Perkawinan Anak Beda Usia: Bahaya Perkawinan Anak, Tinjauan pada PERMA, UU, dan Regulasi Terkait22/7/2024
Isu perkawinan anak seakan teredam oleh berbagai persoalan politik nasional pasca-Pemilu. Padahal sampai hari ini peristiwa perkawinan anak masih lazim terjadi dan dibenarkan oleh sebagian masyarakat, yang menandakan bentuk kekerasan ini belum sepenuhnya berhasil diintervensi. Bulan Juli sebagai peringatan Hari Anak Nasional sudah seharusnya menjadi titik berangkat kembali dalam pengawalan isu perkawinan anak agar tidak padam diperjuangkan. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) didukung oleh Kedutaan Besar Jerman di Jakarta membuka diskusi publik bertajuk “Bahaya Perkawinan Anak Beda Usia dan Perkawinan Anak Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022” pada platform Zoom, pada Rabu (17/7/2024) lalu. Diskusi publik ini lengkap menghadirkan suara berbagai pihak; Sutipah yang merupakan penyintas dari perkawinan anak dan saat ini menjadi sekretaris cabang Jember Koalisi Perempuan Indonesia, Nanda Dwinta dari Yayasan Kesehatan Perempuan Indonesia, Aisyah Assyifa dari Indonesia Judicial Research Society (IJRS) memberikan penjelasan payung hukum terkait, serta pihak kementerian sebagai pemangku kebijakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) diwakili Surya Nilasari.
Usia perkawinan perempuan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1954 dengan batas usia 16 tahun berhasil dinaikkan menjadi batas usia 19 tahun pada regulasi perubahan UU No.16 Tahun 2019. Judicial Review untuk menaikkan batas usia diajukan dengan dasar ketidaksinkronan definisi anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 yang menyatakan anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, dan batas umur perkawinan 16 tahun pada perempuan di dalam UU Perkawinan. Keberhasilan pembaharuan regulasi perkawinan di Indonesia belum merata dan berlanjut; saat ini kita masih berada dalam peringkat kedua negara dengan perkawinan anak tertinggi di Asia Tenggara. Mike Verawati selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPI dalam sambutannya menyatakan, perkawinan anak sebagai kekerasan berbasis gender dan seksual perlu komitmen pembangunan berkelanjutan yang bersinergi dari segala pihak: nasional, parlemen, dan daerah. Pengalaman personal penyintas perkawinan anak semestinya didengar sebagai gaungan perjuangan hak kesehatan reproduksi dan seksual bagi anak dan perempuan. Pengalaman personal Sutipah sebagai penyintas perkawinan anak begitu menyakitkan dalam sesi diskusi publik kali ini. Perkawinannya yang menginjak 34 tahun adalah perkawinan yang terjadi karena keterbatasan ekonomi dalam kehidupannya yang sebatang kara. Usia Sutipah adalah 16 tahun ketika ia dilamar suaminya yang berumur 35 tahun, segala kemapanan suaminya saat itu menyelamatkan Sutipah yang sudah tidak memiliki apapun dan siapapun. Namun, rasa kacau dan bingung Sutipah ketika berumah tangga adalah hasil dari ketidaksiapan umur, ketidakmatangan mental dan wawasan seorang anak perempuan yang dipaksa mengerti untuk menjadi istri dan ibu; yang tak pernah diajarkan kepadanya. Kandungan pertamanya setelah menikah selama dua bulan mengalami keguguran karena tubuh Sutipah yang masih pubertas itu belum sanggup mengandung janin. Pada usianya yang sekarang inilah, saat ia bertemu dengan KPI, baru ia memiliki pengetahuan akan pengasuhan anak. Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan yang kompleks pun juga komplit, sebab menyentuh berbagai aspek kehidupan anak perempuan yang mempertaruhkan nyawa serta kesejahteraan mental dan sosial. Nanda Dwinta Sari, Direktur YKPI, menjelaskan perkawinan anak menyumbang Angka Kematian Ibu (AKI) yang paling signifikan karena termasuk di dalamnya kehamilan yang tidak diinginkan dan berujung pada aborsi tidak aman. Kehamilan pada usia anak disebabkan oleh ketidaktahuan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif; juga karena kekerasan seksual dan perkosaan, kontrasepsi yang terbatas dan dibatasi, gagal kontrasepsi, dan situasi lainnya. Nanda Dwinta melanjutkan penjelasan tentang pencegahan dan cara mengatasi kehamilan usia anak. Di antaranya dengan penguatan hukum dan peraturan untuk melindungi anak perempuan dari pernikahan dini, pemantauan penurunan jumlah berkas dispensasi perkawinan di data Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, pemberian layanan edukasi dan konseling tentang hak reproduksi seksual, belajar dampak dan risiko mencakup otonomi tubuh, mencakup juga tentang kontrasepsi sebagai hak kesehatan reproduksi dan seksual untuk perempuan. Penurunan jumlah berkas dispensasi perkawinan anak di daerah setempat tidak terpantau dan alhasil menjadi tantangan tersendiri dalam pencegahan perkawinan anak. Aisyah Assyifa sebagai peneliti di IJRS mengungkapkan adanya subjektivitas hakim dalam menafsir UU No. 16 Tahun 2019 dalam Pasal 7 (2), “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”. Tidak terdapat kejelasan dalam keadaan mendesak yang dimaksud, sehingga hakim akan menjadi subjektif dalam menafsir keadaan mendesak yang seperti apa. Pada akhirnya ini menyebabkan permohonan dispensasi perkawinan yang dikabulkan adalah bukan karena perempuan hamil saja, ada dengan anak saling mencintai, risiko melanggar agama, anak sudah berhubungan seksual, anak berisiko melanggar nilai sosial, dan berisiko berada dalam hubungan seksual. Alasan mendesak yang digunakan dalam pengajuan dispensasi ini terlihat begitu subjektif yang dihasilkan hanya dari momok atas seksualitas, bahkan tidak terdapat urgensi pada pengabulan dispensasi. Begitu juga dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 5 Tahun 2019 Pasal 15 butir (d), bahwa dalam memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi kawin, hakim dapat meminta rekomendasi psikolog, dokter/bidan, pekerja sosial profesional, dan tenaga kesejahteraan sosial, P2TP2A, KPAI/KPAD. Terma “dapat” di dalamnya mengindikasikan ketidakwajiban hakim dalam meminta rekomendasi ahli yang dapat membaca perliaku anak; apakah anak mampu untuk menjalankan perkawinan. Hakim tidak memiliki keahlian khusus dalam menilai perilaku anak sehingga wajib bagi proses dispensasi untuk meminta rekomendasi ahli. Selain itu, ternyata di dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Pasal 10 tentang pemaksaan perkawinan pada ayat (2) termasuk pemaksaan perkawinan adalah perkawinan anak. Titik singgung ini yang kemudian patut dipertanyakan, bahwa segala bentuk perkawinan anak sekalipun tanpa pemaksaan sudah termasuk tindak pidana kekerasan seksual. Akan tetapi, tidak adanya kejelasan perkawinan anak yang menjadi tindak pidana dalam UU TPKS bisa mengkriminalisasi anak. Belum terdapat aturan turunan hingga saat ini bagi UU TPKS, dan belum jelas perubahan dalam PERMA yang dimaksud. Regulasi perkawinan anak yang tumpang tindih kejelasannya saling berkelindan dengan kasus perkawinan anak yang masih terus terjadi hingga hari ini. Pihak pemerintah, khususnya Kemendikbud, sampai hari ini juga masih belum memiliki kurikulum khusus yang berasal dari pusat untuk menangani pendidikan seksual dan reproduksi yang khusus untuk diedukasikan pada anak. Seakan-akan dibebaskannya sekolah untuk membuat kurikulum lokal adalah sebuah bentuk ‘cuci tangan’ bagi Kemendikbud dalam mengatur pencegahan perkawinan anak dan kehamilan pada anak. Edukasi tentang reproduksi dan seksual adalah langkah pertama anak bisa mengetahui otonomi tubuhnya sendiri dan antisipasi bahayanya perkawinan dan hubungan seksual di usia anak. Pencegahan kekerasan seksual oleh Kemendikbud sebatas melaporkan kejadian kekerasan yang terjadi di sekolah, dan tidak menangani faktor yang melatarbelakanginya. Diskusi publik ini saling berkomunikasi dari berbagai pihak sehingga diharapkan menjadi pantikan dalam memperbaiki mitigasi perkawinan anak dan pencegahan yang dilakukan. Dalam tingkatan keluarga, sebaiknya orang tua sudah selesai dengan segala momok akan seksualitas agar bisa mengedukasikan informasi reproduksi dan seksual sejak dini tanpa menurunkan momok dan peyoratif atasnya. Regulasi terkait perkawinan anak dan kekerasan seksual juga masih kurang sosialisasi pada tingkat turba atau akar rumput, sehingga banyak masyarakat belum sepenuhnya mengerti definisi, pencegahan, dan mitigasi seksualitas pada anak. Sinergi berbagai pihak adalah hal terpenting dalam menghilangkan praktik perkawinan anak di Indonesia. Sudah semestinya anak mengerti otonomi atas tubuhnya, mendapatkan hak kesehatan fisik, mental, dan sosial yang ditunjang berbagai pihak. (Panca Lintang Dyah Paramitha) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |