Pada Jumat (20/9/2024), Universitas Indonesia mengadakan lokakarya bertajuk “Gender Action Plan 2024” yang bertempat di Hotel Mercure, Jakarta Selatan. Lokakarya ini diadakan untuk membahas penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pencegahan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Direktorat Innovation and Science Techno Park (DISTP) Universitas Indonesia. Lokakarya ini dihadiri oleh berbagai perwakilan akademisi seperti dari Fakultas Hukum, Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, lokakarya ini juga dihadiri oleh perwakilan dari beberapa institusi dan organisasi seperti LBH APIK Jakarta, Forum Pengada Layanan (FPL), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Badan Legislasi dan Layanan Hukum (BLLH) FH UI, BEM FH UI, UPT PPKS UI, DPPM UI, Yayasan Jurnal Perempuan, dan PT. Bhumi Jati Power. Lidwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum UI mengawali lokakarya dengan menjelaskan bahwa acara ini bertujuan untuk menyempurnakan draf SOP yang berfokus pada pencegahan penanganan kekerasan seksual di UI. SOP ini disusun berdasarkan Peraturan Rektor UI, mengacu pada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan KUHP. Inge juga menekankan pentingnya masukan dari para peserta aktif untuk memperbaiki alur dan prinsip-prinsip SOP agar lebih efektif dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. Andi M. Pratiwi, perwakilan dari Yayasan Jurnal Perempuan, memaparkan bagaimana sensitivitas anti kekerasan seksual diterapkan dalam proses rekrutmen pekerja di Jurnal Perempuan. Andi menekankan pentingnya melakukan background check terhadap setiap penulis atau pihak eksternal yang bekerja sama dengan Jurnal Perempuan. Harry Kurniawan, perwakilan dari pekerja lingkungan industri PT. Bhumi Jati Power membagikan pandangannya tentang penerapan regulasi anti kekerasan seksual di lingkungan korporasi, khususnya terkait definisi "workplace" yang mencakup ruang kerja fisik dan ruang kerja digital, seperti komunikasi melalui email dan aplikasi WhatsApp. Harry menjelaskan bahwa pelanggaran terkait kekerasan seksual tetap harus ditangani meskipun kejadian kekerasan seksual tidak terjadi di kantor secara fisik, karena SOP perusahaan tetap berlaku di berbagai “ruang” dalam situasi bekerja. Natania, perwakilan dari FPL, sebagai organisasi yang bergerak dalam pendampingan korban kekerasan seksual, menerapkan salah satu SOP penting yakni SOP Sexual Exploitation, Abuse, and Harassment (SEAH) yang melibatkan perlindungan tidak hanya terhadap kekerasan seksual tetapi juga diskriminasi berbasis gender, disabilitas, HIV, dan status kesehatan. Natania juga menekankan pentingnya pakta integritas, sebagai komitmen yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerja sama dengan FPL. Salah satu tantangan yang disampaikan oleh Natania adalah adanya anggota FPL yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Meskipun setiap anggota FPL melalui proses penilaian dan background check sebelum diterima, pengawasan masih menjadi masalah yang sulit. Natania menekankan bahwa beberapa organisasi independen cenderung menyelesaikan masalah secara internal dan tidak melaporkan ke FPL, yang membuat implementasi SOP dan kebijakan menjadi kurang maksimal. Oleh karena itu, prosedur pengaduan formal dan informal menjadi sangat penting, dengan pelaksanaan yang transparan dan adil. Dr. Nathalina Naibaho, dosen dari FH UI, dalam pemaparannya menyampaikan mengenai tantangan dalam pemberian sanksi kepada pelaku kekerasan seksual di lingkungan akademis. Nathalina memulai dengan menyoroti perbedaan sikap yang diambil terhadap pelaku yang bersikap kooperatif dan bersedia bertanggung jawab, kemudian juga memiliki koneksi struktural dengan orang-orang penting dalam institusi seperti universitas dibandingkan dengan pelaku yang tidak bersikap kooperatif dan memiliki koneksi. Nathalina menjelaskan bahwa dalam penanganan kekerasan seksual, sangat penting untuk mempertimbangkan aspek struktural, keadilan, dan pemulihan, baik bagi korban maupun pelaku, sehingga mekanisme yang diterapkan benar-benar berorientasi pada keadilan dan tidak sekadar menghukum tanpa melihat dampak jangka panjang. Dalam menangani pelaku, Nael, perwakilan dari FPsi UI menyarankan pendekatan yang lebih individualistik. Ia menyebutkan bahwa penting untuk memahami risiko residivisme (potensi pelaku untuk mengulangi perbuatannya) dan menilai faktor-faktor protektif yang mungkin ada pada pelaku. Pelaku yang berisiko tinggi untuk mengulangi tindakan serupa memerlukan perawatan intensif, sedangkan pelaku dengan risiko rendah dapat ditangani dengan pendekatan yang lebih ringan. Pendekatan ini memungkinkan rehabilitasi pelaku, sehingga mereka tidak menjadi predator di tempat lain. Nael menekankan pentingnya penilaian berbasis risiko dan asesmen dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap kasus ditangani dengan langkah yang tepat sesuai dengan tingkat risiko yang ada. LBH APIK Jakarta secara tegas menolak penggunaan restorative justice sebagai solusi untuk kasus kekerasan seksual. Dalam pandangan mereka, restorative justice bukanlah pilihan yang tepat karena kekerasan seksual membutuhkan pendekatan yang lebih ketat dan berfokus pada pemulihan korban, bukan rekonsiliasi antara korban dan pelaku. Salah satu fokus utama LBH APIK adalah memberikan penguatan kepada korban kekerasan seksual. LBH APIK menekankan pentingnya pendamping memberikan informasi yang akurat dan mendukung korban, sehingga korban tidak merasa terpuruk atau enggan melanjutkan proses hukum. Proses pendampingan yang kurang tepat justru dapat membuat korban semakin enggan untuk bergerak maju dan menuntut hak-haknya. LBH APIK juga menerangkan bahwa sangat penting memahami dan mengakui adanya konsep interseksionalitas dalam penanganan SOP kekerasan seksual umumnya berfokus pada pentingnya pendekatan yang memperhitungkan berbagai bentuk diskriminasi yang dihadapi korban. Interseksionalitas mengakui bahwa korban kekerasan seksual sering kali tidak hanya menghadapi kekerasan berbasis gender, tetapi juga bentuk-bentuk penindasan lain seperti diskriminasi ras, kelas sosial, agama, status disabilitas, dan juga orientasi seksual. Dalam konteks penanganan SOP kekerasan seksual, interseksionalitas menjadi penting untuk memastikan bahwa SOP tidak hanya berfokus pada aspek gender semata, tetapi juga mempertimbangkan kerentanan korban yang diperparah oleh faktor-faktor lainnya. LBH APIK biasanya menekankan pentingnya memahami bahwa beberapa kelompok, seperti perempuan miskin, perempuan dengan disabilitas, perempuan masyarakat adat hingga perempuan LGBTQ+, sering kali mengalami kekerasan yang lebih kompleks dan berlapis. Puti Sheila dari Badan Legislasi dan Layanan Hukum (BLLH) FH UI menjelaskan bahwa, UI sudah memiliki mekanisme pelaporan kekerasan seksual melalui sistem pelaporan internal yang disebut SIP (Sistem Informasi Pelanggaran). Sistem ini digunakan untuk melaporkan berbagai pelanggaran termasuk kekerasan seksual, dan mekanismenya melibatkan tim verifikasi yang memutuskan apakah laporan tersebut dapat ditindaklanjuti. Mekanisme penanganan kekerasan seksual di UI dikoordinasikan dengan Satgas PPKS. Satgas PPKS menjadi pusat dari seluruh penanganan kasus di UI. Puti menekankan bahwa Satgas PPKS memiliki peran penting dalam memverifikasi laporan dan mengarahkan proses selanjutnya, termasuk penjatuhan sanksi. Abby Gina Boang Manalu, salah satu perwakilan dari FIB UI, menyoroti bagaimana kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi sering kali dianggap normal dalam kehidupan sehari-hari, yang mana merupakan bagian dari budaya patriarki. Abby menjelaskan bahwa kekerasan seksual bukan hanya pelanggaran individu, melainkan merupakan bagian dari melanggengkan struktur kekuasaan patriarkal yang mengakar dalam budaya masyarakat, termasuk di lingkungan kampus. Budaya pemakluman terhadap kekerasan seksual di kampus membuat banyak tindakan kekerasan yang seharusnya dipermasalahkan justru dianggap biasa. Abby menekankan bahwa masyarakat kerap tidak memberikan intervensi yang cukup untuk menghentikan perilaku kekerasan seksual ini, yang pada akhirnya berkontribusi pada pembiaran dan normalisasi tindak kekerasan. Abby juga menerangkan bahwa mitos dan stereotip gender memperkuat budaya pemakluman ini. Sebagai contoh, mitos bahwa ketika seorang perempuan mengatakan "tidak" sebenarnya mereka hanya malu-malu, atau anggapan bahwa korban perkosaan berkontribusi dalam terjadinya kekerasan melalui pakaian atau perilakunya. Stereotip tersebut semakin menambah sulitnya korban untuk berbicara dan menyuarakan pengalaman mereka.
Selain itu, Abby juga menyoroti kesulitan dalam implementasi kebijakan, eskipun sudah ada Satgas PPKS dan kebijakan antikekerasan di perguruan tinggi. Ia mengapresiasi keberadaan Satgas PPKS, tetapi menekankan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama dalam memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar dijalankan di lapangan dan disosialisasikan dengan baik. Salah satu tantangan terbesar adalah relasi kuasa, di mana pendidikan tentang kekerasan seksual lebih mudah diterima oleh mahasiswa baru, tetapi sulit untuk diimplementasikan pada dosen atau staf karena adanya hierarki yang kuat. Abby menekankan bahwa kebijakan tidak hanya harus ada, tetapi juga harus dibarengi dengan edukasi dan sosialisasi yang berkelanjutan, agar isu kekerasan seksual bisa dipahami sebagai masalah serius di kampus. Pengakuan atas adanya konsep interseksionalitas dapat mengarah pada pembuatan SOP yang lebih inklusif dan komprehensif, dengan langkah-langkah perlindungan yang dapat diakses oleh berbagai kelompok rentan. Pendekatan interseksionalitas dapat membantu memastikan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual tidak diskriminatif dan memperhitungkan berbagai konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi pengalaman korban. Acara ini ditutup dengan rangkuman hasil diskusi, di mana para peserta menyepakati pentingnya penyusunan SOP yang jelas dan tegas, mengingat kompleksitas penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan akademis. Tidak hanya untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual tetapi juga untuk menciptakan lingkungan belajar dan bekerja yang aman dan bebas dari diskriminasi. Keseluruhan acara ini diharapkan dapat menjadi langkah konkret dalam meningkatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di UI dan berbagai ruang kerja lainnya. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |