![]() Dalam beberapa pekan terakhir, perbincangan publik dan diskursus politik nasional diwarnai oleh isu "matahari kembar". Polemik ini mencuat ke permukaan politik nasional setelah dinamika yang terjadi pasca pemilu 2024, di mana Prabowo Subianto dan Joko Widodo sama-sama menunjukkan pengaruh yang besar dalam peta kekuasaan Indonesia. Istilah “matahari kembar” merujuk pada potensi konflik kepemimpinan atau pengaruh ganda dalam satu pemerintahan dan kini menjadi topik hangat di tengah kekhawatiran akan tumpang tindih patronase politik di era transisi kekuasaan. Menanggapi situasi politik nasional yang kian memanas ini, Program ROSI Kompas TV pada Kamis (24/4/2025) mengundang Pakar Etika Politik, Dr. Haryatmoko, SJ atau biasa disapa Romo Moko dengan tajuk acara “Politik Matahari Kembar: Kenyataan atau Karangan?”. Jokowi, meski masa jabatannya resmi berakhir Oktober 2024, masih sangat aktif membentuk narasi politik nasional. Perannya dalam mengarahkan dukungan terhadap Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka—putranya sendiri sebagai cawapres—dilihat sebagai bentuk perpanjangan pengaruh politik meski secara konstitusional tak lagi menjabat. Di berbagai kesempatan, Jokowi menunjukkan dukungan terbuka terhadap Prabowo, bahkan hadir dalam sejumlah agenda pemenangan. Namun, muncul sinyal bahwa Jokowi tidak sepenuhnya akan menarik diri dari panggung politik pasca lengser. Hal ini terlihat dari berbagai manuver politik, termasuk pertemuan intensif dengan elite partai politik, komunikasi strategis dengan kepala daerah, dan munculnya gagasan pembentukan “Koalisi Besar” yang disebut-sebut tetap melibatkan tokoh-tokoh loyalis Jokowi. Kondisi inilah yang memunculkan narasi tentang "matahari kembar". Situasi ini memunculkan kekhawatiran terkait dilema loyalitas di Kabinet Merah Putih. Banyak pihak mempertanyakan sejauh mana Jokowi akan tetap berperan dalam pemerintahan baru, dan apakah hal itu akan mengganggu konsolidasi kekuasaan Prabowo sebagai kepala negara yang sah. Pada pembukaan diskusi Romo Moko, yang juga merupakan Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP dan Anggota AIPI Komisi Kebudayaan, langsung mengungkapkan bahwa polemik politik “matahari kembar” adalah akibat langsung dari transisi kekuasaan yang tidak jelas dan tegas. Transisi kekuasaan yang tidak tegas dan jelas seperti yang terjadi dalam konteks hubungan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto menimbulkan sejumlah implikasi serius terhadap stabilitas pemerintahan, salah satunya adalah dilema loyalitas dalam tubuh birokrasi. Secara normatif, transisi kekuasaan di negara demokratis seperti Indonesia diatur dalam konstitusi dan mestinya berjalan secara sistematis dan jelas: pemimpin lama menyerahkan tanggung jawab kepada pemimpin baru, dan kekuasaan bergeser secara penuh pada tanggal pelantikan. Namun dalam praktiknya, apalagi ketika pemimpin sebelumnya masih memiliki pengaruh politik yang besar dan menempatkan loyalis di berbagai posisi strategis, maka dapat menimbulkan polemik dan dinamika politik yang semakin panas. “Di negara demokratis itu transisi kekuasaan itu harus jelas. Jangan sampai ditafsirkan yang namanya dilema loyalitas birokrasi. Mengapa? Karena Pak Jokowi adalah mantan presiden, tetapi masih seperti menjadi patron dari bebera menteri, beberapa pejabat. Jadi masalah patronase politik dan yang kedua seharusnya Pak Jokowi langsung mengatakan bahwa saya tidak cawe-cawe,” jelas Romo Moko. Isu mengenai keberadaan dua pusat kekuasaan atau "matahari kembar" mencuat ke publik setelah sejumlah menteri dari Kabinet Merah Putih yang dipimpin oleh Prabowo melakukan kunjungan halal bihalal ke rumah Jokowi di Surakarta. Kunjungan itu menjadi sorotan lantaran beberapa dari mereka secara terbuka menyebut Jokowi sebagai "bos" mereka, meskipun pemerintahan baru telah terbentuk di bawah kepemimpinan Prabowo. Mengenai hal ini, Romo Moko mengungkapkan bahwa kunjungan silahturahmi Idulfitri yang dilakukan oleh sejumlah menteri Kabinet Merah Putih tidak tepat untuk dilakukan. Meskipun para menteri juga bersilaturahmi ke kediaman mantan presiden lainnya seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri, kunjungan ke Jokowi tetap memicu dinamika politik tersendiri. Hal ini terjadi karena proses transisi kekuasaan dari pemerintahan Jokowi ke Prabowo dinilai belum berjalan secara tegas dan jelas. Selain itu, hingga kini Prabowo belum sepenuhnya menampilkan ciri khas kepemimpinannya di hadapan publik, sehingga kerap masih diasosiasikan dengan sosok Jokowi. “Masalahnya ‘kan dikatakan kalau Pak Prabowo akan melanjutkan politiknya Pak Jokowi. Sejauh mana kekhasan dari Pak Prabowo itu juga ditampilkan dan juga mengenai misalnya kunjungan-kunjungan itu. Mengapa secepat itu? Kalau saya melihatnya apa? Waktunya tidak tepat. Waktunya dan konteksnya tidak tepat,” jelas Romo Moko. Akademisi itu juga menambahkan, “Sebetulnya ‘kan masyarakat juga ingin mendapatkan suatu kejelasan atau supaya masa transisi ini ada transparansi juga, bahwa yang memang berkuasa saat ini adalah Prabowo. Yang orang jadi salah tangkap itu kunjungannya soal waktu. Kunjungan menteri yang tidak tepat atau memang ada ucapan yang kemudian, wah ini cari gara-gara nih.” Pakar Etika Politik tersebut mengungkapkan bahwa kunjungan para menteri yang sebelumnya merupakan bawahan Jokowi menunjukkan adanya praktik politik patronase. Dalam hal ini, hubungan kekuasaan tidak sepenuhnya ditentukan oleh struktur formal, melainkan juga oleh kedekatan personal dan loyalitas terhadap figur tertentu. Fenomena ini mencerminkan bagaimana pengaruh seorang pemimpin bisa tetap dominan meski telah secara resmi meninggalkan jabatannya. Dinamika politik nasional yang tengah berlangsung sebenarnya dapat diredakan apabila semua pihak memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etika. Romo Moko menjelaskan, etika merupakan refleksi filosofis yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan, perilaku, dan keputusan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti maksud, sarana, tujuan, konteks, dampak, pilihan kata, serta kesadaran dari pelakunya. Etika berperan penting dalam menumbuhkan kesadaran tanggung jawab, dengan menekankan pada aspek pencegahan, pembinaan, pendidikan, dan internalisasi nilai-nilai moral. Berbeda dengan hukum yang lebih berfokus pada pengaturan tanggung jawab melalui ancaman sanksi, tujuan utama hukum adalah menjaga ketertiban dalam masyarakat agar tercipta rasa aman, keadilan, dan kesejahteraan. Hukum menitikberatkan pada penindakan tegas melalui penerapan aturan dan pemberian hukuman terhadap pelanggaran.
“Etika itu tidak subjektif, tetapi intersubjektif. Artinya, subjek-subjek yang mempuyai kesadaran moral tertentu akan peka bahwa ini etika atau bukan. Banyak orang pintar tidak tahu etika. ‘Tahu’ tidak sama dengan ‘bisa melakukan’. Antara tahu dan bisa melakukan itu ada jembatan yang namanya modalitas. Etika politik, etika publik, itu yang penting justru modalitasnya yang menjembatani antara tahu dan bisa melakukan,” jelas Romo Moko. Menutup diskusi, akademisi tersebut menegaskan bahwa polemik “matahari kembar” sebenarnya bisa diredam apabila para aktor politik, termasuk publik, memahami dan menghayati makna etika dalam kehidupan bernegara. Menurutnya, etika tidak hanya soal benar atau salah secara moral, tetapi menyangkut kesadaran atas tanggung jawab, kepatutan, serta kepekaan terhadap konteks transisi kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, etika menjadi landasan penting untuk menghindari ambiguitas politik yang bisa melemahkan wibawa pemimpin baru. Ia juga menyoroti pentingnya kesadaran akan politik simbolik dalam menjaga tatanan kekuasaan. Kunjungan para menteri ke Jokowi dan penyebutan dirinya sebagai bos bukan hanya peristiwa biasa, tetapi merupakan simbol yang menyampaikan pesan politik tertentu yaitu bahwa kekuasaan belum sepenuhnya bergeser. Simbol-simbol seperti ini dapat mengaburkan batas otoritas, dan jika dibiarkan, akan mengganggu konsolidasi pemerintahan Prabowo. (Elisabet Ardiningsih Wiko) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |