Dok. Jurnal Perempuan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bekerjasama dengan INKLUSI untuk mengadakan acara diskusi dengan tajuk “Kegiatan Peluncuran dan Bedah Buku Pesantren Ramah Anak”, Selasa (8/7/2025). Acara ini membedah dua buku, yakni Menuju Pesantren Ramah Anak dan Menjaga Marwah Pesantren. Kedua buku ini merupakan hasil penelitian dari sebuah tim penelitian yang terdiri dari Windy Triana, Haula Noor, Narila Mutia Nasir, Aptiani Nur Jannah, Savran Billahi, Grace Sandra Pramesty Rachmanda, Bambang Ruswandi, Fikri Fahrul Faiz, Dedy Ibmar, dan Citra Dwikasari. Dalam peluncuran dan bedah buku kali ini, Windy dan Haula menjadi pembicara dan memaparkan hasil temuan mereka dalam proses penelitian. Windy menjelaskan bahwa buku pertama, Menuju Pesantren Ramah Anak, adalah buku utama yang mereka kerjakan selama 2 tahun. Mulai dari tahun 2023, Windy dan seluruh peneliti mengumpulkan data di 90 pesantren yang tersebar dalam 34 provinsi di Indonesia dan melibatkan 1800 responden yang terdiri dari santri dan guru. Selanjutnya, pada 2024, penelitian lanjutan secara kualitatif melalui wawancara mendalam telah dilakukan terhadap 17 pesantren dan 12 lembaga di 13 provinsi di Indonesia. Penelitian kualitatif ini melibatkan 170 informan yang terdiri dari santri, guru, kiai, nyai dan perwakilan lembaga terkait. Penelitian ini mereka lakukan sebagai salah satu langkah para peneliti sebagai alumni sekolah pesantren dan melihat bahwa ada tantangan di dalam pesantren itu sendiri. Windy menjelaskan bahwa mereka harus sangat berhati-hati dalam melakukan penelitian ini karena mereka meneliti isu yang sensitif dan objek penelitiannya merupakan anak-anak. “Termasuk juga pada bagaimana kami mengkomunikasikan hasil penelitian ke publik (kami sangat berhati-hati—red), itu alasan kami kenapa kami melakukan forum-forum secara parsial,” terang Windy. Bahkan, selama proses penelitian dirinya dan seluruh tim peneliti didampingi juga oleh pihak Kementerian Agama, Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPAI), sampai dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Lewat pendampingan dari lembaga-lembaga negara ini, mereka juga menanyakan apa kebutuhan dari lembaga-lembaga ini sehingga hasil penelitian tersebut bisa bermanfaat dalam membentuk kebijakan. Benar saja, hasil penelitian ini akhirnya diturunkan dalam Peraturan Kementerian Agama No. 91 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak. Sebagai alumni dari pesantren, Windy menyampaikan bahwa tim peneliti adalah bagian dari pesantren dan mereka ingin mengembangkan proses pendidikan di dalam pesantren. Pasalnya, mereka menilai bahwa pesantren menjadi salah satu institusi pendidikan yang penting di Indonesia. Mereka menemukan bahwa setidaknya pesantren mendidik lebih dari 4 juta siswa/i di seluruh Indonesia. Haula mengamini pernyataan Windy. Sebagai orang yang tumbuh di lingkungan pendidikan, Haula juga menemukan bahwa apa yang ia alami saat masih di pesantren masih terjadi hingga saat ini. Bahkan, dalam hasil penelitian merek, ia memaparkan bahwa mereka mendapatkan sebanyak 43.497 atau sekitar 1,06 persen populasi santri berpotensi rentan terhadap kekerasan seksual. Dari jumlah populasi ini, santri pria menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap kekerasan seksual terhadap santri putri. Di lain sisi, buku kedua mereka, Menjaga Marwah Pesantren, dijelaskan oleh Windy sebagai buku healing mereka saat melakukan penelitian selama 2 tahun. Ia menjelaskan bahwa saat meneliti isu tentang kekerasan seksual yang terjadi di dalam pesantren, mereka sebagai peneliti juga mendapatkan dampak second trauma. Sebagai Koordinator Peneliti, Windy masih tak kuasa untuk membacakan hasil penelitian mereka karena tingginya kerentanan anak-anak untuk hidup dalam lingkungan yang aman di dalam pesantren. “Proses melakukan penelitian ini tidak mudah,” ucapnya.
Adanya beban moril dan mental yang muncul saat melakukan penelitian membuat para peneliti membutuhkan tempat refleksi. Buku kedua ini menjadi tempat refleksi mereka, bahkan untuk mengungkapkan keraguan dan keresahan yang tersisa dalam diri mereka, tetapi belum disampaikan di dalam buku utama. Falikul Isbah, Dosen Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) turut hadir dalam peluncuran buku ini memberikan ulasan tentang buku secara langsung. Ia yang kebetulan juga alumni santri mengimani hasil penelitian dalam buku pertama. “Di pesantren memang ada titik-titik kerawanannya,” ungkapnya. Falikul juga mengapresiasi bagaimana penelitian ini dilakukan. Musababnya, penelitian ini merupakan penelitian interdisipliner dan semakin menantang saat mereka harus membahas isu kekerasan seksual. Terlebih saat ia membaca buku tersebut ia menemukan fakta bahwa beberapa informan hidup dalam pemahaman bahwa kekerasan seksual adalah zina. Saat kekerasan seksual terjadi, korban harus membuktikan kekerasan yang mereka dapatkan. “Loh? Dari saya mikir, berarti ini topik yang menantang bagi ilmu hukum Islam,” herannya. Musababnya, dengan adanya penelitian ini, pendekatan kepada hukum Islam bisa berubah perihal perzinahan dan perkosaan. Falikul menjelaskan bahwasannya selama ini memang ada pemaknaan yang salah kaprah, korban perkosaan malah dinikahkan karena pemahaman bahwa kekerasan seksual adalah zina. Dengan adanya penelitian ini, ada implikasi yang positif terhadap penanganan kekerasan seksual. Sebagai seorang sosiolog, Falikul melanjutkan ulasannya bahwa ia merasa kaget bahwa memang masih ada praktik objektivisme dan esensialisme oleh ustadzah di lingkungan pesantren. Ia menyayangkan bahwa perempuan harus dijadikan sebagai satu-satunya objek yang bertanggung jawab dalam kekerasan seksual. Kekerasan seksual masih dianggap terjadi karena perempuan tidak bisa menjaga diri, menjaga aurat, dan sebagainya. Wacana tersebut membuat Falikul menilai bahwa pemerintah memang belum menyentuh titik pendidikan gender ke dalam masyarakat. Lebih jauh lagi, Falikul menyebutkan bahwa pesantren-pesantren yang memiliki indikasi tidak ramah terhadap anak adalah pesantren dengan tingkat komunikasi dengan orang tua yang minim. Ia menjelaskan bahwa beberapa pesantren memang hanya memiliki saluran komunikasi yang kecil dari dunia luar. Padahal dalam pertimbangannya, saluran komunikasi ini merupakan sektor yang paling krusial bagi anak. Kemudian, Widi Laras Sari dari PUSKAPA Universitas Indonesia (UI) juga menyampaikan ulasannya tentang buku kedua. “Saat saya membaca buku itu, saya banyak tersenyum karena menurut saya ini hebat sekali,” ungkapnya. Dalam meneliti isu sensitif ini, para peneliti bisa melakukan pendekatan yang cukup baik kepada anak-anak di pesantren, terlebih harus menantang otoritas keagamaan. Dengan adanya buku kedua ini, ia mengatakan bahwa refleksi para peneliti bisa membantu pemetaan asal bias yang muncul dalam memberikan ruang aman dan ramah terhadap anak di lingkungan pendidikan. Terutama di lingkungan pesantren yang tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama dengan sekolah-sekolah umum. Dengan pendekatan para peneliti yang juga menggunakan sisi emosional dan memiliki kedekatan mental dengan lingkup penelitiannya menjadi tempat untuk memberikan validitas data yang lebih kuat lagi. Sebagai seorang peneliti yang juga masuk dalam isu kekerasan seksual, Widy memaparkan bahwa mereka hanya meneliti di sekolah umum dan orang tua mulai memilih memasukkan anaknya ke dalam pesantren daripada sekolah umum. Banyaknya orang tua yang memasukkan anaknya ke dalam pesantren dikarenakan alasan penitipan anaknya untuk mendapatkan pendidikan keagamaan. Namun, Haula menyampaikan bahwa mereka masih menemukan pola tersebut hingga saat ini. Saat anaknya dimasukkan ke dalam lingkungan pendidikan pesantren untuk mendapatkan ajaran agama agar keluar dari pesantren bisa menjadi seseorang yang memiliki etika dan moral. Namun, ia menyampaikan bahwa saat sang anak berada di dalam lingkungan tersebut anak tersebut justru dididik dengan cara yang tidak etis dan tidak bermoral. Dengan kondisi yang mereka temukan, Haula menyampaikan bahwa pesantren memiliki sikap dan respons yang beragam. Mereka menemukan bahwa ada pesantren yang menanganinya dengan cara kekeluargaan ataupun mengundang institusi lain untuk terlibat dalam penyelesaian masalahnya. Namun, dalam praktik kekeluargaan yang dilakukan, ia menyayangkan bahwa saat seorang anak yang masih di bawah umur diminta untuk menyelesaikan masalah tanpa mengundang orang tuanya. “Korban itu adalah minor, anak yang tidak punya kuasa, dan ini banyak terjadi,” mirisnya. Windy juga menjelaskan lebih dalam lagi bahwa dalam praktik penanganan masalah ini, keterbukaan korban untuk melapor juga minim, terutama pada santri laki-laki. Hal ini menyebabkan santri laki-laki jauh lebih rentan untuk mendapatkan kekerasan. Haula menyebutkan memang, pembulian terhadap perempuan sering mengarah kepada kekerasan seksual, tetapi perempuan dalam penelitian mereka ditemukan jauh lebih mau mengadukan ketidakadilan yang mereka dapatkan. Pada sisi yang lain, laki-laki tidak melakukan hal yang demikian, terutama anak laki-laki yang gemulai dan memiliki sisi feminin. Windy menjelaskan bahwa mereka menemukan anak-anak laki-laki yang terlihat feminim menjadi target bullying dan mereka akan memilih untuk tidak melaporkannya. Hal ini diakibatkan adanya toxic masculinity yang sudah berakar di dalam masyarakat, akibatnya jika ada praktik perundungan pada anak-anak laki-laki, hal itu dianggap tidak serius. Bahkan, saat ada perundungan ini, mereka akan menganggapnya itu adalah bercandaan anak laki-laki, yang padahal itu merupakan bagian dari kekerasan. Oleh karenanya, Haula menekankan bahwa memang perlu keterbukaan pesantren dalam menangani masalah. Adanya pendekatan dari penelitian ini, harapannya akan memberikan ruang yang baik dalam pengembangan lingkungan pendidikan yang aman bagi anak. Dengan adanya penelitian ini bisa menunjukkan bahwa banyak praktik-praktik pengeksploitasian dan kekerasan terhadap anak di dalam lingkungan pendidikan yang belum menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pemerintahan. Windy menyampaikan bahwa negara memiliki pekerjaan rumah untuk menyeragamkan sumber daya di setiap daerah dalam penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, mulai dari tahap pendampingan hingga pemulihan para korban. (Ester Veny Novelia Situmorang) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed