Riset Women Research Institute Mengungkapkan Praktik Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu3/3/2025
![]() Women Research Institute (WRI) bersama Westminster Foundation for Democracy (WFD) meluncurkan hasil penelitian bertajuk “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu 2024” pada Rabu (26/2/2025) di Hotel JW Luwansa, Jakarta. Penelitian tersebut dilaksanakan selama enam bulan. Mulai dari 1 Juli 2024 hingga 10 Januari 2025 dengan menggunakan metode survei, wawancara, dan focus group discussion, serta melibatkan subyek penelitian sebanyak 270 orang perempuan dan laki-laki. Adapun, penelitian ini menganalisis dinamika kekerasan terhadap perempuan pada Pemilu 2024, serta praktik-praktik yang mengancam partisipasi perempuan juga menggerus demokrasi secara keseluruhan. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan pada Pemilu 2024. Dari total responden, 82% perempuan politik menyatakan adanya peningkatan intensitas kekerasan terhadap perempuan dibandingkan pemilu sebelumnya. Lebih memprihatinkan lagi, terdapat kesenjangan signifikan dalam pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari kasus yang terjadi, hanya 22% yang melaporkan, sementara mayoritas (69%) tidak melaporkan. Kemudian, bentuk-bentuk kekerasan yang teridentifikasi antara lain kekerasan verbal yang merendahkan kompetensi (51%) sering berjalan seiring dengan kekerasan digital dalam bentuk kampanye hitam dan serangan terkoordinasi di media sosial sebanyak (45%). Kekerasan ekonomi (42%) melalui politik uang dan keterbatasan akses ke sumber daya kampanye semakin memperburuk situasi, terutama bagi kandidat perempuan yang tidak memiliki dukungan finansial kuat. Sementara itu, kekerasan struktural (38%) dalam bentuk diskriminasi penempatan nomor urut dan daerah pemilihan mencerminkan bagaimana sistem politik masih belum sepenuhnya inklusif terhadap perempuan. Berangkat dari permasalah tersebut, diperlukan intervensi yang mengintegrasikan reformasi kebijakan, penguatan penegakan hukum, dan transformasi budaya politik secara bersamaan untuk memutus pola kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu. Lebih lanjut, dibutuhkan juga komitmen yang kuat dari partai politik untuk menyusun dan menerapkan kebijakan partai politik yang lebih inklusif, responsif gender, dan berpihak pada perempuan dalam pengambilan keputusan dan pelibatan perempuan dalam proses-proses internal partai. Selain peluncuran hasil penelitian, WRI bersama WFD juga mengadakan dialog publik tentang kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Dalam dialog tersebut, Lestari Moerdijat, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), mengungkapkan bahwa dirinya juga merupakan korban kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Sebab, ketika Ririe, sapaan akrabnya, maju mencalon diri juga menemui ungkapan untuk tidak memilih perempuan sebagai pemimpin. “Usaha-usaha untuk mendiskreditkan perempuan itu ada dalam setiap tahap sekalipun kita sudah punya posisi dan sudah terpilih,” ucap Ririe. Selanjutnya, Rahmat Bagja, Ketua Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu), juga turut menanggapi terkait peran Bawaslu dalam memastikan yang adil dan setara bagi perempuan dalam Pemilu. Menurut Bagja, problematika penegakan hukum keterwakilan perempuan didasari oleh faktor hukum, yakni perubahan aturan hukum administrasi Pemilu pada tahapan penyelenggaraan Pemilu dan multitafsir aturan hukum administrasi Pemilu. Selain itu, faktor struktur hukum, yakni kesiapan teknis penyelenggaraan pemilu dan faktor budaya dalam pengurus partai politik untuk menginternalisasi affirmative action keterwakilan perempuan dalam pencalonan juga turut berpengaruh.
Lebih lanjut, Bagja juga menyebutkan bahwa pada periode 2017-2022 terdapat 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memutuskan 21 pemberhentian tetap dan 4 peringatan keras. Kemudian, periode 2022-2023 terdapat 4 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP dan pada 2023 terdapat 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. “Menanggapi angka kekerasan seksual yang meningkat, kami memberikan rekomendasi masalah umum, penguatan regulasi dan kebijakan, advokasi, edukasi dan program, serta kolaborasi,” jelas Bagja. Ia juga menyatakan bahwa Bawaslu akan memastikan affirmative action keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Bawaslu juga, menurut Bagja, menetapkan pedoman tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kerja Bawaslu. “Beban penyelenggara Pemilu semakin kuat dan tingkat stress tinggi akibatnya meningkatkan kekerasan, salah satunya kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya. Menanggapi pernyataan Bagja tersebut, moderator menyebutkan kasus kekerasan yang dijelaskan merupakan fenomena gunung es. Sebab, hasil penelitian WRI menemukan bahwa hanya 22% perempuan yang berani melapor dan sisanya (78%) tidak melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Selain itu, menanggapi pernyataan Bagja mengenai tingkat stres yang berakibat kekerasan terhadap perempuan, moderator menyebutkan bahwa hal tersebut mengindikasi perempuan hanya dijadikan objek. “Perempuan dianggap sebagai objek, kalau dia stres maka ia berhak melakukan kekerasan terhadap perempuan. Ini harus kita advokasi bersama-sama,” tegas moderator. (Michelle Gabriela Momole) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |