Merayakan 40 Tahun Kalyanamitra: Ruang Refleksi, Perlawanan, dan Harapan Gerakan Feminisme Indonesia27/5/2025
![]() Pada Sabtu (24/5/2025), Yayasan Kalyanamitra memperingati hari ulang tahun yang ke-40 tahun sejak pertama kali didirikan pada 28 Maret 1985. Perjuangannya sebagai salah satu lembaga feminis non-pemerintah yang independen, Kalyanamitra mengusung tajuk “Hidup Menghidupi Feminisme” dalam merayakan hari kelahirannya. Perayaan ini telah menjadi ruang refleksi lintas generasi atas capaian, tantangan, perlawanan, serta arah gerakan feminisme ke depan dalam lanskap sosial politik yang terus berubah. Dihadiri oleh organisasi masyarakat sipil seperti Yayasan Jurnal Perempuan, Arus Pelangi, Aliansi Laki-Laki Baru, akademisi, penyintas pelanggaran HAM 1998, dan berbagai media feminis Indonesia. Acara yang diselenggarakan di Perpustakaan Pusat Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat ini menampilkan talk show, pertunjukan pembacaan puisi, paduan suara oleh Dialita, bazaar, pameran sejarah gerakan Kalyanamitra. Lebih dari sebuah perayaan, acara ini menjadi forum strategis untuk memperkuat solidaritas dan mengartikulasikan strategi gerakan feminisme dalam menghadapi tantangan masa kini dan mendatang. Kamala dari Rukun Bestari membuka diskusi dengan menggambarkan dinamika gerakan perempuan sejak Orde Baru hingga masa Reformasi. Ia menyoroti betapa perjalanan gerakan feminis penuh dengan benturan terhadap struktur kekuasaan dan nilai-nilai konservatif. Mulai dari pengesahan Undang-Undang Pornografi hingga kegagalan penuntasan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, gerakan feminis di Indonesia telah berkali-kali diuji dan demokrasi di Indonesia terlihat cenderung semakin mengalami kemunduran. Kamala juga menjelaskan bahwa lahirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) adalah hasil baik perjuangan feminis, tetapi sekaligus memantik gerakan anti feminis yang hari ini semakin vokal dan terorganisasi. Kamala mencermati poly crisis seperti krisis iklim, krisis geopolitik, krisis berpikir kritis, krisis ekonomi, dan lain sebagainya yang berdampak langsung pada kehidupan perempuan. Gerakan feminis tidak bisa lagi terjebak dalam cara pandang sektoral. Kita harus membangun cara pikir dan cara hidup yang otonom, mandiri, tidak bergantung pada donor, dan sadar bahwa ini adalah gerakan politik yang menantang struktur. Suara dari akar rumput disampaikan oleh perwakilan Aliansi Laki-Laki Baru sekaligus Gema Alam dari Lombok Timur. Sebagai salah satu perwakilan, Juaini menggambarkan bagaimana perempuan di desanya sangat aktif secara ekonomi, mereka berjualan, bekerja, bahkan menentukan produk yang dijual. Namun, ketika menyangkut pengambilan keputusan terkait komoditas tanaman peran perempuan cenderung diabaikan. Rapat-rapat biasanya diadakan malam hari oleh laki-laki, dan itu membuat perempuan sulit untuk hadir. Laki-laki harus sadar bahwa sistem ini tidak adil, pelibatan substantif perempuan dalam musyawarah sangat penting Selain itu Juaini menambahkan bahwa toxic masculinity justru merugikan laki-laki juga. “Kami ingin tumbuh sebagai laki-laki yang utuh yang bisa menunjukkan sisi feminin kami juga,” ujar Juaini. Juaini juga menegaskan bahwa Aliansi Laki-Laki Baru lahir dari rahim gerakan perempuan dan tugas laki-laki hari ini adalah melanjutkan perjuangan tersebut dengan kesadaran penuh akan pentingnya memahami dampak patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Sartika, seorang pegiat komunitas feminis lokal dan akademisi, turut berbagi keresahannya tentang ruang akademik yang ia nilai semakin kaku dan terpolarisasi oleh tuntutan performa. Pendidikan saat ini lebih mendorong mahasiswa untuk fokus mencapai target-target besar karena biaya sudah dikeluarkan dan mengabaikan isu kesehatan mental. Sartika juga mengkritisi minimnya ruang terbuka dan validasi terhadap kesehatan mental mahasiswa. Berdasarkan pengalamannya, komunitas feminis di Yogyakarta yang ia temui dapat menjadi ruang aman baginya untuk mengekspresikan diri dan berpandangan terkait isu gender dan feminisme. “Bagi saya, feminisme bukan hanya soal pendekatan dan teori. Feminisme membantu saya menentukan jalan hidup, cara berpikir, dan posisi kita dalam kehidupan sehari hari. Feminisme hadir dalam ranah ranah personal sehingga bisa jadi gerakan kolektif karena kita punya kesamaan pengalaman dalam kekerasan berbasis gender,” tambah Sartika. Nurdiyansah selaku aktivis/penulis queer dan manajemen tim Project Multatuli menyampaikan pentingnya membangun koalisi antara feminisme dan gerakan queer. Nurdiyansah juga sempat sedikit mengulas sejarah pendirian organisasi LGBT pertama di Indonesia, yakni Kelompok Gay Nusantara pada tahun 1982, yang kemudian melemah akibat dominasi perspektif konservatif di tahun 1990-an. Ia menekankan bahwa queer bukan hanya soal melawan sistem patriarki, tetapi juga pandangan cisnormativitas dan heteronormativitas. Ia juga mengingatkan ancaman konservatisme dalam gerakan feminis itu sendiri, seperti pada fenomena Trans Exclusionary Radical Feminism (TERF) yang terjadi di luar negeri, yang juga mulai terlihat di Indonesia. Luviana Ariyanti, Pemimpin Redaksi Konde.co dan aktivis AJI Indonesia, menutup sesi dengan menggambarkan tantangan dalam menyampaikan isu feminisme melalui media. Luviana menekankan pentingnya strategi kampanye digital yang mampu menggambarkan isu kompleks menjadi materi edukatif secara cepat dan mudah dipahami di media sosial oleh pembaca. Luviana juga menekankan urgensi strategi kampanye di media dalam memperkuat gerakan feminis. Ia menyoroti bagaimana konsolidasi media yang efektif justru datang dari kelompok-kelompok seperti buruh dan pekerja rumah tangga (PRT). Empat dekade Kalyanamitra menandai lebih dari sekadar peringatan. Ia adalah ajakan untuk kembali menyusun kekuatan politik gerakan feminis secara kolektif dan lintas sektor. Dengan memperkuat koalisi, membangun ruang-ruang aman, dan terus mengartikulasikan pengalaman perempuan ke dalam kebijakan publik, feminisme Indonesia dapat menjawab tantangan zaman dan tetap menjadi gerakan yang hidup dan menghidupi. Perjuangan ini masih panjang, tetapi penuh harapan. (Putu Gadis Arvia Puspa)
Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
May 2025
Categories |