus KS yang dilakukan oleh anggotanya. Dian menjelaskan, bagi SINDIKASI pendamping korban KS tidak sedang melakukan aksi heroik, tetapi sedang membersamai korban. 


     Saat ini, untuk mencegah dan menangani KS, SINDIKASI memiliki beberapa kolega, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, Yayasan Pulih, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LBH APIK merupakan pengada layanan yang membantu SINDIKASI dalam mengurus berkas non-litigasi milik korban. Untuk menyembuhkan trauma psikologis korban, SINDIKASI dibantu oleh Yayasan Pulih dengan para psikolog berperspektif gender dan berpengalaman dalam menangani kasus KS. Untuk aspek hukum, SINDIKASI dibantu oleh LPSK dalam menyusun panduan penanganan KS.

     Dian menutup sesi pemaparan materi dengan ungkapan bahwa, SOP PPKS seharusnya bersifat reparatif bukan hanya cancel culture. Artinya, SOP PPKS yang diterapkan pada organisasi, tidak hanya memecat pelaku jika terbukti melakukan KS, tetapi juga memulihkan nama (terduga) pelaku jika tidak terbukti melakukannya.

     Dalam sesi diskusi, Dian menambahkan beberapa poin. Walaupun sudah ada SOP PPKS dan organisasi sudah didampingi, tetap tidak bisa dipastikan bahwa organisasi tersebut benar-benar menerapkannya, sehingga KS masih dapat terjadi dalam lingkup organisasi, terlebih pelaku merupakan petinggi yang justru malah dilindungi. Sering kali SOP hanya dijadikan dokumen prasyarat agar organisasi dapat didanai oleh lembaga donor dan pendampingan yang dilakukan hanya terbatas sampai dengan aspek pengetahuan. Hasil dari penanganan KS tidak akan bisa dipastikan, karena sangat bergantung pada respons pelaku dan stamina korban dalam menindaklanjuti kasus KS. Dian menegaskan bahwa, SINDIKASI hanya berusaha menggunakan jaringan yang ada dalam mengupayakan PPKS, dan penanganan KS juga harus menguatkan korban, bukan hanya menghukum pelaku.

     Wanda menceritakan pengalamannya dalam menangani KS. Ia pernah menangani korban penyebaran foto intim. Pada awalnya korban ingin melamar sebuah lowongan pekerjaan yang ia temukan di internet, kemudian korban dimintai untuk memberikan foto intim, dan pelaku menyebarkan foto tersebut di internet. Hal ini dapat terjadi karena faktor sulitnya mencari pekerjaan dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pada saat ini. Menurutnya, bekerja dengan lingkungan digital seperti sekarang, semakin merentankan perempuan dan minoritas gender lainnya. Ketika berkas sudah diunggah dan tersimpan di situs lowongan kerja, berkas-berkas tersebut dapat dengan mudah diakses dan diunduh oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

     Pekerja di berbagai bidang pekerjaan mengalami kerentanannya masing-masing. Hak-hak dasar mereka sebagai pekerja, masih belum terpenuhi, seperti asuransi kesehatan dan keselamatan kerja, cuti haid, cuti tahunan, kontrak perjanjian kerja yang jelas, dan bayaran tambahan yang layak bagi pekerja yang mendapatkan beban kerja tambahan. Selain itu, kasus KS masih sangat sering menimpa perempuan dan minoritas gender lainnya di lingkungan kerja. Inklusivitas di lingkungan kerja masih sangat sulit untuk tercapai, terutama bagi pekerja penyandang disabilitas yang tidak terlihat (invisible disability). Mereka justru menutupi kebutuhannya yang seharusnya merupakan haknya yang dipenuhi oleh perusahaan atau pemberi kerja. 

     Wanda menutup sesi pemaparan materi dengan mengungkapkan bahwa, ketersediaan ruang aman di tempat kerja seharusnya bukan hanya sebuah tokenisme, yaitu sekadar mengetahui definisi dan urgensinya, tetapi dalam praktiknya, ruang tersebut tidak pernah ada.

     Dalam sesi diskusi, Wanda menambahkan beberapa poin. Banyak di antara organisasi yang sudah memiliki SOP PPKS, tetapi baru menggunakan dan menerapkannya ketika sudah terjadi kasus KS. SOP tersebut tidak benar-benar dipelajari sebelumnya, bahkan ketika masih dalam tahap pencegahan KS. SINDIKASI memang sudah menyediakan SOP PPKS beserta satgasnya, tetapi dalam penanganan kasus KS, SINDIKASI hanya akan mendampingi bukan melayani terselesaikannya kasus KS tersebut.

     Steven menceritakan hasil riset Tubuh & Menubuh: Kondisi Pekerja Ragam Gender di Ekosistem Seni dan Kreatif yang telah ia lakukan. Online survey dalam riset ini yang mendapatkan subjek sebanyak 230 orang pekerja seni dengan ragam gender lain. Berdasarkan survei tersebut, transpuan merupakan kelompok yang paling banyak menerima kekerasan karena memiliki ciri fisik yang paling mudah terlihat.

     Pengambilan data pada riset ini juga dilakukan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) yang juga menyertakan pemberi kerja sebagai subjek. Hasil dari FGD ini, para pekerja memaknai kerja merupakan sebuah anugerah, terlebih dapat bekerja di bidang yang mereka sukai, serta sebagai ekspresi diri. Bagi mereka, ruang aman tidak harus tercipta di kantor, dan bisa tercipta melalui komunitas. Selain itu, pemberi kerja sebenarnya sudah mengetahui dan menerima keberagaman gender dalam para pekerjanya, tetapi belum membuat kebijakan resmi yang mengaturnya dan hanya baru sebatas ucapan antar orang-orang di lingkungan kerja untuk tidak mendiskriminasi pekerja dengan ragam gender yang berbeda.

     Kesimpulan pada riset ini ialah pengakuan terhadap keberagaman gender di kalangan pekerja memang sudah baik, tetapi masih jauh dari ideal. Seni, bagi pekerjanya dengan ragam gender yang berbeda, merupakan argumen politis atas diri mereka sendiri, karena dapat bebas berekspresi.

     Isvara yang telah membaca hasil riset dari Steven menyatakan bahwa ia merasa menjadi seniman transgender yang tinggal di kawasan urban merupakan suatu privilese jika dapat bertahan di tengah banyaknya tuntutan hidup di saat ini. Sebagai seniman, ia akan terus berkarya untuk menyuarakan isu-isu di komunitas sesamanya. Memilih identitas diri sendiri dengan memodifikasi tubuh, merupakan sebuah langkah revolusioner dan tubuh merupakan lokus perjuangan, tuturnya.

     Berdasarkan pengalamannya sebagai seorang transgender, ia bercerita mengenai terapi hormon sebagai pilihan bagi sebagian transgender. Dalam hal ini, terapi hormon bukan hanya tentang intervensi medis, tetapi juga bentuk artistik dan budaya. Para transgender akan menyebarkan pengetahuan tentang terapi hormon yang sangat berkaitan dengan ketubuhan, tetapi saat ini aksesnya masih sangat terbatas dan banyak di antaranya yang ilegal. Hal ini merupakan kerja perawatan diri sebagai bentuk resistensi. 

     Perkembangan teknologi dan ruang siber dapat dimanfaatkan kelompok queer untuk bersolidaritas dan mengadvokasikan diri. Narasi arus utama memang tidak mengakui dan menulis sejarah tentang kelompok queer, sehingga ruang siber dapat digunakan untuk meninggalkan jejak-jejak digital tentang keberadaan kelompok queer. Jejak-jejak ini nantinya akan menjadi artefak digital untuk melawan penghapusan sejarah kelompok queer. Menurutnya, di ruang siber, transgender harus selalu sadar akan agensi untuk mengadvokasi hak-haknya, terlebih jika memiliki audiens yang banyak. 

     Di samping itu, para transgender juga mengalami paradoks hypervisibility di ruang cyber, ketika terlalu banyak konten-konten mereka yang mempertontonkan tubuh sebagai objek yang eksotis, seksi, politik, bahkan difetisisasi. Hal ini membuat mereka terlihat tetapi tidak benar-benar dilihat sebagai manusia yang diakomodasikan kebutuhan dan hak-haknya. Pemikiran dan ide sebagai kelompok queer juga dibatasi. 

     Isvara bercerita, dirinya pernah mengajukan ide untuk acara yang dibiayai oleh pemerintah, dan ia harus mengganti kata bondage, dominance, sadism, and masochism (BDSM) dan queer menjadi keberagaman gairah. Oleh karena itu, sangat diperlukan langkah diplomatis agar kesempatan untuk beragensi sebagai kelompok queer tetap terbuka. Sebagai penutup, Isvara menyatakan bahwa, berkesenian bukan hanya tentang membuat karya, tetapi merupakan sarana untuk melakukan perawatan terhadap diri sendiri dan komunitas untuk mendekolonisasi pemahaman tentang queer di Indonesia. 

     Diskusi ini menegaskan pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang aman, adil, dan inklusif bagi semua pekerja, terutama perempuan dan ragam gender lainnya. Penyusunan SOP PPKS, pendampingan korban, dan riset berbasis pengalaman pekerja menjadi langkah nyata untuk melawan ketidakadilan struktural bagi kalangan pekerja, tetapi tetap dibutuhkan komitmen nyata dari organisasi dan individu untuk benar-benar menciptakan lingkungan kerja yang aman, adil, dan inklusif. Seni, kerja, dan tubuh menjadi ruang politis untuk menyuarakan hak dan memperjuangkan ruang hidup yang setara. (Dira Chaerani) 

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025