Pada Sabtu (23/11/2024), Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga menggelar sebuah kegiatan bertajuk “Memahami Interseksionalitas dalam Kajian Perspektif Feminisme: Upaya Membaca Kerentanan Perempuan dan Kelompok Marginal”. Kegiatan ini menghadirkan Dr. Abby Gina Boang Manalu, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, sebagai narasumber utama, dengan Ieawati Azizah bertindak sebagai moderator. Acara ini dihadiri oleh dosen dan mahasiswa, acara ini membahas tema interseksionalitas yang relevan dalam upaya memahami kompleksitas ketidakadilan sosial, khususnya yang dialami perempuan dan kelompok rentan. Pada awal paparan materi, Abby memutarkan video pendek yang menampilkan tarian Haka, sebuah tradisi dari suku Maori di Selandia Baru. Tarian ini dalam video digunakan sebagai bentuk protes terhadap undang-undang kontroversial yang dianggap mengabaikan hak-hak budaya lokal. Contoh ini menunjukkan bagaimana kolonialisme yang tampaknya sudah berakhir secara formal, masih meninggalkan dampak yang signifikan terhadap masyarakat adat. Abby menekankan bahwa tarian tersebut mencerminkan perjuangan kelompok yang selama ini termarginalkan untuk menentang kebijakan yang bersifat universal tetapi gagal mengakomodasi konteks budaya dan identitas lokal.
Interseksionalitas adalah sebuah kerangka berpikir yang digunakan untuk memahami bagaimana berbagai aspek identitas seseorang seperti gender, ras, kelas, orientasi seksual, usia, dan kemampuan fisik dapat menghasilkan bentuk-bentuk penindasan yang spesifik. Dengan kata lain, diskriminasi tidak pernah terjadi dalam satu dimensi tunggal. Sebagai contoh, perempuan kulit hitam di Amerika Serikat menghadapi diskriminasi yang berbeda dari perempuan kulit putih karena mereka tidak hanya menghadapi seksisme, tetapi juga rasisme. Abby juga menyinggung pemikiran feminis Afro-Amerika yang menegaskan bahwa penindasan tidak hanya berasal dari gender, tetapi juga kombinasi dari faktor-faktor seperti kelas sosial dan ras. “Interseksionalitas mengajarkan kita untuk berpikir kritis tentang bagaimana identitas kita berinteraksi dengan cara dunia memperlakukan kita,” ujar Abby. Dalam penjelasannya, Abby menguraikan konsep gender sebagai sesuatu yang cair dan performatif, merujuk pada gagasan Judith Butler. Gender, menurut Abby, bukanlah siapa kita secara biologis, melainkan apa yang kita lakukan dan bagaimana kita dipersepsikan oleh masyarakat. Gender selalu dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan budaya, serta tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor lain seperti usia, orientasi seksual, etnis, agama, dan kemampuan fisik. Abby menekankan pentingnya memahami bahwa kerentanan yang dialami perempuan bukanlah sebuah pengalaman yang homogen. Misalnya, kebutuhan seorang perempuan muda yang tinggal di perkotaan akan berbeda dengan kebutuhan seorang perempuan tua dari komunitas adat. Oleh karena itu, upaya untuk mencapai kesetaraan gender harus mempertimbangkan kompleksitas ini. Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan ini juga mengenalkan pemikiran Patricia Hill Collins, seorang feminis Afro-Amerika yang menekankan pentingnya dialog untuk menjembatani kesenjangan epistemologis. Collins mendorong kelompok-kelompok terpinggirkan untuk menyuarakan pengalaman mereka sendiri dan mempertahankan perspektif unik mereka. Dialog, menurut Collins, tidak hanya menjadi alat untuk berbagi pengetahuan, tetapi juga untuk menciptakan ruang pemberdayaan dan pengakuan terhadap keragaman pandangan. Sebagai contoh, Collins menunjukkan bahwa perempuan kulit hitam di Amerika Serikat memiliki pengalaman yang berbeda dalam mengakses layanan kesehatan seksual dan reproduksi dibandingkan dengan perempuan kulit putih. Interseksionalitas, dalam konteks ini, menjadi alat untuk memahami bagaimana faktor-faktor seperti ras dan kelas memengaruhi akses terhadap hak-hak dasar. Abby menjelaskan lebih lanjut tentang asal-usul istilah interseksionalitas yang pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw pada tahun 1989 melalui esai monumental berjudul “Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory, and Antiracist Politics”. Dalam esai tersebut, Crenshaw mengkritik bagaimana perjuangan keadilan sering kali terkotak-kotakkan, memisahkan isu gender dan ras menjadi entitas yang berdiri sendiri. Perspektif ini, menurut Crenshaw, gagal menangkap kompleksitas pengalaman individu yang terpinggirkan. Dengan memperkenalkan konsep interseksionalitas, Crenshaw berupaya menunjukkan bahwa bentuk-bentuk diskriminasi tidak bekerja secara terpisah, melainkan saling berkelindan, menciptakan pengalaman penindasan yang unik bagi mereka yang berada di persimpangan identitas sosial, seperti perempuan kulit hitam yang menghadapi rasisme dan seksisme secara bersamaan. Salah satu contoh penting yang diangkat oleh Crenshaw adalah kasus diskriminasi di perusahaan General Motors pada tahun 1970-an. Dalam kasus ini, perempuan kulit hitam menghadapi hambatan untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut. Meskipun General Motors mempekerjakan laki-laki kulit hitam untuk pekerjaan kasar dan perempuan kulit putih sebagai sekretaris, perempuan kulit hitam tidak dipekerjakan sama sekali. Ini menunjukkan adanya diskriminasi berbasis gender dan ras secara bersamaan. Ketika kasus ini diajukan ke pengadilan, hakim tidak memahami bagaimana diskriminasi ganda ini beroperasi. Sistem hukum saat itu menganggap bahwa karena perusahaan tersebut mempekerjakan laki-laki kulit hitam dan perempuan kulit putih, klaim diskriminasi dari perempuan kulit hitam tidak memiliki dasar. Kasus ini mencerminkan bagaimana struktur hukum dan sosial sering kali gagal mengakui kompleksitas identitas dan kerentanan individu yang berada di persimpangan identitas. Dalam konteks Indonesia, Abby menghubungkan konsep interseksionalitas ini dengan berbagai bentuk diskriminasi yang sering kali tidak terlihat secara eksplisit tetapi hadir dalam bentuk hambatan struktural. Ia memberikan contoh, yaitu perempuan dari komunitas adat yang kerap menghadapi kesulitan dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan. Faktor seperti lokasi geografis yang terpencil, nilai-nilai budaya yang patriarkal, serta stereotip gender memperburuk situasi mereka. Misalnya, perempuan dari komunitas adat sering kali diharapkan untuk menjalankan peran tradisional, sehingga aspirasi pendidikan mereka diabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi tidak hanya berbasis gender, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek lain seperti etnisitas, kelas sosial, dan akses geografis. Abby menekankan bahwa memahami dan mengatasi hambatan-hambatan ini membutuhkan kerangka interseksionalitas untuk melihat masalah secara menyeluruh dan inklusif. Di Indonesia, interseksionalitas juga relevan dalam melihat bagaimana perempuan dari latar belakang berbeda menghadapi kendala yang unik. Sebagai contoh, perempuan penyandang disabilitas mungkin menghadapi diskriminasi tidak hanya karena gender, tetapi juga karena keterbatasan fisik mereka yang sering kali tidak diakomodasi oleh kebijakan pemerintah. Abby juga membahas bagaimana interseksionalitas membantu memahami kompleksitas dalam kasus kekerasan domestik. Perempuan dari kelompok minoritas, seperti perempuan imigran atau perempuan berwarna, menghadapi hambatan tambahan seperti kendala bahasa, status imigrasi, dan ketidakpercayaan terhadap otoritas. Sistem hukum sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan unik mereka, yang membuat mereka semakin rentan terhadap kekerasan. Dalam konteks ini, interseksionalitas menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana berbagai bentuk diskriminasi saling terkait dan menciptakan hambatan struktural yang lebih besar. Negara, menurut Abby, harus hadir untuk memastikan bahwa keadilan sosial tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar diwujudkan dengan mengenali dan mengatasi hambatan-hambatan ini. Abby menutup sesi dengan menekankan bahwa interseksionalitas adalah alat yang sangat penting untuk memahami penindasan yang kompleks dan menciptakan kebijakan yang inklusif. Interseksionalitas membantu menghindari esensialisme pandangan yang menyamaratakan pengalaman semua perempuan dan merayakan keragaman pengalaman yang ada. Lebih dari itu, kerangka ini juga mendorong solidaritas yang lebih mendalam untuk melawan ketidakadilan sosial. Dengan memahami interseksionalitas, gerakan feminisme dapat lebih efektif dalam memperjuangkan kesetaraan gender yang inklusif dan kontekstual. Abby mengajak para peserta untuk terus mendalami konsep ini dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam penelitian akademis maupun dalam advokasi sosial. “Interseksionalitas adalah tentang melihat dunia dengan lensa yang lebih luas, memahami kerentanan yang dialami oleh setiap individu, dan memperjuangkan keadilan yang benar-benar inklusif,” pungkasnya. Dengan demikian, kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana pembelajaran, tetapi juga membuka wawasan peserta untuk lebih peka terhadap kompleksitas ketidakadilan sosial di sekitar mereka. (Try Suriani Loit Tualaka) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |