Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

Perempuan Adat, Diskriminasi, dan Praktik Baik: Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat

14/2/2025

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Pada Rabu (12/2/2025), KEMITRAAN bersama Koalisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menggelar talkshow bertajuk “Perempuan Adat, Diskriminasi, dan Praktik Baik” di Ruang Ke Kini, Cikini, Jakarta Pusat, serta melalui Zoom Meeting. Acara ini menghadirkan narasumber Dian Purnomo (penulis dan peneliti), Agetha Lestari (Kaoem Telapak - Koalisi RUU Masyarakat Adat), Sabila (perempuan adat Desa Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan), dimoderatori oleh Tracy Pasaribu dari KEMITRAAN. Kegiatan ini bertujuan untuk mengangkat pengalaman perempuan adat dalam menghadapi diskriminasi berlapis serta memperjuangkan hak-haknya, sekaligus mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah lama mangkrak.
​​

     Talkshow ini juga menjadi bagian dari upaya advokasi RUU Masyarakat Adat yang selama ini terhambat, dengan menyoroti bagaimana perempuan adat memegang peran krusial dalam menjaga pengetahuan lokal tentang pertanian, konservasi hutan, dan tata kelola sumber daya alam. Meskipun peran mereka sangat signifikan dalam kelangsungan komunitas adat, mereka masih mengalami diskriminasi sistemik, baik dalam akses pendidikan, ekonomi, hingga representasi dalam pengambilan keputusan.  DIskriminasi terhadap perempuan adat terjadi dalam sistem adat, relasi sosial, serta kebijakan negara yang belum sepenuhnya mengakui hak-hak masyarakat adat.

     Data baseline Estungkara yang dikumpulkan KEMITRAAN pada 2022 dan 2023 di 40 desa dari 13 kabupaten menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan adat hanya menempuh pendidikan dasar dan memiliki pendapatan di bawah satu juta rupiah per bulan, yang membuat mereka semakin rentan terhadap kekerasan berbasis gender dan pelecehan seksual. Talkshow ini menyoroti bagaimana perempuan adat tidak hanya mengalami subordinasi dalam sistem kepemimpinan adat yang patriarki, tetapi juga terdampak oleh eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan hidup mereka. RUU Masyarakat Adat yang belum disahkan memperparah situasi ini, menghambat akses perempuan adat terhadap tanah dan sumber daya yang menjadi basis kehidupan mereka.
​

     Sabila, perempuan adat dari Desa Kaluppini, Sulawesi Selatan, memaparkan bahwa sistem kepemimpinan adat di komunitasnya sepenuhnya didominasi laki-laki. “Tidak ada perempuan yang menjabat sebagai pemimpin adat, meskipun perempuan berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa perempuan adat juga berperan dalam menjaga ketahanan pangan dan ekonomi komunitas, tetapi tetap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting.

     
Agetha Lestari dari Kaoem Telapak menambahkan bahwa ketimpangan gender dalam masyarakat adat tidak hanya terjadi di Kaluppini, tetapi juga di berbagai komunitas adat lainnya. Di Halmahera Selatan, lebih dari setengah daratannya telah mengalami degradasi akibat eksploitasi sumber daya alam yang masif, menyebabkan akses terhadap air bersih semakin sulit. Infrastruktur dasar seperti listrik masih belum tersedia, sehingga masyarakat harus membayar hanya untuk mengisi daya ponsel mereka, sementara sinyal komunikasi juga sangat terbatas. Dahulu, saat bekerja di kebun, masyarakat dapat langsung meminum air dari sungai untuk melepas dahaga. Namun, kini sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber air bersih telah tercemar, menyebabkan meningkatnya kasus penyakit akibat konsumsi air yang tidak layak.
Picture
Dok. Jurnal Perempuan
     “Ketika perempuan adat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, kepentingan dan kesejahteraan mereka sering terabaikan, baik dalam kebijakan lokal maupun dalam kebijakan negara,” ujar Agetha. Hal ini juga tampak dalam bagaimana perempuan adat mengalami diskriminasi ekonomi, seperti yang terjadi di Halmahera Selatan, di mana tanah adat dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan sawit. “Sebelum perusahaan masuk, masyarakat bisa mendapatkan hasil panen senilai 80 juta per musim. Sekarang, mereka hanya menjadi buruh tani yang dibayar 2.500 Rupiah untuk sekali membersihkan gulma sawit,” ujar Agetha.

     Selain menghadapi diskriminasi, perempuan adat juga memiliki peran penting dalam pelestarian lingkungan dan kearifan lokal. Sabila menceritakan bagaimana perempuan di komunitasnya mengelola sumber daya alam dengan cara yang berkelanjutan, seperti memanfaatkan hasil hutan tanpa merusaknya. “Kami mengolah hasil panen seperti madu dan gula aren dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem,” jelasnya.

     Namun, eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan besar kerap mengancam keberlanjutan lingkungan masyarakat adat. Banyak perempuan dan juga masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hasil hutan, tetapi mereka sering diabaikan dalam kebijakan ekonomi dan lingkungan. “Perempuan adat memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga dalam menjaga kelestarian alam, tetapi keputusan besar mengenai lingkungan masih berada di tangan elite laki-laki,” ungkap Tracy Pasaribu selaku moderator.

     Dian Purnomo, dalam paparannya, menjelaskan bagaimana perempuan adat sering mengalami kekerasan berbasis gender yang dilegitimasi oleh adat. Dian mengangkat kasus kawin tangkap di Sumba, yang awalnya merupakan tradisi lamaran berbasis kesepakatan, tetapi dalam praktiknya berubah menjadi paksaan dan kekerasan. “Tradisi ini berubah menjadi bentuk kekerasan yang dibalut adat, hasilnya, perempuan mengalami penderitaan dan trauma karena kawin secara terpaksa,” kata Dian.

     Selain itu, perempuan adat yang aktif dalam advokasi sering menghadapi kriminalisasi. Salah satu contohnya adalah Mama Yani, seorang perempuan adat yang berjuang melawan perampasan lahan oleh perusahaan, tetapi justru mengalami intimidasi. “Saat suaminya sakit, ia harus bekerja lebih keras, merawat suaminya yang sedang sakit, menjual nasi bungkus, sambil terus memperjuangkan hak komunitasnya. Ini membuktikan bahwa perempuan adat lebih dari sekadar pengurus rumah tangga, tetapi juga pejuang yang mempertahankan hak-haknya,” ungkap Agetha.

     Diskusi ini menegaskan bahwa perempuan adat memainkan peran penting dalam keberlanjutan komunitas mereka, tetapi masih mengalami ketidakadilan struktural. Feminisme melihat pengalaman perempuan sebagai sumber kekuatan dalam perjuangan hak-hak mereka. Seperti yang disampaikan oleh Sabila, “Perempuan selalu dituntut untuk berperan lebih banyak, tetapi tidak diberi ruang dalam pengambilan keputusan,” ungkapnya. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus melibatkan perempuan adat sebagai aktor utama, bukan hanya sebagai objek pelindungan.

     Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi kunci dalam memperjuangkan hak-hak perempuan adat, karena selama ini mereka menghadapi ketidakadilan hukum yang membatasi akses mereka terhadap tanah, sumber daya alam, serta pelindungan dari kekerasan. Acara ini menghasilkan beberapa rekomendasi utama, pertama, mendorong keterlibatan perempuan adat dalam kepemimpinan adat dan kebijakan desa. Kedua, memastikan perlindungan terhadap perempuan adat dalam kasus kekerasan berbasis gender, termasuk dalam penyelesaian hukum yang adil. Ketiga, meningkatkan akses pendidikan bagi perempuan adat agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan komunitas mereka. Keempat, mengadvokasi pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk pengakuan dan pelindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

     Sebagai penutup, para narasumber dan peserta sepakat bahwa pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat adat akan terus memperparah ketimpangan sosial dan ekologi. Oleh karena itu, advokasi dan gerakan kolektif harus terus diperkuat agar suara perempuan adat tidak lagi terpinggirkan. Seperti yang disampaikan dalam diskusi, “Indonesia bukan hanya Jawa, kebijakan yang dibuat harus memperhitungkan keberagaman masyarakat adat di seluruh nusantara.”

     Dengan adanya talkshow ini, diharapkan semakin banyak pihak yang menyadari pentingnya pelindungan perempuan adat dan semakin kuatnya gerakan kolektif untuk mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. (Putu Gadis Arvia Puspa)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025