Dok. Jurnal Perempuan Di tengah meningkatnya kritik publik terhadap kinerja kepolisian, berbagai kalangan akademisi mulai mendorong diskusi yang lebih serius mengenai arah reformasi institusi Polri. Salah satunya melalui Seminar Nasional “Ke Mana Arah Reformasi Kepolisian?” yang diselenggarakan pada Rabu (8/10/2025) di IASTH Lantai 5 Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Jakarta Pusat. Acara ini merupakan kolaborasi antara Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) SKSG UI dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK POLRI, yang menghadirkan berbagai narasumber dari lintas disiplin; akademisi, aktivis, hingga perwakilan Polri. Ir. Maureen Pomsar, sebagai Perwakilan Direktur SKSG UI, membuka seminar dengan menekankan pentingnya momentum ini untuk menjembatani aspirasi masyarakat dan kebutuhan institusi penegak hukum. “Kita ingin menghimpun ide-ide untuk merancang realisasi arah reformasi kepolisian yang berbasis kajian ilmiah dan sesuai dengan undang-undang di Indonesia,” ujarnya. Dimoderatori Dr. Sylvia Prisca Delima, Pengajar KIK SKSG UI, seminar ini bertujuan menghimpun gagasan dan kajian ilmiah sebagai dasar penyusunan policy brief reformasi kepolisian di Indonesia. Sebagai alat negara yang berperan menjaga keamanan dan mengayomi masyarakat, sudah seharusnya Polri menindaklanjuti berbagai kasus pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh hampir seluruh personelnya. Narasumber pertama, Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum UI, mengangkat tema “Reformasi Polri: Mendekatkan Keadilan Hukum dan Keadilan Rakyat”. Ia menyoroti bagaimana dinamika global dan gerakan masyarakat sipil di berbagai negara, termasuk Sri Lanka, Nepal, hingga gerakan solidaritas global untuk Palestina, mencerminkan fenomena “borderless state, borderless law”. Menurutnya, globalisasi tidak hanya menghubungkan ekonomi dan politik, tetapi juga nilai-nilai hukum dan kemanusiaan. Sebagai kelompok yang terpapar fenomena global tersebut, generasi muda (khususnya Gen Z) mulai kritis dalam membaca permasalahan lokal dan nasional. Sulis mengatakan mereka menjadi kelompok yang paling terdampak dari timpangnya kebijakan negara namun kerap dikambinghitamkan, “Indonesia ini sedang tidak baik-baik saja, dan mereka yang paling merasakan. Sukar mencari kerja, kemiskinan meningkat, tutupnya industri dan larinya investor, sehingga kelompok menengah turut menjadi kelompok miskin.” Dari keresahan itu, muncul gerakan aksi massa yang diinisiasi generasi muda. Namun, gerakan mereka memiliki pola sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Para Gen Z tidak lagi bergerak berdasarkan arahan pemimpin, melainkan keyakinan atas nilai-nilai yang mereka anggap benar, termasuk ketika menghadapi tindakan represif aparat. Merespons pemaparan Sulis, Ketua Lemdiklat Polri, Komjen Pol. Chrysnanda Dwilaksana, menyoroti prinsip dasar dalam Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai fondasi moral Polri. Keduanya adalah pedoman moral dan etika dasar yang menuntun perilaku, sikap, dan pengabdian polisi dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, Chrysnanda menekankan refleksi internal dan akuntabilitas moral sebagai reformasi Polri. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pelatihan literasi moral di lembaga pendidikan Polri (Lemdiklat) untuk membentuk habitus baru yang beradab dan mendidik. Karena perubahan ini tak akan bisa terlaksana dalam waktu yang sebentar. Ia perlu terus diupayakan agar terciptanya polisi yang bekerja secara nurani, bukan dengan “otot”-nya. Karena, Polri yang selama ini kita kenal hampir selalu mengandalkan ekspresi maskulinitas dalam menunjukkan kekuasaan atau wibawa. Namun, membicarakan isu Polri tak lepas dari momen Reformasi. Hermawan Sulistyo, Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta, menyoroti perjalanan panjang reformasi yang ia sebut sebagai proses penuh korban dan kesalahan kekuasaan. Menurutnya, pada Orde Baru, kekuasaan yang terlalu absolut membuat lingkaran setan tak berkesudahan: tentara menindas polisi, yang pada akhirnya polisi menindas rakyat. Karena itu, pemisahan polisi dari militer menjadi langkah penting agar institusi kepolisian tidak lagi berada di bawah bayang-bayang militer. Lelaki yang akrab disapa Prof. Kiek ini menjelaskan bahwa reformasi kepolisian meliputi tiga aspek, yaitu (1) instrumental dengan penataan ulang infrastruktur hukum dan UUD, (2) struktural melalui perubahan pangkat, serta (3) kultural sebagai aspek yang paling sulit karena perlu mengubah mentalitas polisi dari militeristik menjadi perspektif sipil. Ia menegaskan bahwa senjata tidak boleh diarahkan kepada warga sipil, dan penanganan kerusuhan harus dilakukan secara manusiawi tanpa mencederai masyarakat. Sementara itu, Dr. Riska Sri Handayani, Pengajar KIK SKSG UI, mengulas isu serius terkait police brutality atau kekerasan berlebihan oleh aparat yang penting untuk menjadi pijakan dalam reformasi Polri. Berdasarkan data KontraS (Juli 2024–Juni 2025) yang ia tampilkan, tercatat 411 kasus penembakan yang melibatkan aparat Polri. Selain itu, laporan Komnas HAM menunjukkan Polri sebagai institusi dengan tingkat kekerasan tertinggi. Riska pun menegaskan bahwa penegakan hukum, seperti tindakan represif aparat ke sipil saat penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan, tidak bisa dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri. Ia merujuk pada Convention Against Torture (CAT) [terj. Konvensi Anti Penyiksaan] yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 sebagai acuan reformasi. Selain itu, akademisi perempuan ini juga mengingatkan kewajiban negara untuk mewujudkan reformasi Polri dengan melindungi para sipil. Hal ini dilakukan dengan mencegah penyiksaan, menghukum pelaku, dan memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran. Tak lupa, Riska juga mengkritisi Perkap Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 yang dinilainya dapat membuka peluang bagi tindakan represif aparat lebih luas sehingga perlu ditinjau kembali pelaksanaannya. Pandangan menarik datang dari Dr. Mulyadi, Dosen Politik SKSG UI, yang menekankan bahwa reformasi kepolisian tidak bisa berdiri sendiri. Menurutnya, tidak adil jika Polri menjadi satu-satunya pihak yang diminta berubah, sementara lembaga lain–seperti partai politik dan parlemen–belum menjalankan fungsi pengawasan secara efektif. Ia menilai, rusaknya sistem demokrasi bukan hanya karena aparat di lapangan, tetapi juga akibat struktur politik yang lemah dan saling menutupi. “Kalau strukturnya rusak, regulasinya pun rusak,” pungkasnya. Mulyadi juga menjelaskan bahwa konsep supremasi sipil sering kali disalahartikan. Supremasi sipil bukan berarti warga sipil lebih tinggi dari militer atau polisi, melainkan penegakan nilai-nilai sipil yang sesuai dengan Pancasila. Dalam pandangannya, nilai-nilai seperti keadilan, keseimbangan, dan kemanusiaan harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan keamanan dan penegakan hukum. Tanpa itu, hubungan antara negara, aparat, dan masyarakat akan terus timpang. Ia juga menegaskan bahwa reformasi sejati harus menyentuh seluruh ekosistem tata kelola negara. Tidak hanya kultur di tubuh Polri yang perlu diperbaiki, tetapi juga struktur dan sistem politik yang menaunginya. Partai politik, lembaga pengawasan, dan media massa perlu turut dibenahi agar fungsi check and balance dapat berjalan dengan sehat. Sebab, tanpa pembenahan menyeluruh, reformasi hanya akan menjadi slogan tanpa arah perubahan yang nyata. Setelah mendengar pemaparan yang komprehensif, sesi tanya jawab pun dibanjiri oleh pandangan beragam tentang arah reformasi Polri, terutama soal struktur, budaya, dan kesetaraan gender. Salah satu topik yang ramai dibahas adalah jumlah polisi wanita (Polwan) di Indonesia yang masih tergolong sangat rendah. Chrysnanda menegaskan pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses reformasi kepolisian. Menurutnya, Polwan hanya berbeda secara kodrat biologis, bukan kemampuan. Dengan empati dan rasa keibuan, Polwan justru bisa menjadi wajah humanis kepolisian di tengah masyarakat. Namun, menurut penulis, pendekatan ini masih mendikotomi peran perempuan dan laki-laki. Karena ia tetap menempatkan empati dan “rasa keibuan” sebagai identitas utama perempuan, bukan profesionalismenya sebagai aparat setara.
Sementara itu, Sulis memberikan pandangan tentang makna kultur dalam konteks kepolisian. Baginya, budaya bukan hanya perilaku, tetapi sistem berpikir dan pengetahuan agar polisi bisa menyesuaikan diri dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi di wilayahnya. Polisi dianggap sebagai cerminan masyarakat yang beragam, sehingga perlu kemampuan pengetahuan yang reflektif dan interdisipliner. Oleh karena itu, kurikulum pelatihan kepolisian juga perlu menekankan pendekatan socio-legal studies, agar calon aparat memahami bahwa hukum tidak hanya teks formal, tetapi juga sistem sosial yang hidup di masyarakat. Mereka juga harus bisa menggunakan diskresi dengan bijak dan berlandaskan konstitusi. Sebab, Sulis juga menyoroti lambannya hukum formal dalam menjawab kebutuhan masyarakat yang sangat cepat. Hal ini pun membuat polisi sering kehilangan momentum untuk berinovasi. Isu lain yang muncul adalah soal dwifungsi dan profesionalitas polisi. Chrysnanda menilai polisi tetap bisa memegang jabatan sipil asalkan melalui mekanisme meritokrasi dan uji kelayakan yang transparan. Ia menolak sistem promosi yang elitis atau berbasis kedekatan. Menurutnya, reformasi harus dilakukan terus-menerus oleh semua generasi, baik polisi muda maupun senior. “Selama masih hidup, kita harus mau mereformasi,” tegasnya. Perwakilan Polri ini pun menutup sesi dengan ajakan agar perubahan dilakukan bersama, demi menjadikan polisi benar-benar melayani masyarakat dengan hati dan nurani. Sebab, Sulis memberi peringatan yang sangat menggetarkan, “Ketika hukum negara tidak adil, masyarakat akan menciptakan hukumnya sendiri.” (Alifia Putri Yudanti) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
October 2025
Categories |

RSS Feed