Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Warta Feminis

Polemik Inkorporasi Hukum Adat pada Living Law dalam KUHP Baru

1/8/2024

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Pada Senin (29/7/2024) hingga Selasa (30/7/2024), telah diadakan Simposium Nasional bertemakan “Hukum yang Hidup di Masyarakat" Pasca KUHP Baru yang diinisiasi oleh Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN), Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Dari lima perhelatan diskusi, yang menjadi pembuka dan satu-satunya diskusi pleno dalam simposium kali ini mengusung topik “Peluang dan Risiko Inkorporasi ‘Hukum Hidup’ (Hukum Adat) ke dalam Hukum Negara”.

     Narasumber dalam diskusi pleno ini hadir dari berbagai ahli hukum, di antaranya Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. selaku Guru Besar Hukum Pidana UI, Linda Dewi Rahayu, S.H., M.H. selaku peneliti hukum adat, Muhammad Arman selaku Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Tody Sasmitha Jiwa Utama, S.H., LL.M. dari Then Van Vollenhoven Institute, Muhammad Waliyadin selaku Koordinator Bidang Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkumham RI), yang dimoderatori oleh Gina Sabrina selaku Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI).
 
     Pada pembukaan simposium, Albert Wiriya selaku Direktur LBHM, mengungkapkan tujuan simposium kali ini adalah untuk mendiskusikan rancangan pemerintah dalam menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Selain itu juga untuk mengeksplorasi dan mendiskusikan interpretasi alternatif atas ketentuan living law atau hukum yang hidup di masyarakat dalam KUHP baru melalui perspektif pluralisme hukum. Diharapkan mampu mengeksplorasi alternatif atas tindak lanjut regulasi pidana hukum yang berlaku, serta berdiskusi terkait perspektif dan pengalaman mengenai implementasi dan keberlanjutan living law.
 
     Pengesahan Undang-Undang (UU) Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi momentum penggantian Wetboek van Strafrecht sebagai KUHP yang ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1946. KUHP baru akan berlaku tiga tahun kemudian dihitung sejak tanggal perundangan pada 2 Januari 2023. Pada KUHP baru terdapat perkembangan legalitas yang mengatur ketentuan hukum yang hidup di masyarakat atau living law, yang tegas diatur dalam Pasal 2 UU 1/2023. Hukum yang hidup di masyarakat ini dijelaskan sebagai hukum adat yang kemudian diinkorporasikan dengan hukum nasional sebagai upaya pemerintah dalam merekognisi hukum adat yang plural di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat (3) di KUHP baru mengatur ketentuan tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui Peraturan Pemerintah, lebih khususnya pada Peraturan Daerah (Perda). Menurut Topo Santoso selaku salah satu anggota tim perumus KUHP baru, perkembangan legalitas living law dalam KUHP baru yang diatur kemudian dalam Perda ini dianggap memiliki urgensi terhadap rekognisi hukum pidana adat, melalui pembukuan atau unifikasi hukum adat pidana dalam kesatuan hukum pidana nasional.
 
     Terdapat inkonsistensi antara mandat KUHP yang menyatakan pengaturan tata cara dan kriteria penetapan living law, dengan RPP yang mengatur hukum adat dengan mengkodifiksikannya pada Perda. Tody Sasmitha Jiwa Utama sebagai akademisi hukum adat menyatakan, tujuan diaturnya living law secara teleologis adalah untuk menjaga kepastian hukum dan menjaga pengakuan hukum adat agar tidak ada sikap arbitrer dalam hukum berbasis hukum adat. Demikian juga tindak lanjut living law pada KUHP baru mesti dimaknai secara teleologis, yakni pada tujuan utama diaturnya living law dan bukan dimaknai semata pada gramatikal pasal 2 dalam KUHP baru. Tody Sasmitha mengusulkan adanya alternatif dalam mengatur living law pada tataran pengelolaan sistem hukum yang plural, yang dioperasionalisasi dalam sistem aparat penegak hukum agar memiliki pedoman dalam menggali dan menggunakan living law.
 
     Proses inkorporasi hukum adat dalam Perda mengandung potensi obesitas regulasi, waktu, dan pembiayaan, sebab pembuatan satu perda saja dapat memakan minimal 1,5 tahun dan biaya minimal 500 juta sampai 1 milyar. Catatan dari AMAN pada Juni 2024, ada sebanyak 2568 komunitas masyarakat adat yang tersebar di Indonesia. Mandat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Pasal 52 tahun 2014 tentang pedoman, pengakuan, dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat, hanya dijalankan oleh tiga belas Pemda dari seluruh daerah di Indonesia. Bahkan, tercatat hanya ada 320 produk hukum daerah masyarakat adat dari ribuan masyarakat adat yang tersebar. “Produk hukum tersebut juga hasil jerih payah sendiri komunitas masyarakat adat dan bukan inisiatif kerja pemerintah daerah,” ungkap Muhammad Arman selaku perwakilan AMAN.
 
     Pada saat KUHP baru dalam masa perancangan, audiensi antara pihak tim perumus dan perwakilan komunitas masyarakat adat didampingi organisasi AMAN, terjadi ketidaksepakatan atas pasal 2 yang mengatur hukum adat. Hakim adat pada audiensi menyatakan, tidak akan bisa hakim negara memahami proses ritual adat sebagai bagian membuka persidangan adat yang melibatkan mantra dan leluhur. Masyarakat adat hanya ingin negara menghormati hukum adat yang berlaku, tidak perlu mengambil alih hukum adat sebagai hukum negara yang merampas kedinamisan hukum adat sebagai hukum yang hidup turun temurun. Audiensi saat itu menghasilkan kesimpulan untuk mencabut pasal 2 yang mengatur living law di dalam KUHP, tetapi hasilnya nihil hingga KUHP disahkan dan RPP sudah kadung dibuat.
 
     Tujuan pembuatan KUHP baru pada dekolonisasi, demokratisasi, harmonisasi, konsolidasi, dan organisasi pun patut dipertanyakan dan digugat. Kodifikasi hukum adat dalam hukum negara tidak pernah melibatkan suara masyarakat sipil, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya. Pemaksaan keberadaan living law dan peraturan turunannya pada perda seakan hanyalah projek konsolidasi antara kepentingan elit penguasa dan elit bisnis. Masyarakat adat dipaksa menelan ‘kadung’ RPP yang bahkan tidak melibatkan subjek hukum adat itu sendiri, dan kepentingan terjadi di antara penguasa saja.
 
     Formalisasi hukum yang hidup dalam masyarakat bahkan secara besar akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan pada implementasinya, terlebih bagi kelompok marginal—masyarakat adat, perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, kelompok penghayat, kelompok keragaman seksual dan identitas gender (KSIG), orang dengan HIV (ODHIV) dan populasi kunci, serta kelompok rentan lainnya. Risiko kriminalisasi dan diskriminasi begitu besar, apalagi menguatnya hegemoni elit politik dan bisnis sehingga regulatoristik ini hanya untuk projek yang tidak berkeadilan.
 
     Dalam pemaparan akhir, Linda Dewi Rahayu menyatakan, pendekatan hukum pidana elit politik dan bisnis ini dapat mengekspansi ekstraksi sumber agraria di wilayah yang dikuasai masyarakat adat petani, nelayan, juga mendiskriminasi dan mengintimidasi perempuan, penyandang disabilitas, kelompok penghayat, KSIG, ODHIV dan populasi kunci, dan kelompok marginal dan rentan lainnya.
 
     Perlu pengawalan dalam proses perancangan PP ini agar dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat sipil, dan menghasilkan hukum yang berkeadilan. Inkorporasi hukum adat dalam KUHP terjebak dalam pandangan pikir hukum yang kaku dan terbatas, yang justru akan mematikan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Perspektif mesti dibangun bersama agar tidak pincang dalam menegakkan keadilan seperti tujuan hukum itu sendiri. Perlu ada kerangka kerja yang mengelola pluralisme hukum antara hukum negara dan hukum adat dengan sebaik-baiknya sistem hukum dan pengelolaan aparat penegak hukum. Demikian, KUHP baru, RPP, Perda, bukan menjadi alat penguasa untuk melakukan kolonial itu sendiri pada masyarakat sipil dan masyarakat rentan. (Panca Lintang Dyah Paramitha)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024