Perempuan Muda di Daerah Terpencil Kepulauan: Tantangan dan Perjuangan untuk Akses dan Kesetaraan6/3/2025
![]() Pada Kamis (27/2/2025) lalu, telah diadakan Diseminasi Studi Kebijakan dan Realitas Kehidupan Perempuan Muda Marginal di Daerah Terpencil Kepulauan yang digelar secara daring oleh AKATIGA dan Universitas Parahyangan (UNPAR), bekerja sama dengan KAPAL Perempuan. Kegiatan ini diadakan secara daring melalui Zoom Meeting. Acara ini menghadirkan berbagai pihak, termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi, Direktur KAPAL Perempuan Budhis Utami, serta akademisi dan peneliti dari AKATIGA dan UNPAR. Kegiatan diseminasi ini bertujuan untuk mengungkap realitas perempuan muda di wilayah terpencil dan kepulauan dalam mengakses layanan dasar, kesempatan kerja, dan partisipasi dalam kepemimpinan lokal. Dalam pemaparannya, tim peneliti dari AKATIGA-UNPAR menyoroti bagaimana perempuan muda di daerah kepulauan menghadapi keterbatasan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang kerja. Fitri Ramadani, perempuan muda dari Pangkajene Kepulauan, berbagi pengalaman tentang sulitnya mendapatkan pendidikan tinggi karena terbatasnya akses, sarana, dan stereotip gender yang mengutamakan peran perempuan dalam ranah domestik. Sementara itu, Heni Tonengan dari Kepulauan Morotai menyoroti minimnya akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, yang semakin memperburuk ketidakadilan gender di daerahnya. Kondisi ini sejalan dengan teori feminis interseksional yang dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw, yang menjelaskan bagaimana perempuan di wilayah marginal menghadapi penindasan berlapis akibat kombinasi antara gender, kelas, akses pendidikan, akses ekonomi, hingga lokasi geografis. Studi ini juga menemukan bahwa ekspektasi sosial dan norma patriarkal di daerah terpencil masih menempatkan perempuan muda dalam peran subordinatif, membatasi peluang mereka untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Salah satu poin penting yang diangkat dalam diskusi adalah rendahnya keterlibatan perempuan muda dalam kepemimpinan lokal. Direktur KAPAL Perempuan, Budhis Utami, menegaskan bahwa faktor budaya dan norma sosial sering menjadi penghalang utama. Ada pandangan bahwa perempuan tidak perlu menjadi pemimpin, padahal mereka yang paling memahami kebutuhan perempuan dan komunitasnya. Pemaparan ini dapat dikaitkan dengan perspektif feminist everyday political economy yang dikembangkan oleh Juanita Elias dan Shirin Rai. Elias dan Rai melihat bahwa everyday life bukan hanya sekadar ruang aktivitas sehari-hari, tetapi juga arena politik di mana hubungan sosial diproduksi, direproduksi, dan diatur. Secara ruang, perempuan di kepulauan terpencil sering menghadapi keterbatasan infrastruktur dan akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Ruang yang terisolasi membuat mereka lebih bergantung pada kerja-kerja sosial reproduksi (mengurus rumah tangga, komunitas, dan ekonomi berbasis subsisten), yang sering kali tidak diakui secara ekonomi. Secara waktu, beban kerja perempuan di kepulauan terpencil sangat berat karena mereka tidak hanya bertanggung jawab atas rumah tangga, tetapi juga pertanian, perikanan, dan kegiatan ekonomi informal. Waktu mereka tersita untuk pekerjaan tak berbayar, sementara akses mereka terhadap kesempatan ekonomi formal sangat terbatas. Ketika infrastruktur minim--misalnya, ketika harus berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih atau fasilitas kesehatan--perempuan kehilangan lebih banyak waktu untuk mengurus kebutuhan dasar keluarga.
Kemudian berkaitan dengan aspek kekerasan, kekerasan struktural terlihat dalam bentuk keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, pendidikan, dan pelindungan hukum. Eksploitasi tenaga kerja perempuan dalam sektor informal sering tidak diperhatikan oleh kebijakan yang adil. Kekerasan berbasis gender (KBG) seperti KDRT, perkawinan anak, hingga femisida akan lebih sulit untuk dilaporkan dan ditangani karena kurangnya fasilitas perlindungan dan stigma sosial yang kuat dalam komunitas kecil. Meski menghadapi berbagai tantangan struktural yang signifikan, perempuan muda di kepulauan tetap menunjukkan daya juang mereka. Salah satu strategi yang mereka lakukan adalah membangun komunitas belajar alternatif melalui organisasi masyarakat sipil. Studi ini menemukan bahwa pendidikan non-formal dapat menjadi alternatif jalan keluar bagi perempuan muda yang tidak bisa melanjutkan sekolah formal. Direktur PUSKAPA UI, Putu Maitra, menyoroti pentingnya pendekatan berbasis komunitas dalam meningkatkan kapasitas perempuan muda. "Kita perlu memastikan bahwa perempuan muda memiliki ruang untuk mengembangkan potensinya, termasuk melalui pendidikan yang lebih inklusif," katanya. Melalui diseminasi studi ini, diharapkan adanya kebijakan yang lebih berpihak pada perempuan muda marginal di daerah terpencil, terutama dalam membuka akses pendidikan, layanan kesehatan, keadilan hukum, dan peluang ekonomi. Dengan pendekatan berbasis keadilan gender, upaya pemberdayaan perempuan di daerah kepulauan harus menjadi bagian dari agenda pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
March 2025
Categories |