Pendidikan Publik JP 118: Sejauh Mana Pemenuhan Hak Politik Perempuan Pekerja Migran Indonesia?4/2/2025
![]() Yayasan Jurnal Perempuan, didukung oleh program INKLUSI dan Migrant CARE, menerbitkan Jurnal Perempuan 118 yang telah mencatat dan menyoroti marginalisasi hak politik elektoral Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dalam Pemilu 2024. Jurnal Perempuan mendiseminasikan temuan dalam JP 118 tersebut melalui Pendidikan Publik 118: Hak Politik Perempuan pekerja Migran Indonesia, pada Jumat (31/1/2025) lalu. Kegiatan ini diselenggarakan secara tatap muka di Bang Kopi Pasar Minggu, Jakarta Selatan dan secara daring di Zoom dan Youtube. Kegiatan di awali dengan pembacaan puisi berjudul “Negara Tanpa Suara Migran: Pilpres 2024” oleh Dewi Nova. Kemudian rangkaian diskusi dimoderatori oleh Direktur Eksektif Yayasan Jurnal Perempuan, Abby Gina Boang Manalu, dengan narasumber, yaitu Wahyu Susilo (Migrant CARE), Trisna D. Y. Aresta (Migrant CARE), Ikhaputri Widiantini (Jurnal Perempuan), dan Savitri W. Wardhani (Migrant CARE). Abby Gina memberikan sambutan, dengan menjelaskan bahwa tema ini muncul atas kegelisahan bersama Jurnal Perempuan dengan Migrant CARE, yang akhirnya memutuskan untuk memberikan diskursus dan ruang desakan dari masyarakat sipil. Abby berharap kegiatan ini tidak hanya menjadi diskusi saja, tapi sebagai upaya tindak lanjut dan titik pijak untuk praktik politik kedepannya. Kemudian, Wahyu Susilo selaku Direktur Eksekutif Migrant CARE, memberikan sambutan pembuka juga dengan membahas terkait inspirasi terhadap isu yang diajukan. Wahyu mengatakan bahwa situasi Indonesia sejak pertama kali melaksanakan pemilu sebenarnya sudah mengakomodasi hak pilih bagi warga Indonesia di luar negeri. Namun dalam perkembangannya, hak politik WNI di luar negeri, terutama PPMI, justru semakin terabaikan, dan permasalahan terburuk terjadi pada tahun 2024. Berdasarkan latar belakang tersebut, isu yang di angkat pada JP 118 ini dapat mengakomodasikan diskursus terkait permasalahan yang dihadapi masyarakat kita di luar negeri, terutama perempuan pekerja migran yang selama ini termarginalkan. Selanjutnya, terdapat Pengantar Kunci yang diberikan oleh Mochammad Afifudin selaku Ketua KPU RI. Afifudin dalam pengantarnya mendorong diskusi publik seperti Pendidikan Publik JP 118 ini untuk memberi ruang terhadap kritik, dan usulan perbaikan, sehingga dapat termanifestasikan dalam pelaksanaan kebijakan. Terdapat beberapa masalah dalam Pemilu 2024, seperti di Kuala Lumpur yang tidak mendapat izin pelaksanaan pemilu, di Hongkong yang melarang adanya perkumpulan sehingga sempat ada pelarangan TPS, lalu di Jeddah terdapat kasus pemusnahan surat suara. Situasi ini cukup sulit dihadapi oleh tim KPU di luar negeri. Terlepas dari masalah tersebut, Afif mengapresiasi adanya diskusi yang mengangkat isu yang penting, terutama soal perempuan dan disabilitas. Ia berharap pemilu selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik, dengan semakin memudahkan negara dan memfasilitasi pemilih, dan masyarakat migran di luar negeri. Diskusi diawali dengan pemaparan Wahyu Susilo mengenai isu pemilu Indonesia di luar negeri sebagai arena aktivisme PPMI. Wahyu membandingkan aktivisme perempuan dalam konteks pemilu. Sejak pasca-Reformasi, sudah banyak aktivisme perempuan di dalam negeri yang berfokus pada isu pemilu, seperti dorongan pemenuhan kuota 30%, perempuan memilih perempuan, dan isu lainnya. Walaupun adanya banyak kritik, hal tersebut tentu menjadi fondasi yang kuat bagi gerakan perempuan. Secara paralel, aktivisme pekerja migran di luar negeri telah berlangsung, terutama di Hongkong dan Filipina. Terdapat batu loncatan yang penting adalah di saat mereka bisa menyuarakan suaranya di Konferensi Beijing. Namun, upaya aktivisme di dalam negeri sendiri nyatanya tidak mengartikulasikan kebutuhan PPMI di lingkup pemilu itu sendiri. Bahkan, lahirnya UU No. 18 tahun 2017 terkait pelindungan migran justru hadir dari luar Dapil Jakarta II yang membawahi suara luar negeri. Kemungkinan adanya pengabaian atas isu PPMI di Dapil Jakarta II makin menurunkan partisipasi politik PPMI di luar negeri. Lebih lanjut, Trisna D. Y. Aresta mengulas tentang pemilu luar negeri dan bagaimana letak aspirasi, dan representasi perempuan pekerja migran. Trisna menunjukkan penelitiannya melalui pemantauan pemilu oleh Migrant CARE di empat negara, yaitu Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Taiwan. Menggunakan kerangka pemikiran Nancy Fraser terkait keadilan politik feminis, penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan PPMI di luar negeri tidak terekognisi dengan baik. Melihat realitas PPMI yang tidak mengetahui calon legislatif, surat suara yang di kembalikan, dan cakupan Dapil Jakarta II yang terlalu luas. Hal tersebut setidaknya memungkinkan situasi PPMI di luar negeri tidak direkognisi dengan baik. Oleh karena itu, penelitian Trisna mendorong KPU untuk segera menjalankan mandat dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada nomor 80/PUU-XX/2022 untuk penataan dapil umun, khususnya dapil luar negeri. Kemudian, Ikhaputri Widiantini mengangkat isu pendekatan afeksi dan respons emosional yang dapat menjadi sumber kekuatan serta kesadaran politik bagi PPMI di luar negeri. Ia menyoroti bahwa pekerja migran Indonesia di sektor nonformal kerap diperlakukan seolah tidak memiliki hak, baik oleh negara tujuan maupun negara asal mereka. Kurangnya rekognisi terhadap PPMI tidak hanya terlihat dalam sistem politik, seperti pemilu, tetapi juga dalam akses terhadap partisipasi publik. Oleh karena itu, negara harus mengakui dan mengakomodasi kebutuhan PPMI dalam kebijakan publik. Penting untuk mendorong kekuatan kolektif berbasis pengalaman afektif, tuntutan rekognisi, dan identitas transnasional agar PPMI dapat membangun gerakan sosial yang unik dan transformatif. Terakhir, Savitri W. Wardhani mengulas kritiknya terhadap kebijakan 10 tahun pemerintahan Joko Widodo terkait hak-hak perempuan pekerja migran. Meskipun PPMI berkontribusi dalam hal ekonomi dan sosial bagi negara asal maupun negara tujuan, tetapi kebijakan pemerintah terkait PPMI hanya berfokus pada pembatasan pelindungan serta pemisahan kerja formal dan informal. Akibatnya, terjadi diskriminasi terhadap PPMI, terutama karena kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kebutuhan dan pengalaman mereka. Rendahnya partisipasi politik PPMI semakin memperburuk kondisi ini, sebab posisi politik mereka kerap diabaikan. Saat ini, payung hukum yang dapat melindungi pekerja migran adalah UU No. 18 Tahun 2017, tapi dalam satu dekade ini justru banyak kebijakan yang menunjukkan kurangnya usaha pemerintah untuk melindungi mereka. UU tersebut juga belum mengakui mereka sebagai subjek politik. Oleh karena itu, diperlukan perubahan dalam proses perumusan hingga implementasi kebijakan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, pekerja migran, dan sektor swasta, yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak PPMI. Nur Hidayat Sardini selaku anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Periode 2012-2017, turut memberikan tanggapan atas penjelasan yang diberikan oleh keempat narasumber. Dalam setiap negara, memiliki setidaknya tiga kekuatan, yaitu state (institusi pemerintah), private sector (swasta), dan civil society (aktor masyarakat). Selama era kepemimpinan Joko Widodo, pemisahan antara state dan non-state ini sangat kabur. Sehingga isu-isu yang telah disampaikan sebelumnya bisa menguak karena adanya peran pekerja sipil. Karena permasalahan yang selama ini muncul banyak terjadi pada isu-isu teknis yang dihadapi PMI terutama PPMI di luar negeri, sehingga isu yang saat ini tidak substansial. Nur Hidayat menekankan bahwa arah negara saat ini sangat tidak jelas, karena negara di masa depan hanya akan berfokus pada kepentingan kalangan atas daripada kepentingan umum.
Titi Anggraini sebagai Dewan Pembina Perludem juga memberikan tanggapannya terkait diskusi yang telah di paparkan narasumber sebelumnya. Ada persoalan dari hulu terkait UU Pemilu. Persoalan ini mencakup persoalan teknis, tata kelola, problem sosialisasi, profesionalisme, dan kompetensi petugas. Tidak adanya komitmen dari negara dan penyelenggara pemilu menyebabkan masyarakat tidak berfokus pada isu substantif. Terlebih lagi, adanya “broker suara” hingga korupsi melalui politik uang menambah kemunduran dalam sistem pemilu kita. UU sudah menjamin pemutakhiran berkelanjutan, tetapi pemilih di luar negeri seperti PPMI masih diekslusikan. Saat ini adalah momen yang tepat untuk memperbaiki, karena kita sedang pada periode pasca pemilu, tegas Titi. Revisi UU Pemilu harus masuk dalam Prolegnas 2025. Melalui Pendidikan Publik 118 ini, Jurnal Perempuan dan Migrant CARE melalui JP 118 diharapkan dapat memantik refleksi dan pembelajaran untuk mendesak kebijakan serta praktik demokrasi yang lebih sensitif dan berkomitmen penuh terhadap pemenuhan hak-hak PPMI. (Ajeng Ratna Komala) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |