Praktik Tradisi Perbudakan di Sumba Timur: Upaya Mengungkap dan Memutus Rantai Eksploitasi Manusia2/12/2024
Pada Jumat (29/11/2024) telah dilaksanakan diskusi kritis bertajuk “Tinjauan Kritis Tentang Perbudakan di Sumba Timur” dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) yang berlangsung di Gedung IASTH Lantai 5, Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta Pusat. Acara ini diinisiasi oleh Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, Klaster Riset Perempuan, Generasi Muda, Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial SKSG UI, bekerja sama dengan Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi Indonesia (PERUATI) Sumba. Acara diskusi ini dihadiri oleh akademisi, aktivis, media, dan perwakilan lembaga pemerintah, termasuk para pembicara dalam diskusi ini, yakni Rainy Maryke Hutabarat (Komisioner Komnas Perempuan), Ai Maryati Solihah (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia–KPAI), Pdt. Herlina Ratu Kenya, MAPT. (Ketua PERUATI Sumba), dan Mia Siscawati, Ph.D. (Ketua Program Studi Kajian Gender SKSG UI). Diskusi ini bertujuan untuk menyuarakan pengalaman ketidakadilan yang terjadi di Sumba Timur, membedah tradisi sistem perbudakan tradisional di Sumba Timur yang masih terjadi, menyebarluaskan bahwa praktik perbudakan tradisional sebagai tindakan pelanggaran HAM, hak asasi perempuan, dan merupakan bagian dari isu besar ketidaksetaraan gender yang harus disadari oleh semua pihak agar mendapat perhatian untuk di atasi, serta mengeksplorasi rekomendasi untuk memutus siklus atau sistem perbudakan.
Direktur SKSG UI, Dr. Athor Subroto, dalam sambutannya menekankan bahwa situasi ini sangat mengkhawatirkan, karena praktik perbudakan masih terjadi di era modern saat ini. SKSG UI sangat mendukung upaya aktivisme ini melalui mahasiswa, baik dalam bentuk penelitian, kajian, maupun aktivitas lainnya. Athor berharap diskusi ini dapat menjadi langkah awal untuk membangun masyarakat yang lebih egaliter. Pdt. Herlina Ratu Kenya menjelaskan bahwa sistem perbudakan di Sumba Timur berakar pada praktik tradisi dalam struktur sosial masyarakat yang terbagi menjadi tiga golongan yakni kaum Maramba (kaum bangsawan), Kabihu (kaum merdeka), dan Ata (kaum hamba atau budak). Sistem ini diwariskan turun-temurun, perempuan dalam kaum hamba atau budak (Ata) menjadi korban utama dan paling rentan mengalami kekerasan berlapis. Perempuan Ata mengalami eksploitasi seksual, fisik, psikis, pembatasan akses pendidikan, kontrol penuh atas tubuh, seksualitas, dan reproduksi keturunan oleh tuannya (Maramba). Perempuan Ata tidak hanya mengalami eksploitasi dari Maramba saja, tetapi juga dari sesama hamba atau Ata, yakni hamba laki-laki. Menurut Pdt. Herlina, sistem ini adalah warisan sejarah peperangan antarkampung yang menyebabkan pihak kalah menjadi budak. Namun, hingga kini, budaya ini tetap hidup melalui legitimasi tradisi yang melanggengkan ketidakadilan melalui relasi kuasa antara kelompok bangsawan dan budak. Perempuan Ata pun tidak tinggal diam, mereka juga pernah melakukan perlawanan personal, “Ada perempuan Ata di Sumba Timur, meminum ramuan tradisional untuk mengeringkan rahimnya. Hal ini bertujuan agar ia tidak lagi melahirkan generasi penerus budak, ini adalah salah satu bentuk perlawanan perempuan,” jelas Pdt. Herlina. Dimensi Kekerasan Berlapis yang dialami perempuan Ata juga diuraikan oleh Rainy Maryke Hutabarat dari Komnas Perempuan, yakni terkait tantangan geografis dan budaya yang memperkuat siklus perbudakan. Anak-anak dari kasta Ata sering dijadikan komoditas yang diperjualbelikan. Mereka menjadi korban kekerasan seksual dan eksploitasi reproduksi, sebuah praktik yang melanggar HAM. Tubuh mereka dipandang sebagai alat produksi manusia untuk melanggengkan sistem perbudakan. Rainy juga menyoroti kebutuhan mendesak akan dokumentasi dan data yang akurat untuk mendorong langkah hukum dan kebijakan perlindungan. Rainy juga menjelaskan bahwa eksploitasi sebagai Ata berlangsung seumur hidup dan bergenerasi di bawah kendali penuh tuannya. Seorang Ata seumur hidup berada dalam penguasaan Maramba sebagai properti termasuk dengan anak-anaknya. Selain itu terdapat situasi perdagangan anak perempuan, yakni ketika kaum bangsawan menjual budak mereka atau Ata pa’kei (hamba yang di-belis) hal ini juga belum diakui oleh negara. Praktik ini sangat berbahaya dan merugikan perempuan karena berpotensi berlaku seumur hidup. Langgengnya praktik perbudakan disebabkan oleh beberapa faktor seperti, pemerintah yang tidak melakukan tindakan proaktif untuk menghapus perbudakan di Sumba Timur dan berlindung di balik tidak adanya pengaduan. Akses pelaporan ata atas pelanggaran HAM atau kekerasan berbasis gender hampir tidak ada karena hidup dalam penguasaan, ketidaktahuan, dan ketakutan. Struktur sosial feodal yang diwariskan sebagai budaya dinormalisasi karena melekat dalam adat Marapu, kontroversi ini disinyalir juga karena di dalam pejabat pemerintah sendiri juga terdapat kaum Maramba. Kondisi demikian membuat pemerintah tidak bertindak tegas dalam menghapus praktik perbudakan. Praktik perbudakan dalam kerangka konvensi menentang penyiksaan dan identifikasi hak-hak dasar telah melanggar hak bebas dari perlakuan diskriminasi (Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945), hak atas keadilan dan pemulihan (rekomendasi umum CEDAW Pasal 33), hak atas otonomi tubuh, hak atas pendidikan dan hak untuk mengembangkan diri (UUD Pasal 28C), hak atas kerja layak dan upah kayak (UUD RI Pasal 27 ayat (2)), hak sosial politik dalam hal ini berorganisasi dan berserikat (Pasal 28E ayat (3) UUD 1945), dan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak milknya (UU HAM Pasal 29) dan Pasal 30 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta pelindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Ai Maryati Solihah dari KPAI memaparkan eksploitasi anak khususnya dalam konteks sistem perbudakan yang melibatkan kerja paksa hingga eksploitasi seksual. Kondisi anak-anak dalam sistem perbudakan di Sumba Timur sangat memprihatinkan. Karena mereka tidak memiliki akta lahir, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan yang juga tidak didapatkan. Ketimpangan ini memperparah siklus eksploitasi dan merenggut peluang bagi anak-anak untuk keluar dari situasi perbudakan. Maryati menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menuntaskan eksploitasi pada perempuan dan anak serta menghapus tradisi perbudakan. Mia Siscawati menekankan pentingnya penelitian berbasis pendekatan interseksionalitas untuk memahami dimensi kompleks dari masalah ini. Penelitian yang melibatkan suara korban yang dinilai penting untuk mendorong perubahan sosial yang inklusif. Mia juga menerangkan mengenai perspektif antropologi feminis dan feminisme poskolonial untuk memahami dan memerangi perbudakan. Mia menekankan pentingnya menjadikan perempuan Ata sebagai subjek penelitian yang memiliki agensi, sekaligus penting untuk mengkritisi tradisi yang selama ini dianggap sah oleh masyarakat, serta perlunya metode penelitian yang sensitif, reflektif, dan interseksionalitas untuk memastikan pendekatan yang berperspektif perempuan, tidak menyinggung, dan merugikan subjek. Diskusi ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi strategis, di antaranya seperti mendorong edukasi berbasis HAM untuk semua lapisan masyarakat. Kemudian, dukungan suara dan advokasi kolektif dari aktivis, akademisi, lembaga agama (gereja), Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat Sipil, dan tentunya pemerintah sangat penting bagi para korban untuk memastikan perubahan sosial dan memutus sistem perbudakan yang membelenggu kaum Ata. Pemerintah pusat dan daerah harus segera melakukan dokumentasi dan pendataan komprehensif tentang situasi kondisi perbudakan di Sumba Timur. Pemerintah juga perlu menyediakan akses pelaporan dengan mekanisme perlindungan yang diinformasikan secara luas kepada warga. Selain itu penting membuat kebijakan afirmasi untuk memastikan akses pendidikan dan kemandirian ekonomi bagi warga yang rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan terkait posisi sosialnya sebagai hamba. DPR RI juga perlu untuk mengintegrasikan larangan praktik tradisional yang diskriminatif dan berpotensi berbahaya terhadap perempuan masuk dalam RUU Masyarakat Hukum Adat. Acara ini diakhiri dengan seruan untuk melanjutkan dan mendorong penelitian dan advokasi, serta mendesak pemerintah agar mengambil langkah konkret dalam menghapus sistem perbudakan di Sumba Timur secara permanen. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |