Dok. Jurnal Perempuan Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR RI untuk mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjadi undang-undang. Desakan ini mencuat dalam diskusi publik bertajuk “Akselerasi Pengesahan RUU Perlindungan PRT” yang diselenggarakan pada Rabu (18/6/2025). Diskusi ini diselenggarakan oleh CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), JALA PRT, Kalyanamitra, dan Penabulu. Terdapat fenomena gunung es terkait kekerasan dan diskriminasi yang dialami PRT dalam beberapa tahun terakhir, dimana angkanya terus bertambah dan mengkhawatirkan. Meski Indonesia telah memiliki beberapa regulasi seperti Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, perlindungan hukum terhadap PRT masih parsial dan belum menyeluruh. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ataupun UU Nomor 6 tahun 2022 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pun dinilai belum memberikan jaminan perlindungan yang memadai. Pada 2007, 2012, dan 2021, Komite CEDAW memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia agar segera mengesahkan RUU PPRT, tetapi kemajuannya nyaris nihil. Pentingnya pengesahan ini diperkuat dengan fakta bahwa di Indonesia terdapat lebih dari 10,7 juta pekerja rumah tangga, 92 persen di antaranya adalah perempuan, dan sekitar 22 persen masih berusia anak-anak. Mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari 70,49 juta pekerja informal, tetapi kerja perawatan yang mereka lakukan sering kali dianggap tidak bernilai ekonomi, sehingga memperburuk ketimpangan gender. Sebagai panelis, Aida Milasari (CWGI/Rumpun Gema Perempuan) memaparkan hasil riset CWGI yang berjudul Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan PRT pada Masa Ketiadaan UU PPRT. Riset menunjukkan fakta bahwa sebagian besar PRT memulai pekerjaan sejak usia anak. “Ini menandakan bahwa situasi pekerja rumah tangga anak masih nyata hingga saat ini,” ungkapnya. Di samping isu pekerja anak, kondisi kerja PRT pun sangat buruk: gaji rendah, tanpa kontrak kerja, tidak memiliki privasi di rumah pemberi kerja, dan rentan terhadap kekerasan. “Bahkan ada yang digaji hanya Rp 600 ribu di Tangerang Selatan,” ujar aktivis tersebut, “dan ada pula yang tidak menerima gaji selama bertahun-tahun agar tidak berhenti bekerja,” tambahnya. Aida juga menyoroti bentuk kekerasan seksual ekstrem yang dialami PRT, termasuk percobaan perkosaan, pemukulan dan penganiayaan berat, penyiksaan pada organ seksual (vagina dan payudara), dan pemaksaan penggunaan pakaian yang tidak pantas. Salah satu kesaksian yang didapati selama penyusunan riset ini adalah adanya PRT yang tidak boleh mengenakan pakaian oleh pemberi kerjanya. Korban dipaksa bekerja sehari-hari menggunakan kantong plastik hitam, alih-alih pakaian yang layak. Pun, pada banyak kasus, jika PRT korban kekerasan dapat menyeret pelaku ke meja hijau, terkadang hukuman yang diberikan terlampau ringan. Kembali lagi, nihilnya UU yang khusus melindungi PRT secara menyeluruh menjadi sandungan besar. Selain memaparkan fakta soal kejamnya kondisi kerja PRT, riset ini juga bertujuan untuk mendorong pengesahan RUU PPRT serta pelatihan aparat hukum, akses pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi. Harapannya, upaya ini dapat mendorong perbaikan perlindungan PRT. Ari Ujianto (JALA PRT) menjelaskan strategi advokasi yang dilakukan organisasinya. Menurutnya, JALA PRT telah bergabung dalam koalisi masyarakat sipil untuk memperkuat dorongan kolektif pengesahan RUU ini. “Kerangka advokasi kami mencakup kampanye media, lobi kebijakan, dan memperluas dukungan publik,” ujarnya. Ia menekankan bahwa lobi kebijakan tidak hanya ditujukan pada DPR, tapi juga kepada pemerintah pusat, daerah, kementerian, bahkan Presiden. JALA PRT dan koalisi juga kerap melaksanakan aksi protes di ruang publik untuk membumikan isu ini. “Yang digantung itu pakaiannya, bukan RUU PPRT-nya” menjadi salah satu slogan yang kerap dikeluarkan oleh koalisi dalam berbagai protes publik. Nuansanya yang erat dengan bidang kerja PRT, tetapi di sisi lain menunjukkan kritik subtil pada lambannya kinerja pembuat undang-undang, menjadi umpan untuk menarik dukungan publik terhadap pemenuhan hak PRT.
Selain dari elemen organisasi masyarakat sipil (OMS), hadir pula Ahmad Iman Sukri (Wakil Ketua Baleg DPR RI) yang menyampaikan optimisme bahwa RUU PPRT akan segera disahkan. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto sudah menunjukkan kepedulian terhadap isu ini sebagai bagian dari isu populis yang memiliki urgensi besar. Ia menyebut bahwa cukup ironis bila Indonesia belum memiliki UU PRT, sementara di sisi lain jutaan warganya bekerja sebagai PRT migran. Iman berharap pengesahan dapat dilakukan sebelum 1 Agustus 2025, sesuai janji Presiden. Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap kerja keras koalisi masyarakat sipil yang terus mengawal proses ini selama bertahun-tahun. Koalisi masyarakat sipil dan berbagai OMS sendiri secara tegas menuntut DPR untuk memenuhi janji pengesahan UU PPRT dalam tiga bulan sejak 1 Mei 2025. Sebab, janji pengesahan pada 1 Agustus 2025 adalah tonggak penting yang menunjukkan seberapa besar komitmen negara akan kesejahteraan PRT. Negara sepatutnya telah hadir untuk menghormati dan melindungi hak-hak jutaan PRT yang rentan. Koalisi mendesak Badan Legislasi DPR RI segera membentuk Panitia Kerja (Panja) agar pembahasan RUU tidak stagnan dan target waktu tercapai. Selain itu, pemerintah diminta segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 dan melaksanakan rekomendasi Komite CEDAW dalam Concluding Observations 2021. (Nada Salsabila) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed