Pada Rabu (31/7/2024) lalu, Partai Nasional Demokrat (NasDem) menyelenggarakan simposium bersama para pakar hukum perempuan sebagai rangkaian dari Pra-Kongres III. Kegiatan ini diselenggarakan secara hybrid pada Ballroom NasDem Tower, Jakarta Pusat dan platform Zoom. Bertajuk “Quo Vadis Negara Hukum: Perempuan Berbicara”, kegiatan ini mengundang 9 orang pakar, yakni Sulistyowati Irianto (Guru Besar Antropologi Hukum UI), Mamik Sri Supatmi (Pengajar Kriminolog UI), Bivitri Susanti (Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), L. G. Saraswati Putri (Pengajar Filsafat UI), Iftitah Sari (Peneliti ICJR), Jane Rosalina Rumpi (Kepala Divisi Impunitas KontraS), Atnike Nova Sigiro (Ketua Komnas HAM), Jaleswari Pramodhawardhani (Peneliti LIPI, Deputi V KSP 2016-2024), dan Nursyahbani Katjasungkana (Ketua Dewan Pembina YLBHI). Taufik Basari (Ketua DPP Partai NasDem) melalui sambutannya menyatakan, “Partai NasDem menyerap apa yang disampaikan oleh para tokoh perempuan ini agar nantinya dapat dijadikan bahan pada kongres di bulan Agustus mendatang.”
Sulistyowati Irianto membuka kegiatan dengan memaparkan perihal pentingnya keterlibatan teori feminisme dalam kerangka hukum. Lensa feminisme baginya memungkinkan adanya rekognisi atas penindasan terhadap perempuan sehingga terdapat ruang untuk mempertanyakan bagaimana akomodasi pengalaman mereka, sebagai kelompok rentan, dalam pasal-pasal tertentu. Mamik Sri Supatmi juga menerangkan kondisi sistem hukum yang belum efektif dalam melindungi perempuan. Maraknya kasus femisida yang mencerminkan bahwa kebencian, perendahan, hingga prasangka terhadap perempuan masih menjadi persoalan struktural, jelas Mamik. Senapas dengannya, Iftitah Sari turut mengeksplisitkan contoh lain dari ketidakadilan sistem hukum, yakni masih teraktualisasinya hukuman mati. Padahal, sebagai negara hukum, hak asasi manusia (HAM) seharusnya menjadi aspek yang diprioritaskan. Ketika hukuman mati dijalankan, maka sejatinya ia berbanding terbalik dengan konsepsi HAM. Keprihatinan mengenai praktik negara hukum saat ini turut dijabarkan oleh Bivitri Susanti. Melanjutkan pemaparan Iftitah Sari, eksistensi hukum baginya harus menjadi instrumen bagi keadilan dan kesejahteraan bangsa. Namun, hari-hari ini hukum dipegang oleh segelintir kelompok dengan berbagai kepentingan, sehingga alih-alih berpihak pada rakyat, hukum akhirnya hanya melanggengkan kekuasaan. Saraswati Putri menambahkan bahwa kondisi ini pada akhirnya hanya menjauhkan hukum dari prinsip keadilan. Dalam pandangannya, hukum seharusnya memuat aturan yang menegakkan keadilan daripada mempertahankan status quo. Jane Rosalina Rumpi pada gilirannya menekankan bahwa partai politik harus mengambil peran sebagai agen yang mengkritisi produk hukum. Partai politik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa hukum yang dibuat benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat dan bukan sekadar melayani kepentingan segelintir pihak. Atnike Nova Sigiro melalui gagasannya mengingatkan bahwa pengakuan hak atas keadilan merupakan perwujudan sila kedua dan kelima dalam Pancasila. Oleh karena itu, penting untuk memastikan demokrasi yang menjamin kesetaraan bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga tidak menjadi hak istimewa segelintir kelompok elit semata. Jaleswari Pramodhawardani dan Nursyahbani Katjasungkana menegaskan bahwa perumusan kebijakan perlu menjadi lebih inklusif dan berperspektif gender sehingga memastikan perempuan, serta kelompok marginal lainnya mendapatkan akses keadilan yang sama. Baginya, kebijakan yang inklusif dan berperspektif gender akan sensitif dalam mengakomodasi pengalaman kelompok rentan yang selama ini terpinggirkan. Pada penghujung kegiatan, gagasan-gagasan tersebut ditanggapi oleh anggota dewan dari berbagai fraksi, diantaranya PAN, PKS, dan PDI Perjuangan. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |