Perjuangan Perempuan Akar Rumput Memperoleh Keadilan yang Nyata dalam Pendidikan Publik 11924/10/2025
Dok. Jurnal Perempuan Pendidikan Publik 119 yang dilakukan oleh Jurnal Perempuan (21/10/2025) merupakan sebuah diseminasi yang diselenggarakan setelah terbitnya Jurnal Perempuan 119: Kepemimpinan Perempuan Akar Rumput: Suara, Solidaritas, dan Keadilan dalam Pembangunan yang didukung oleh Institut KAPAL Perempuan. Asterlita Tirsa Raha selaku moderator menjelaskan bahwa, tema pada edisi kali ini berangkat dari pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidup sehari-hari perempuan. Pemateri pada acara ini adalah Tracy Pasaribu dari KEMITRAAN, Budhis Utami dan Ulfa Kasim dari Institut KAPAL Perempuan, Dina Lumbantobing dari PESADA, dan Ninik Heca dari SIGAB Indonesia. Sebelum sesi pemaparan materi dimulai, Abby Gina Boang Manalu selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dan Misiyah selaku Ketua Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan memberikan sambutan. Abby menyatakan bahwa, tema pada Jurnal Perempuan edisi 119 bermula dari pertanyaan refleksi soal keadilan, khususnya keadilan demokrasi. Keadilan demokrasi hanya dilihat dari partisipasi perempuan, padahal politik bukan hanya elektoral saja, tetapi juga berasal dari ruang-ruang di komunitas. Abby menegaskan, partisipasi dan kepemimpinan perempuan di akar rumput merupakan hal yang sangat penting dalam demokrasi yang berkeadilan, serta pembangunan yang sejati selalu dimulai dari solidaritas dan keberanian untuk melakukan perubahan. Misiyah dalam sambutannya menyatakan bahwa, acara ini bukan hanya mendiskusikan hasil riset, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan bagaimana perempuan dan kelompok marginal yang sering dianggap bukan siapa-siapa, justru menjadi aktor penting dalam pembangunan sosial di akar rumput. Menurut Misiyah, kepemimpinan perempuan bukan suatu wacana yang abstrak, tetapi hadir dalam kerja-kerja sosial yang melibatkan masyarakat, menumbuhkan solidaritas antar kelas dan identitas, serta membangun keadilan sosial dari bawah. Sebagai pemateri pertama, Ulfa Kasim membawakan materi yang berjudul “Partisipasi Perempuan dari Pinggiran ke Pusat: Studi Kasus Sekolah Perempuan dalam Meningkatkan Peran Perempuan Merumuskan Kebijakan Publik yang Berkeadilan”. Ia menceritakan pengalaman Institut KAPAL Perempuan membangun kepemimpinan dan memberdayakan perempuan di akar rumput. Hal ini didasari oleh tantangan sistemik berupa suara perempuan yang masih diabaikan, karena selama ini suaranya dianggap dapat diwakili oleh laki-laki. Sekolah Perempuan melakukan pendidikan dasar dan pendidikan tematik untuk mendorong perempuan di akar rumput agar mampu memengaruhi pengambilan keputusan dalam kebijakan. Tantangan yang dihadapi Sekolah Perempuan antara lain, proses panjang dan tidak instan yang dijalani dapat menimbulkan kejenuhan, masih kuatnya cara pandang yang melihat ruang publik sebagai milik laki-laki, pelibatan perempuan yang masih dibidang procedural dan teknis, sistem pendekatannya yang masih belum mampu diterjemahkan dengan baik, ketersediaan data, kapasitas pemerintah, dan kewenangan lintas sektor. Pada sesi diskusi, Ulfa menyatakan bahwa, KAPAL Perempuan berstrategi untuk juga menyasar pemerintah selain perempuan akar rumput. KAPAL Perempuan mendampingi pemerintah dengan menggunakan pendekatan teknokrasi dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes) agar mengarusutamakan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI) dalam dokumen-dokumen. Selain itu, Ulfa juga menegaskan bahwa, jika dilihat dari kacamata feminis, pengalaman perempuan merupakan pengetahuan dan data, sehingga harus diakomodasi dan dimasukkan dalam perencanaan pembangunan. Selanjutnya, Dina Lumbantobing membawakan materi yang berjudul “Credit Union (CU) – Strategi PESADA untuk Penguatan Ekonomi Politik Perempuan Akar Rumput yang Otonom di Sumut & Pulau Sumatera”. Ia memulai materi ini dengan berkata, “Bila kita ingin memiliki kekuatan politik, maka kekuatan ekonomi harus dibangun dulu.” Tulisan ini dilatarbelakangi dengan perempuan di masyarakat adat yang mengalami kemiskinan dan penindasan berlapis lainnya. Mereka juga mengalami pemiskinan di sistem sosial, politik, rumah tangga, perdesaan, dan sebagai warga negara. Menurut Dina, CU sangat cocok untuk menjadi sebuah gerakan, karena merupakan perkumpulan dari perempuan yang terdiskriminasi dan termarginalkan. Hal-hal utama dari CU adalah pendidikan, penyadaran, dan aksi-aksi kolektif. Para perempuan ini dididik agar bisa mengelola CU secara mandiri, sehingga muncul rasa saling percaya di antara mereka. Saat ini CU telah meluas di 8 provinsi di Pulau Sumatra dan diharapkan dapat dapat menguat. Pada sesi diskusi, Dina menambahkan beberapa poin. Masyarakat adat masih kerap menomorduakan perempuan, terutama dalam hal hak atas tanah. CU menekankan para perempuan ini meminjam uang untuk membeli aset, dan jika mampu, belilah tanah beserta sertifikatnya. Selain itu, Dina menolak dispensasi kawin. Mirisnya, orangtua dapat menjadi pihak pertama yang mendukung praktik dispensasi kawin pada anaknya. Akan terjadi kendala yang lebih besar jika terjadi kehamilan di luar nikah pada perempuan. Mereka yang mencari layanan aborsi aman malah dianggap sebagai pembunuh. Perorganisasian perempuan harus berdiri diatas kekuatan perempuan sendiri, sehingga memiliki otonomi dan kemandirian untuk mengambil keputusan dengan kesadaran, tegas Dina. Budhis Utami membawakan materi yang berjudul “Munas Perempuan: Suara Akar Rumput untuk RPJPN 2025 – 2045 dan RPJMN 2025 – 2029”. Munas Perempuan berangkat dari permasalahan partisipasi perempuan yang masih terabaikan karena ideologi ibuisme dan proses domestikasi perempuan yang tetap mewarnai politik gender di negara ini terutama dalam rencana pembangunan. Musyawarah kelompok perempuan dan kelompok marginal merupakan alternatif agar suara mereka tidak hilang di setiap tingkatan perencanaan pembangunan. Musyawarah ini terselenggara secara kolaboratif yang diikuti oleh 4.000 peserta dari 35 provinsi di Indonesia, termasuk peserta yang berasal dari wilayah terpencil. Setiap tahapan munas dimaknai sebagai proses pergeseran pengetahuan dari data statistik ke pengalaman, kerja interseksional yang menyuarakan suara perempuan yang biasanya hilang di forum formal, suara komunitas yang dijadikan sebagai dokumen negara, tuntutan pengakuan hak perempuan sebagai warga negara, jembatan pengalaman perempuan ke logika indikator pembangunan, dan rencana aksi tindak lanjut. Sesi selanjutnya adalah paparan materi yang berjudul “Upaya Perempuan Cina Benteng Keluar dari Jerat Kemiskinan dan Peminggiran: Studi Kasus di Desa Belimbing, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten” oleh Tracy Pasaribu. Cina Benteng (Ciben) merupakan Etnis Tionghoa di Indonesia yang berkulit sawo matang dengan gaya hidup yang sederhana. Stigma yang melekat pada diri mereka, yaitu miskin dan udik. Mereka juga sangat minim terhadap akses administrasi kependudukan yang ditunjukkan dengan banyak sekali di antara mereka yang tidak memiliki KTP. Ketertindasan yang dialami perempuan Ciben lebih kompleks dibandingkan dengan laki-laki Ciben. Perempuan Ciben tidak bergaul dengan warga desa lain dan hanya identik dengan urusan dapur dan kasur. Selain itu, mereka juga ditelantarkan secara ekonomi oleh suami, sehingga menyebabkan mereka berhutang pada bank keliling. Penelitian ini menemukan, selain perempuan Ciben memanfaatkan koperasi sebagai tempat menabung, koperasi juga menjadi wadah yang mempertemukan mereka untuk bertukar cerita dan jual beli dagangan di antara mereka. Mereka yang sebelumnya meminjam uang di koperasi untuk ritual keagamaan, menjadi meminjam uang untuk modal usaha. Hal ini menunjukkan kepercayaan diri mereka telah meningkat. Relasi mereka dengan suami juga berubah. Dengan adanya pelatihan menyampaikan pendapat, mereka dapat menyuarakan pembagian peran suami dan istri. Koperasi ini pada akhirnya membentuk sense of collective agency dan sisterhood pada diri mereka. Pada sesi diskusi, Tracy menambahkan beberapa poin. Tantangan utama dalam program koperasi ini adalah konsep koperasi itu sendiri yang belum benar-benar dipahami. Selain itu, banyak diantara warga desa yang mudah sekali untuk meminjam uang di rentenir dengan bunga yang tinggi. Cara pendekatan yang digunakan adalah dengan mendatangi rumah-rumah perempuan Ciben yang berpotensi menjadi pengurus koperasi. Karena dari rumah ke rumah dan bertemu dengan para suami, dilakukan juga intervensi kepada mereka terkait penelantaran ekonomi yang mereka lakukan. Dengan begini, mereka juga mendengar secara langsung tentang koperasi. Hasil dari pelatihan yang dilakukan koperasi adalah perempuan Ciben mulai muncul di ruang-ruang publik dan usaha mereka semakin berkembang. Terakhir, Ninik Heca membawakan materi yang berjudul “Diskriminasi dan Eksklusi terhadap Perempuan Difabel”. Ia menceritakan temuan dari berbagai kegiatan dan hasil Focus Group Discussion (FGD) Pra Musyawarah Nasional (Pra Munas) perempuan yang diselenggarakan pada tahun 2024 yang mengikutsertakan komunitas perempuan disabilitas. Hal ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka dilibatkan dalam perumusan kebijakan, bahkan sampai yang ditingkat nasional. Berdasarkan hasil FGD tersebut, diskriminasi struktural yang menimpa perempuan difabel, yaitu kemiskinan, persyaratan kerja yang mengeksklusi perempuan difabel, perundungan, potensi menjadi korban kekerasan, keterbatasan akses dasar, dan minimnya partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan kurangnya representasi pada jabatan-jabatan tertentu. Menurut Ninik, pendekatan difabel model medis yang mendiskriminasi pemenuhan hak dasar kelompok disabilitas harus ditinggalkan. Pendekatan yang harusnya digunakan saat ini adalah pendekatan berbasis hak yang menempatkan kelompok disabilitas bukan sebuah objek belas kasihan atau objek perawatan medis, melainkan sebagai subjek dengan hak dan martabat yang setara. Pada sesi diskusi, Ninik menyatakan bahwa, stigma pada perempuan disabilitas masih sangat digeser dan membutuhkan mainstreaming disabilitas pada kebijakan dan masyarakat. Perempuan disabilitas harus dikuatkan secara internal melalui ketersediaan kesempatan untuk mereka, dan peningkatan kapasitas melalui pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang optimal, kesempatan kerja, dan menyuarakan aspirasi. Partisipasi semu masih sangat melekat pada perempuan disabilitas. Oleh karena itu, perlu adanya keberpihakan berupa afirmasi kepada perempuan disabilitas. Diseminasi Pendidikan Publik 119 menegaskan bahwa, kepemimpinan perempuan akar rumput hal yang sangat penting untuk mewujudkan keadilan sosial dan demokrasi yang sejati. Pengalaman perempuan dalam kehidupan sehari-hari harus diakui sebagai data berharga untuk perumusan kebijakan publik. Dengan adanya pendidikan, penguatan ekonomi, musyawarah, dan advokasi, perempuan di berbagai konteks, seperti masyarakat adat, komunitas disabilitas, hingga kelompok minoritas etnis, menunjukkan bahwa, perubahan dapat tumbuh dari bawah. Kekuatan kolektif dan solidaritas antarperempuan membuka jalan menuju pembangunan yang inklusif, setara, dan berkeadilan bagi semua. (Dira Chaerani)
Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed