Pada Rabu (13/11/24), Komnas Perempuan memperingati Hari Pahlawan Nasional 10 November melalui sebuah webinar bertajuk “Pahlawan Perempuan dalam Catatan Sejarah Indonesia”. Acara ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Veryanto Sitohang (Komisioner Komnas Perempuan), Rosramadhana (Dosen Pendidikan Antropologi Universitas Negeri Medan–UNM), dan Luviana (Jurnalis Konde.co). Webinar ini dipandu oleh Yefri Heriani, dengan fokus utama pada tiga tokoh perempuan yang luar biasa: Ratu Ageng Tegalrejo, R.A. Soetartinah, dan S.K. Trimurti. Acara ini diawali oleh sambutan Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan, yang menekankan pentingnya mengenang kontribusi perempuan dalam sejarah bangsa. Tias menyampaikan bahwa peringatan ini merupakan upaya untuk mengedukasi masyarakat bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya milik laki-laki. Sayangnya, sosok pahlawan perempuan sering kali tidak dikenal atau dilupakan, sehingga diskusi ini diharapkan dapat menjadi langkah untuk melawan budaya patriarki yang masih mendominasi narasi sejarah Indonesia. Yefri Heriani mengungkapkan bahwa sejak 2021, Komnas Perempuan telah memperkenalkan 14 tokoh perempuan dalam peringatan Hari Pahlawan Nasional. Para tokoh ini, yang berasal dari berbagai latar belakang budaya, agama, dan wilayah, menjadi bukti nyata bahwa perempuan memiliki kontribusi besar dalam perjuangan bangsa. Dalam sesi pemaparan, Veryanto Sitohang menjelaskan alasan Komnas Perempuan secara konsisten merayakan Hari Pahlawan Nasional dari perspektif perempuan selama empat tahun terakhir. Menurutnya, pengakuan terhadap pahlawan perempuan di Indonesia masih minim. Hingga 2023, data Kementerian Sosial menunjukkan bahwa dari 206 pahlawan nasional yang diakui, hanya 16 di antaranya perempuan. Hal ini mencerminkan bias gender dalam mekanisme pemberian gelar kepahlawanan. Veryanto melanjutkan bahwa pendekatan sejarah yang maskulin menjadi salah satu penyebab dominasi narasi pahlawan laki-laki. Perempuan sering dianggap hanya sebagai pendukung atau bahkan diabaikan. Padahal, kontribusi perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun pembangunan bangsa tidak kalah signifikan. Sejak tahun 2021, Komnas Perempuan secara konsisten memperkenalkan tokoh-tokoh perempuan yang berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Pada tahun pertama, mereka mengangkat nama-nama seperti Lasminingrat, seorang perempuan Sunda yang berjuang melalui literasi untuk kemerdekaan; dan Monia Laturina, seorang perempuan adat Maluku yang menjadi panglima perang melawan kolonial Belanda. Selain itu, ada Boetet Satidjah, pendiri sekaligus editor dan pemimpin redaksi "Perempuan Bergerak" di Sumatera Utara; Setiati Surasto, pembela buruh perempuan; Auw Tjoei Lan, pejuang melawan perdagangan manusia; serta Tamu Rambu Margaretha dari Sumba yang memimpin perlawanan terhadap perbudakan. Pada tahun 2022, tokoh-tokoh seperti Johana Tumbuan, yang membaca naskah Sumpah Pemuda 1928; The Sin Nio, seorang pejuang kemerdekaan; dan Ni Sombro, pembuat keris dari Bumi Parahyangan, turut diperkenalkan. Tahun berikutnya, 2023, diisi dengan pengenalan figur-figur seperti Trisudji Djuliati Kamal, komponis perempuan; Putri Lopian, pejuang dari Tanah Batak; Putri Sisingamangaraja XII, tokoh Sumpah Pemuda dan juga seorang guru; Emma Puradireja, pejuang kesetaraan gender yang aktif dalam organisasi perjuangan; serta Siti Soendari, yang menyampaikan pidato pada Kongres Pemuda II.
Pada tahun 2024, Komnas Perempuan memperkenalkan tiga sosok luar biasa lainnya: Ratu Ageng Tegalrejo, S.K. Trimurti, dan R.A. Sutartinah. Ratu Ageng Tegalrejo, yang lahir dengan nama Niken Ayu Yuwati, mendirikan pasukan perempuan bernama Prajurit Estri Langenkusumo yang memperkuat perjuangan Pangeran Diponegoro. S.K. Trimurti adalah wartawan, aktivis buruh, dan Menteri Perburuhan pertama Indonesia yang juga menjadi salah satu pendiri Gerakan Wanita Indonesia Sedar. Sementara itu, R.A. Sutartinah, yang dikenal sebagai istri Ki Hajar Dewantara, mendirikan dan memimpin organisasi Wanita Taman Siswa, berfokus pada pendidikan perempuan. Sosok-sosok ini, yang sering kali luput dari sorotan sejarah, diharapkan dapat diakui oleh negara dan dijadikan inspirasi bagi generasi mendatang. Komnas Perempuan berkomitmen untuk terus mengangkat nama-nama perempuan pejuang ini agar peran besar mereka dalam sejarah tidak terlupakan. Pemaparan dari Rosramadhana, Dosen Pendidikan Antropologi UNM, memperkuat pentingnya menulis ulang sejarah dari perspektif yang inklusif. Menurut Ros, sejarah perempuan sering kali dilihat melalui lensa subordinasi dan marginalisasi. Padahal, perempuan telah memainkan peran penting sejak masa prasejarah, kerajaan Nusantara, perjuangan kemerdekaan, hingga pembangunan pasca-kemerdekaan. Ros menekankan bahwa pengakuan terhadap pahlawan perempuan tidak hanya penting untuk masa kini tetapi juga untuk membangun memori kolektif generasi mendatang. Ia menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan lembaga masyarakat dalam mengangkat sosok-sosok perempuan yang selama ini terabaikan. Ros menambahkan bahwa berbicara tentang sejarah tidak lepas dari dimensi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Sejarah sendiri adalah bagaimana mengonstruksi memori dari hasil penelusuran jejak-jejak yang ada. Berdasarkan rekam jejak sejarah, bangsa Indonesia memiliki banyak sosok perempuan luar biasa yang telah berkontribusi besar, seperti R.A. Kartini, Cut Nyak Meutia, dan perempuan lain yang dengan gigih mengorbankan waktu, pikiran, serta tenaga mereka untuk perjuangan di berbagai bidang. Para perempuan ini tidak hanya berjuang di medan perang tetapi juga dalam memajukan pendidikan dan ekonomi. Peran perempuan dalam sejarah mencakup berbagai periode, mulai dari masa prasejarah, masa kerajaan Nusantara, perjuangan kemerdekaan, hingga pembangunan bangsa pasca-kemerdekaan. Dalam periodesasi ini, perempuan telah menunjukkan bahwa mereka dapat menjadi pemimpin yang memenuhi kebutuhan primer, seperti yang terlihat pada masa prasejarah, di mana perempuan tidak hanya melindungi anak-anak mereka tetapi juga menjadi garda terdepan dalam mengumpulkan makanan dan mengelola kehidupan sehari-hari. Penting untuk mengenali bahwa perjuangan perempuan meliputi peran signifikan pada berbagai era, seperti masa kolonial, perang kemerdekaan, pembentukan negara, hingga era reformasi dan modern. Ros menyoroti pentingnya indikator-indikator yang membuat perempuan layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional, termasuk peran mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan, membangun sosial dan pendidikan, memperjuangkan kesetaraan dan keadilan, serta menjadi inspirasi bagi generasi mendatang. Ros juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan lembaga terkait untuk mengangkat sosok-sosok perempuan yang selama ini belum mendapatkan sorotan, seperti Ratu Ageng Tegalrejo, R.A. Sutartinah, dan S.K. Trimurti. Menutup pemaparannya, Ros menyampaikan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap dalam perjuangan, tetapi juga jiwa yang merintis jalan menuju kemerdekaan. Ia menegaskan, "Jangan pernah lupa, di balik kemerdekaan yang kita nikmati saat ini, ada jiwa-jiwa perempuan yang mengorbankan segalanya tanpa pamrih." Luviana, pemapar terakhir dalam webinar ini, menyampaikan materi dari sudut pandang jurnalis. Ia mengkritisi minimnya representasi pahlawan perempuan, termasuk dalam mata uang Indonesia. Julia Suryakusuma pernah menulis tentang pahlawan perempuan di mata uang rupiah, di mana hanya ada satu sosok perempuan, yaitu Cut Meutia, pada pecahan Rp1.000, yang dinilai tidak berharga dibanding pecahan lainnya yang didominasi gambar pahlawan laki-laki. Minimnya jumlah pahlawan perempuan ini sering kali dikaitkan dengan narasi bahwa peran perempuan dalam sejarah kurang signifikan. Selain itu, Luviana menyoroti bahwa setiap tanggal 21 April selalu muncul potret R.A. Kartini, tetapi Kartini kerap diserang dengan berbagai pandangan negatif. Ia dicap ambigu karena dianggap tidak mampu menolak poligami dan bahkan menjadi sasaran hoaks, seperti klaim bahwa Kartini berjilbab dan berkacamata atau disebut sebagai pemuas seks Belanda. Semua tudingan ini terbukti tidak benar melalui cek fakta yang dilakukan oleh jurnalis. Hal ini menunjukkan bahwa menjadi pahlawan perempuan tidak pernah lepas dari intimidasi dan bias gender. Luviana juga membahas bagaimana perempuan jarang mendapat penghormatan di momentum penting seperti Hari Pendidikan Nasional, di mana tokoh seperti R.A. Kartini atau Dewi Sartika jarang disebutkan, sementara nama Ki Hajar Dewantara selalu menjadi sorotan utama. Dari tujuh pahlawan nasional yang dikenal sebagai jurnalis dan penulis, hanya satu yang perempuan, yaitu S.K. Trimurti, sementara sisanya adalah laki-laki. Luvi memaparkan hasil penelitian tentang peran jurnalis perempuan di Indonesia serta mengangkat kisah hidup S.K. Trimurti yang diabadikan dalam film dokumenter karya Ani Ema Susanti, berjudul “SK Trimurti: Jurnalis Fenomenal”. Trimurti adalah sosok yang berjuang keras meskipun menghadapi banyak tantangan, termasuk dipenjara dua kali dan bahkan melahirkan anaknya di dalam penjara. Melalui perjuangan dan pengorbanannya, Trimurti memberikan pesan mendalam bahwa jalan menuju kesetaraan dan keadilan selalu penuh rintangan yang harus dihadapi dengan keberanian dan keteguhan. Webinar ini kembali menegaskan pentingnya menggali kembali dan memperkenalkan peran perempuan dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia. Diskusi ini berhasil mengungkap bias gender dalam narasi sejarah yang selama ini lebih menonjolkan laki-laki sebagai pahlawan nasional, sementara peran perempuan sering terabaikan. Melalui paparan para narasumber, terlihat bahwa perempuan memiliki kontribusi besar, baik dalam perjuangan kemerdekaan, pembangunan sosial, pendidikan, hingga upaya memperjuangkan kesetaraan gender. Sosok-sosok seperti, Ratu Ageng Tegalrejo, R.A. Sutartinah, dan S.K. Trimurti merupakan contoh nyata bagaimana perempuan Indonesia turut menjadi aktor utama dalam membangun bangsa. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk menulis ulang sejarah yang inklusif, dan menghargai kontribusi perempuan secara setara sangat diperlukan. Kesadaran ini tidak hanya untuk memperbaiki representasi perempuan dalam narasi sejarah, tetapi juga untuk membangun memori kolektif yang menginspirasi generasi mendatang. Seperti yang diungkapkan oleh Rosramadhana dan Luviana, perjuangan perempuan adalah bukti bahwa keberanian, keteguhan, dan pengorbanan mereka telah menjadi fondasi kuat bagi kemerdekaan dan kemajuan bangsa. (Try Suriani Loit Tualaka) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |