Publikasi Penerima Toeti Heraty Scholarship 2025: Menanam Benih Feminisme, Memupuk Emansipasi Sosial28/7/2025
Dok. Jurnal Perempuan Kamis (24/7/2025), telah dilaksanakan acara Publikasi Penerima Beasiswa Toeti Heraty 2025 dan diskusi publik bertema “Dari Ruang Kelas ke Ruang Perlawanan: Feminisme sebagai Proyek Emansipasi Sosial”. Kegiatan ini digelar secara daring melalui Zoom Meeting dan YouTube. Acara ini dipandu langsung oleh Andi Thoifatul Misbach selaku Koordinator Beasiswa Toeti Heraty 2025 dan juga menjadi moderator dalam diskusi tersebut. Dalam prakatanya, Andi menyambut para peserta serta menyampaikan apresiasi kepada para tokoh yang hadir, di antaranya Migni Myriasandra Noerhadi beserta keluarga besar Yayasan Toeti Heraty Roosseno, Musdah Mulia selaku narasumber utama dalam diskusi publik, Abby Gina Boang Manalu sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, dan Karlina Supelli sebagai salah satu tim seleksi THS 2025. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan media yang hadir dan rekan-rekan perjuangan dari Toeti Heraty. Program THS 2025 merupakan hasil kolaborasi antara Yayasan Jurnal Perempuan dengan Yayasan Toeti Heraty Roosseno yang telah berjalan selama empat tahun. Dalam tiga tahun terakhir, program ini memperluas jangkauan melalui jalur afirmasi untuk wilayah Indonesia Timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua) serta mendorong inklusivitas gender dengan membuka ruang bagi kelompok minoritas. Tahun 2025, THS menerima 222 pendaftar dari beragam latar belakang kajian ilmu. Hasilnya, terdapat 10 peserta terpilih yang telah melewati proses panjang mulai dari pendaftaran, seleksi berkas wawancara, sampai pada pengumuman hasil. Dari 10 peserta terpilih, terdapat dua kandidat magister berusia di atas 40 tahun yang membawa pengalaman hidup mereka dan rekam jejak aktivisme yang lebih luas lintas generasi. Kehadiran mereka diharapkan dapat memperkaya dinamika pembelajaran feminis dalam program ini. Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan pertama dari Direktur Yayasan Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu. Dalam sambutannya, Abby Gina membuka dengan mengingat salah satu karya penting Toeti Heraty berjudul Pencarian Belum Selesai. Autobiografi ini dinilainya bukan hanya sebuah autobiografi personal, tetapi juga refleksi intelektual dan etis atas kehidupan Toeti Heraty sebagai seorang filsuf, penyair, pendidik, aktivis, ibu, dan juga nenek. “Bagi saya, judul ini adalah etos hidup Toeti Heraty atas keberaniannya untuk terus menggugat, mencari makna diri, kebebasan, dan keadilan sosial,” ujar Abby. Abby menekankan bahwa peluncuran THS bukan sekadar pemberian beasiswa pendidikan tinggi, melainkan pernyataan keberpihakan terhadap transformasi sosial. Beasiswa ini dirancang sebagai warisan intelektual dan praksis feminis dari pemikiran Toeti Heraty, yang berpijak pada disiplin filsafat dan kajian gender. THS melibatkan penerima dari berbagai jenjang, latar belakang, dan ekspresi gender, termasuk melalui jalur afirmasi untuk wilayah Indonesia Timur. Proses seleksi dilakukan dengan cermat dan penuh pertimbangan, tidak hanya menilai capaian akademik, tapi juga empati, afeksi, dan keberpihakan sosial dari para kandidat. “Beasiswa ini bukan sekadar dukungan pendidikan, tetapi bentuk intervensi politik untuk keadilan pengetahuan dan distribusi ruang yang lebih setara,” pungkas Abby Gina. Dalam kesempatan ini, Migni Myriasandra Noerhadi juga memperkenalkan Yayasan Toeti Heraty Roosseno yang didirikan pada tahun 2020. Melalui yayasan ini, THS tidak hanya hadir sebagai bentuk dukungan terhadap pendidikan tinggi, tetapi juga sebagai ruang pembentukan gagasan, tempat di mana nilai-nilai pemikiran Toeti Heraty terus dihidupkan dan dikembangkan. “Melalui program ini, kami ingin memastikan bahwa semangat keberpihakan pendidikan terus mengalir dan mengakar di generasi muda Indonesia,” ungkap Migni. Migni juga menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Jurnal Perempuan serta seluruh pihak yang telah mendukung, termasuk tim seleksi, mitra akademik, mitra media, dan semua yang telah terlibat. Ia berharap bahwa peluncuran penerima Toeti Heraty Scholarship 2025 ini menjadi momentum yang penuh makna dalam mendorong emansipasi sosial, sebagaimana tema diskusi malam ini. “Selamat kepada para penerima beasiswa. Teruslah belajar, bertumbuh, dan bersuara. Dan selamat menyelenggarakan diskusi publik malam ini,” tutupnya. Sambutan dilanjutkan oleh Darwin Cyril Noerhadi, yang juga mengucapkan selamat kepada sepuluh penerima Toeti Heraty Scholarship 2025, dan menyampaikan apresiasi kepada seluruh dewan juri yang telah menjalankan proses seleksi secara teliti Menurutnya, sangat disayangkan jika semangat dan kegigihan Toeti Heraty dalam bidang pendidikan tidak dilanjutkan, khususnya di bidang filsafat, feminisme, dan gender. Oleh karena itu, kolaborasi antara Yayasan Toeti Heraty Roosseno sebagai sponsor dan Yayasan Jurnal Perempuan sebagai pelaksana menjadi sangat penting dalam memastikan keberlangsungan warisan intelektual ini. Diharapkan bahwa program ini terus berlanjut dan berkontribusi secara nyata dalam membentuk para pejuang pemikiran kritis yang berdampak positif bagi masyarakat Indonesia di bidang filsafat, gender, feminisme, dan humaniora. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi kesan dan pesan dari Panca Lintang D. P., salah satu penerima THS 2024. Lintang, sapaan akrabnya, menggambarkan keterlibatannya sebagai pengalaman yang membentuk ruang aman dan reflektif. “Menjadi bagian dari keluarga Jurnal Perempuan di tengah kekacauan struktur dunia terasa seperti oase yang bertumbuh,” ungkapnya. Ia juga menyinggung dinginnya ruang pendidikan akibat kapitalisme dan neoliberalisme, namun menemukan kehangatan dalam ruang kolaborasi yang ditawarkan. “Kami diberikan ruang untuk memaknai ulang arti pembelajaran sebagai sarjana dan intelektual.” Mengakhiri pesannya, ia berharap program ini terus berkembang sebagai ruang pedagogis yang berpijak pada filsafat dan feminisme. “Semoga Toeti Heraty Scholarship terus berjalan dan menggandeng pembelajar yang membutuhkan ruang diskusi kefilsafatan dan feminisme,” pesan Lintang, yang juga seorang pelakon seni teater itu. Jeane Prescilia Pakka, mahasiswi Magister Sosiologi Agama dari Universitas Kristen Satya Wacana, memberikan kesan dan pesan sebagai perwakilan dari THS 2025. Jeane menyampaikan rasa terima kasih mewakili seluruh penerima beasiswa angkatan keempat. Menurutnya, beasiswa ini bukan sekadar dukungan finansial, tetapi juga merupakan bentuk pengakuan dan dukungan moral bagi mahasiswa yang datang dari latar keilmuan dan jenjang studi yang beragam. “Program beasiswa ini tidak hanya mengapresiasi pencapaian akademik, tetapi juga merupakan bentuk dukungan terhadap semangat kami dalam memperjuangkan kesetaraan serta komitmen untuk menjadi agen perubahan baik dalam keluarga, masyarakat, gereja, maupun bangsa dan negara ini,” lanjutnya. Jeane juga menekankan pentingnya nilai-nilai yang diwariskan oleh Toeti Heraty, yang menurutnya menjadi sumber inspirasi dalam menjalani peran sebagai intelektual dan pejuang keadilan. “Melalui program ini, kami belajar bahwa menjadi penerima beasiswa berarti juga memikul tanggung jawab. Kami dipanggil untuk meneruskan semangat dan perjuangan Ibu Toeti Heraty,” ungkapnya. Diskusi “Pendidikan Tinggi sebagai Ruang Kritis Mewujudkan Emansipasi Sosial” menjadi salah satu sesi paling dinanti dalam rangkaian kegiatan malam itu. Musdah Mulia, akademisi feminis dan tokoh perempuan ulama, menjadi narasumber. Pendidikan tinggi harus menjadi ruang kritis untuk mewujudkan emansipasi sosial, buka Musdah. Mengutip Paulo Freire, ia menyatakan bahwa mengajar adalah tindakan politik. Pendidikan bukan semata-mata proses transfer ilmu, melainkan upaya membangun kesadaran baru yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Ia juga mengutip dari bell hooks: “Saya mengajar karena saya percaya dunia bisa diubah.” Lebih jauh, Musdah menegaskan bahwa feminisme tidak anti ilmu pengetahuan maupun agama. Sebaliknya, feminisme mengkritisi klaim objektivitas dan netralitas dalam ilmu yang kerap bias maskulin, kolonial, dan patriarkal, termasuk dalam ilmu-ilmu keagamaan. Dalam pandangannya, feminisme Islam justru berupaya menggali nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang substansial dari ajaran Islam, demi membangun masyarakat yang rahmatan lil alamin. Emansipasi, menurut perempuan ulama tersebut, adalah jalan damai untuk melawan naturalisasi ketidakadilan. “Emansipasi sosial bukan sekadar kesadaran, tetapi harus menghasilkan perubahan,” tegasnya. Secara epistemologis, istilah emansipasi berasal dari bahasa Latin emancipare, yang berarti membebaskan diri dari kuasa orang lain. Maka, ruang pendidikan harus menjadi tempat utama untuk membangun emansipasi sosial. Tanpa emansipasi, transformasi masyarakat hanya akan menjadi kosmetik belaka. Sebaliknya, tanpa transformasi, emansipasi hanya akan menjadi kesadaran yang stagnan. Menanggapi stigma terhadap feminisme, Musdah menyampaikan keprihatinan atas pandangan yang menganggap feminisme sebagai hal negatif. “Feminisme bukan tentang siapa yang lebih unggul. Ini adalah perjuangan bersama perempuan, laki-laki, queer, disabilitas, minoritas agama untuk hidup setara dan adil,” jelasnya. Ia menolak dikotomi palsu antara feminisme dan agama, dan mengajak seluruh pihak membangun jembatan antara iman dan keadilan, antara teks suci dan suara perempuan, antara spiritualitas dan pembebasan.
Dalam hal ini, feminisme dan gerakan spiritual disebutnya memiliki tujuan yang sama: membela martabat manusia, melawan kekerasan simbolik, serta mengembalikan agama kepada misi dasarnya, yaitu liberasi, humanisasi, dan transendensi. Feminisme juga memiliki kontribusi nyata di berbagai bidang. Dalam pendidikan, feminisme melahirkan pedagogik kritis dan ruang kelas emansipatoris. Di bidang ekonomi, feminisme mendorong ekonomi yang berbasis care atau kepedulian. Dalam hukum, feminisme mengadvokasi revisi terhadap hukum keluarga yang diskriminatif. Dalam politik, feminisme mendorong representasi. Sedangkan di bidang budaya, feminisme membongkar norma-norma yang bias terhadap gender dan seksualitas dominan. Menyoal pendidikan tinggi, Musdah menyayangkan masih banyaknya kampus yang belum menjadi ruang ramah bagi kelompok marginal. Ia mengkritik pendidikan tinggi yang lebih sibuk mengejar akreditasi, angka kredit dosen, dan IPK mahasiswa daripada membangun kesadaran kritis. “Kampus seharusnya menjadi ruang pembebasan. Tapi yang saya temui, justru tidak ramah terhadap mahasiswa miskin, perempuan korban kekerasan, minoritas agama, queer, dan disabilitas,” ujarnya prihatin. Di akhir paparannya, Musdah menyerukan pentingnya menjembatani peran akademisi dan aktivis. Sebab menjadi akademisi bukan berarti netral, apalagi apolitis. “Akademisi harus sekaligus menjadi aktivis. Karena pendidikan adalah tindakan politik. Diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk keberpihakan terhadap penindasan,” tegas Musdah. Sebagai penutup, Musdah menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus menjadi garda depan dalam melawan segala bentuk ketidakadilan. Perlawanan yang dimaksud bukan melalui kekerasan, tetapi melalui penciptaan ruang aman untuk tumbuhnya kesadaran kritis dan solidaritas kolektif. “Melawan ketidakadilan adalah inti dari pendidikan yang bermakna,” ujarnya. Menutup kegiatan, Andi menyampaikan terima kasih kepada narasumber dan seluruh peserta yang hadir. Diskusi ditutup dengan harapan agar forum-forum semacam ini terus berlanjut dan menjadi ruang bersama untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan emansipasi sosial. (Jeane Prescilia Pakka) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed