Dok. Jurnal Perempuan Pada Selasa (7/10/2025), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang didukung koalisi Reformation for Police (RFP) menggelar diskusi publik dalam rangka penerbitan liputan kasus-kasus yang melibatkan polisi. Liputan ini dilakukan di 6 provinsi di Indonesia, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung. Pada diskusi publik yang berjudul catatan kelam perilaku polisi, menagih reformasi Polri ini AJI mengundang tiga narasumber yaitu: Iftitahsari yang merupakan peneliti ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), Bayu Wardana sebagai Sekjen AJI, dan mulanya AJI turut mengundang Komjen Pol, Chryshnanda Dwilaksana yang merupakan Ketua Tim Reformasi Polri, tetapi pada diskusi ini, diisi oleh Gufron Mabruri selaku Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Acara dibuka oleh sambutan dari Nani Afrida selaku Ketua Umum AJI. Menurut Nani, diskusi yang diadakan ini berangkat dari liputan in depth yang dilakukan AJI di 6 provinsi tersebut. AJI melakukan penelitian mendalam dan investigasi terhadap polisi, yang seharusnya mengayomi, malah melakukan misconduct. Menurut Nani, ada satu pola konsisten yang ditemukan, yaitu penegakan hukum dijalankan dengan sistem ganda, di mana polisi yang seharusnya melindungi malah melakukan pelanggaran hukum baik di internal ataupun eksternalnya. Menurut Nani, AJI, Iftitahsari, dan berbagai opini yang hadir sepanjang jalannya diskusi, hal ini adalah masalah struktural. AJI berpendapat bahwa investigasi yang dilakukan AJI bukan serangan, melainkan ajakan untuk berbenah institusi. Diskusi ini dan liputan AJI ditujukan untuk menagih reformasi Polri. Diskusi ini mempertanyakan minimnya progres reformasi Polri, turunnya kinerja Polri dalam penegakan hukum, serta resistensi internal yang tinggi karena kepolisian masih digunakan sebagai alat politik. Diskusi juga menyoroti dimensi lain seperti penyalahgunaan diskresi, impunitas polisi, kasus pidana yang seringkali diselesaikan dengan sidang etik, praktik restorative justice yang keliru, serta penanganan kasus kekerasan seksual yang sering kali bias terhadap korban. Sekjen AJI, Bayu Wardana, mengungkapkan bahwa dalam investigasi AJI terungkap banyak kasus kekerasan seksual di daerah yang ditangani dengan tidak profesional. Salah satu contohnya terjadi di Sulawesi Tenggara di mana ada kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh ibu korban, tetapi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) menyarankan kasusnya diselesaikan dengan damai atau restorative justice. Investigasi juga mengungkap di NTT, ada sekitar 5 kasus kekerasan seksual berupa penjualan foto yang dilakukan oleh salah satu polisi tetapi tidak diselesaikan di pengadilan. Hal ini mengindikasikan pelaku seakan mendapat impunitas ataupun hanya hukuman ringan. Menurut Bayu, sistem yang buruk adalah masalah besar. Pengawasan di tubuh Polri pun lemah, sehingga oknum-oknum tidak takut jika melakukan hal-hal yang melanggar pidana dan hukumannya hanya sekadar sidang etik. Iftitahsari memberikan saran untuk mengupas berbagai lapisan dalam permasalahan polisi, yaitu revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, KUHAP yang direncanakan akan disahkan Januari 2026 masih sangat bermasalah, di mana tidak adanya kontrol serta check and balance. KUHAP baru—yang prosesnya pun sejauh ini buru-buru dan tidak baik—akan menimbulkan potensi legitimasi proses yang tidak akuntabel bagi Polri. Menurut Iftitahsari, liputan AJI dapat menangkap semua wajah masalah sistemik di institusi kepolisian. Mengenai impunitas, Iftitahsari menyebutkan bahwa impunitas selalu ada. Walaupun di tiap tahunnya telah dilakukan penelitian dan kritik mengenai hal tersebut, hal itu hanya sekadar dijadikan data tanpa adanya perubahan yang berarti dari pembuat kebijakan. Bayu Wardana menekankan perlunya reformasi berbasis fakta lapangan dan penghapusan impunitas, karena aturan sering dilanggar tanpa sanksi. Bayu menilai kewenangan dan beban kerja Polri terlalu besar sehingga fungsi utama menjaga keamanan justru terabaikan. Gufron menegaskan reformasi Polri harus dilihat sebagai agenda politik, bukan sekadar teknis. Pengawasan eksternal dan dorongan publik menjadi kunci karena perubahan tidak bisa diserahkan ke internal Polri saja. Kompolnas, menurutnya, telah memberi rekomendasi berbasis data lapangan, tetapi efektivitas dan transparansinya masih lemah.
Iftitahsari pun menyoroti lemahnya sistem pengawasan seperti, batas antara etik, disiplin, dan pidana yang kabur. Iftitahsari juga mengusulkan pendekatan pengawasan berbasis komunitas seperti masyarakat sipil perlu mengawasi kinerja polisi di tingkat lokal secara lekat agar fungsi kepolisian dapat dikoreksi dari bawah. Partisipasi publik, terutama masyarakat sipil yang independen dan berintegritas, menjadi kunci untuk mendorong akuntabilitas. Sebagai penutup, Bayu menegaskan bahwa reformasi Polri adalah tanggung jawab pemerintah dan DPR RI karena menyangkut kebijakan politik dan struktur kekuasaan. Namun, Gufron menambahkan bahwa tanggung jawab juga ada pada masyarakat sipil untuk memastikan proses reformasi berjalan dan memiliki legitimasi publik. Reformasi kepolisian, simpulnya, hanya akan berhasil jika ekosistem politik, hukum, dan sosial berubah bersama, karena tanpa itu, menurutnya kepolisian akan tetap menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung rakyat. (Putri Nurfitriani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed