![]() Pada (18/12/2024) lalu, dalam rangka memperingati Hari Pekerja Migran Sedunia, Migrant CARE menyelenggarakan peluncuran produk pengetahuan dan publikasi di Hotel Kresna, Wonosobo. Acara ini bertujuan memperkuat advokasi, meningkatkan kesadaran publik, dan mendorong kebijakan berbasis bukti yang mendukung perlindungan serta pemberdayaan pekerja migran Indonesia. Kegiatan ini diikuti oleh komunitas penggerak DESBUMI di 7 wilayah program INKLUSI-Migrant CARE, pelaksana program INKLUSI-Migrant CARE, para champion, kepala desa, Mitra INKLUSI, Jaringan Masyarakat Sipil, pemerintah daerah, pemerintah nasional, dan media. Kegiatan peluncuran produk pengetahuan dan publikasi Migrant CARE dalam rangka Hari Pekerja Migran Sedunia 2024 menghadirkan sejumlah narasumber utama yang memberikan pandangan kritis dan strategis, di antaranya Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE), Evi Zuliani (Sindikasi), Abby Gina Boang Manalu (Jurnal Perempuan), Yanu Endar Prasetyo (Badan Riset dan Inovasi Nasional–BRIN), Lilik H.S. (Penghimpunan Pengembangan Media Nusantara–PPMN), Dewi Srikandi, perwakilan Komunitas DESBUMI, dan Daniel Awigra (Human Rights Working Group–HRWG). Dalam sambutannya, Wahyu Susilo dari Migrant CARE memulai dengan mengkritisi lemahnya komitmen pemerintah dalam melindungi pekerja migran, meskipun telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Pekerja Migran. Dia menyoroti revisi Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2017 yang hanya fokus pada perubahan nomenklatur kelembagaan tanpa memperkuat implementasi perlindungan berbasis HAM. Wahyu juga mencatat tantangan baru di era transformasi digital, seperti meningkatnya kasus perdagangan manusia dan eksploitasi berbasis teknologi. Pernyataan Wahyu tersebut menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap kebijakan migrasi yang lebih responsif terhadap kebutuhan pekerja migran. Hal ini mencakup penyediaan akses keadilan, penguatan tata kelola migrasi, dan integrasi perlindungan pekerja migran dalam agenda pembangunan nasional. Evi menyoroti pentingnya narasi pengalaman perempuan pekerja migran sebagai alat advokasi. Dia mengapresiasi peran perempuan dalam komunitas lokal yang mampu mempertahankan usaha mikro hingga tiga tahun meskipun terbatas pada pasar lokal. Evi juga menekankan pentingnya dukungan pemerintah untuk memperluas jangkauan usaha mereka. "Ketangguhan perempuan pekerja migran dalam membangun usaha mikro harus diapresiasi. Sebanyak 71 persen usaha yang dikelola perempuan purna migran masih berjalan setelah tiga tahun, meskipun 98 persen pasarnya masih lokal. Dukungan pemerintah untuk memperluas jangkauan usaha ini sangat dibutuhkan," ujar Evi. Pernyataan Evi menunjukkan pentingnya dukungan pemerintah daerah untuk membantu usaha mikro naik kelas, misalnya melalui pelatihan kewirausahaan, akses pembiayaan, dan pemasaran. Dukungan ini tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi lokal tetapi juga memperkuat kemandirian perempuan pekerja migran. Selanjutnya, Abby memperkenalkan dan mempresentasikan Jurnal Perempuan edisi 118 tentang Hak Politik Perempuan Pekerja Migran. Edisi ini mengupas tantangan partisipasi politik perempuan pekerja migran, seperti kurangnya sosialisasi, administrasi yang rumit, dan tidak adanya dukungan kebijakan yang memadai. Edisi ini juga mengusulkan pembentukan daerah pemilihan khusus luar negeri untuk memperkuat representasi politik perempuan pekerja migran. Abby juga menggarisbawahi kurangnya data dan penelitian yang mendalam tentang kelompok ini. Pemaparan Abby sekaligus menunjukkan pentingnya reformasi kebijakan untuk menciptakan partisipasi politik yang lebih inklusif. Aksi ini membutuhkan langkah strategis, seperti sosialisasi yang intensif di komunitas pekerja migran dan fasilitasi administrasi pemilu. Abby menekankan bahwa kolaborasi Jurnal Perempuan dengan Migrant CARE bertujuan untuk menciptakan diskursus feminis yang mendorong reformasi kebijakan dan aksi nyata, terutama dalam memastikan partisipasi perempuan pekerja migran yang lebih inklusif dalam politik. Paparan dilanjutkan oleh Yanu yang mempresentasikan hasil survei potensi ekonomi purna migran. Survei ini menunjukkan 71 persen usaha mikro yang dikelola perempuan pekerja migran masih berjalan setelah tiga tahun. Dia merekomendasikan pemerintah daerah untuk memberikan dukungan lebih agar usaha-usaha ini dapat berkembang ke pasar regional. Survei panel yang dilakukan Migrant CARE menjadi contoh metode penelitian yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan organisasi lain untuk memahami dinamika ekonomi purna migran. Hasil ini dapat menjadi dasar pengembangan kebijakan yang lebih tepat sasaran, seperti dukungan UMKM dan insentif bagi usaha mikro. Buruknya tata kelola pemilu bagi pekerja migran, baik di luar negeri maupun dalam negeri, disoroti oleh Lilik. Dia menyebutkan bahwa banyak pekerja migran yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau menghadapi kendala administrasi, sehingga mereka kehilangan hak suara. "Newsletter Migrant CARE mengungkap carut-marut tata kelola pemilu bagi pekerja migran. Pemantauan yang dilakukan oleh komunitas pekerja migran menyerupai praktik jurnalisme warga, yang menjadi upaya penting dalam mengontrol kebijakan publik terkait hak politik mereka," ujar Lilik memuji peran aktif komunitas pekerja migran dalam mendokumentasikan ketimpangan tata kelola pemilu. Lilik melihat potensi besar dari pekerja migran untuk mengambil peran sebagai jurnalis warga. Dia mendorong pekerja migran untuk mendokumentasikan dan menyuarakan pengalaman mereka melalui media sosial atau platform lain, sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran publik dan mendorong perubahan kebijakan Acara ini menegaskan bahwa pekerja migran, khususnya perempuan, memiliki peran signifikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial, baik di tingkat lokal maupun global. Namun, pengakuan dan perlindungan yang mereka dapatkan masih jauh dari memadai. Kolaborasi antara komunitas, pemerintah, dan organisasi seperti Migrant CARE diharapkan mampu menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis keadilan gender.
Sinergi antara pemerintah, komunitas, dan organisasi masyarakat untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan pekerja migran sangatlah penting. Publikasi dan survei yang diluncurkan menjadi dasar penting untuk advokasi perlindungan dan pemberdayaan pekerja migran, terutama perempuan, dalam menghadapi tantangan global dan lokal. Kolaborasi lintas sektor ini diharapkan tidak hanya menjadi momentum refleksi tetapi juga langkah konkret menuju masa depan pekerja migran yang lebih bermartabat dan berkeadilan. Peluncuran produk pengetahuan ini tidak hanya menjadi ajang refleksi, tetapi juga momentum untuk menyatukan langkah menuju masa depan pekerja migran yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |