Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025
Warta Feminis

Menimbang Arah Reformasi Kepolisian: antara Keadilan Rakyat dan Akuntabilitas Institusi

10/10/2025

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
     Di tengah meningkatnya kritik publik terhadap kinerja kepolisian, berbagai kalangan akademisi mulai mendorong diskusi yang lebih serius mengenai arah reformasi institusi Polri. Salah satunya melalui Seminar Nasional “Ke Mana Arah Reformasi Kepolisian?” yang diselenggarakan pada Rabu (8/10/2025) di IASTH Lantai 5 Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Jakarta Pusat.

     Acara ini merupakan kolaborasi antara Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) SKSG UI dan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK POLRI, yang menghadirkan berbagai narasumber dari lintas disiplin; akademisi, aktivis, hingga perwakilan Polri. 

     Ir. Maureen Pomsar, sebagai Perwakilan Direktur SKSG UI, membuka seminar dengan menekankan pentingnya momentum ini untuk menjembatani aspirasi masyarakat dan kebutuhan institusi penegak hukum. “Kita ingin menghimpun ide-ide untuk merancang realisasi arah reformasi kepolisian yang berbasis kajian ilmiah dan sesuai dengan undang-undang di Indonesia,” ujarnya.

     Dimoderatori Dr. Sylvia Prisca Delima, Pengajar KIK SKSG UI, seminar ini bertujuan menghimpun gagasan dan kajian ilmiah sebagai dasar penyusunan policy brief reformasi kepolisian di Indonesia. Sebagai alat negara yang berperan menjaga keamanan dan mengayomi masyarakat, sudah seharusnya Polri menindaklanjuti berbagai kasus pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh hampir seluruh personelnya.

     Narasumber pertama, Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum UI, mengangkat tema “Reformasi Polri: Mendekatkan Keadilan Hukum dan Keadilan Rakyat”.

     ​Ia menyoroti bagaimana dinamika global dan gerakan masyarakat sipil di berbagai negara, termasuk Sri Lanka, Nepal, hingga gerakan solidaritas global untuk Palestina, mencerminkan fenomena “borderless state, borderless law”. Menurutnya, globalisasi tidak hanya menghubungkan ekonomi dan politik, tetapi juga nilai-nilai hukum dan kemanusiaan.

     Sebagai kelompok yang terpapar fenomena global tersebut, generasi muda (khususnya Gen Z) mulai kritis dalam membaca permasalahan lokal dan nasional. Sulis mengatakan mereka menjadi kelompok yang paling terdampak dari timpangnya kebijakan negara namun kerap dikambinghitamkan, “Indonesia ini sedang tidak baik-baik saja, dan mereka yang paling merasakan. Sukar mencari kerja, kemiskinan meningkat, tutupnya industri dan larinya investor, sehingga kelompok menengah turut menjadi kelompok miskin.”

     Dari keresahan itu, muncul gerakan aksi massa yang diinisiasi generasi muda. Namun, gerakan mereka memiliki pola sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Para Gen Z tidak lagi bergerak berdasarkan arahan pemimpin, melainkan keyakinan atas nilai-nilai yang mereka anggap benar, termasuk ketika menghadapi tindakan represif aparat.

     Merespons pemaparan Sulis, Ketua Lemdiklat Polri, Komjen Pol. Chrysnanda Dwilaksana, menyoroti prinsip dasar dalam Tri Brata dan Catur Prasetya sebagai fondasi moral Polri. Keduanya adalah pedoman moral dan etika dasar yang menuntun perilaku, sikap, dan pengabdian polisi dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu, Chrysnanda menekankan refleksi internal dan akuntabilitas moral sebagai reformasi Polri.

     Hal lain yang dapat dilakukan adalah pelatihan literasi moral di lembaga pendidikan Polri (Lemdiklat) untuk membentuk habitus baru yang beradab dan mendidik. Karena perubahan ini tak akan bisa terlaksana dalam waktu yang sebentar. Ia perlu terus diupayakan agar terciptanya polisi yang bekerja secara nurani, bukan dengan “otot”-nya. Karena, Polri yang selama ini kita kenal hampir selalu mengandalkan ekspresi maskulinitas dalam menunjukkan kekuasaan atau wibawa.

     Namun, membicarakan isu Polri tak lepas dari momen Reformasi. Hermawan Sulistyo, Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta, menyoroti perjalanan panjang reformasi yang ia sebut sebagai proses penuh korban dan kesalahan kekuasaan. Menurutnya, pada Orde Baru, kekuasaan yang terlalu absolut membuat lingkaran setan tak berkesudahan: tentara menindas polisi, yang pada akhirnya polisi menindas rakyat. Karena itu, pemisahan polisi dari militer menjadi langkah penting agar institusi kepolisian tidak lagi berada di bawah bayang-bayang militer. 

     ​Lelaki yang akrab disapa Prof. Kiek ini menjelaskan bahwa reformasi kepolisian meliputi tiga aspek, yaitu (1) instrumental dengan penataan ulang infrastruktur hukum dan UUD, (2) struktural melalui perubahan pangkat, serta (3) kultural sebagai aspek yang paling sulit karena perlu mengubah mentalitas polisi dari militeristik menjadi perspektif sipil. Ia menegaskan bahwa senjata tidak boleh diarahkan kepada warga sipil, dan penanganan kerusuhan harus dilakukan secara manusiawi tanpa mencederai masyarakat.
Picture
Dok. Jurnal Perempuan
     Sementara itu, Dr. Riska Sri Handayani, Pengajar KIK SKSG UI, mengulas isu serius terkait police brutality atau kekerasan berlebihan oleh aparat yang penting untuk menjadi pijakan dalam reformasi Polri. Berdasarkan data KontraS (Juli 2024–Juni 2025) yang ia tampilkan, tercatat 411 kasus penembakan yang melibatkan aparat Polri. Selain itu, laporan Komnas HAM menunjukkan Polri sebagai institusi dengan tingkat kekerasan tertinggi.

     Riska pun menegaskan bahwa penegakan hukum, seperti tindakan represif aparat ke sipil saat penangkapan, penyelidikan, dan penyidikan, tidak bisa dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri. Ia merujuk pada Convention Against Torture (CAT) [terj. Konvensi Anti Penyiksaan] yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 sebagai acuan reformasi. 

     Selain itu, akademisi perempuan ini juga mengingatkan kewajiban negara untuk mewujudkan reformasi Polri dengan melindungi para sipil. Hal ini dilakukan dengan mencegah penyiksaan, menghukum pelaku, dan memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran. Tak lupa, Riska juga mengkritisi Perkap Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 yang dinilainya dapat membuka peluang bagi tindakan represif aparat lebih luas sehingga perlu ditinjau kembali pelaksanaannya.

     Pandangan menarik datang dari Dr. Mulyadi, Dosen Politik SKSG UI, yang menekankan bahwa reformasi kepolisian tidak bisa berdiri sendiri. Menurutnya, tidak adil jika Polri menjadi satu-satunya pihak yang diminta berubah, sementara lembaga lain–seperti partai politik dan parlemen–belum menjalankan fungsi pengawasan secara efektif. Ia menilai, rusaknya sistem demokrasi bukan hanya karena aparat di lapangan, tetapi juga akibat struktur politik yang lemah dan saling menutupi. 

     “Kalau strukturnya rusak, regulasinya pun rusak,” pungkasnya.

     Mulyadi juga menjelaskan bahwa konsep supremasi sipil sering kali disalahartikan. Supremasi sipil bukan berarti warga sipil lebih tinggi dari militer atau polisi, melainkan penegakan nilai-nilai sipil yang sesuai dengan Pancasila. Dalam pandangannya, nilai-nilai seperti keadilan, keseimbangan, dan kemanusiaan harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan keamanan dan penegakan hukum. Tanpa itu, hubungan antara negara, aparat, dan masyarakat akan terus timpang.

     ​Ia juga menegaskan bahwa reformasi sejati harus menyentuh seluruh ekosistem tata kelola negara. Tidak hanya kultur di tubuh Polri yang perlu diperbaiki, tetapi juga struktur dan sistem politik yang menaunginya. Partai politik, lembaga pengawasan, dan media massa perlu turut dibenahi agar fungsi check and balance dapat berjalan dengan sehat. Sebab, tanpa pembenahan menyeluruh, reformasi hanya akan menjadi slogan tanpa arah perubahan yang nyata.

     Setelah mendengar pemaparan yang komprehensif, sesi tanya jawab pun dibanjiri oleh pandangan beragam tentang arah reformasi Polri, terutama soal struktur, budaya, dan kesetaraan gender. Salah satu topik yang ramai dibahas adalah jumlah polisi wanita (Polwan) di Indonesia yang masih tergolong sangat rendah. Chrysnanda menegaskan pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses reformasi kepolisian.
Picture
Dok. Jurnal Perempuan
     Menurutnya, Polwan hanya berbeda secara kodrat biologis, bukan kemampuan. Dengan empati dan rasa keibuan, Polwan justru bisa menjadi wajah humanis kepolisian di tengah masyarakat. Namun, menurut penulis, pendekatan ini masih mendikotomi peran perempuan dan laki-laki. Karena ia tetap menempatkan empati dan “rasa keibuan” sebagai identitas utama perempuan, bukan profesionalismenya sebagai aparat setara.

     Sementara itu, Sulis memberikan pandangan tentang makna kultur dalam konteks kepolisian. Baginya, budaya bukan hanya perilaku, tetapi sistem berpikir dan pengetahuan agar polisi bisa menyesuaikan diri dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi di wilayahnya. Polisi dianggap sebagai cerminan masyarakat yang beragam, sehingga perlu kemampuan pengetahuan yang reflektif dan interdisipliner. 

     Oleh karena itu, kurikulum pelatihan kepolisian juga perlu menekankan pendekatan socio-legal studies, agar calon aparat memahami bahwa hukum tidak hanya teks formal, tetapi juga sistem sosial yang hidup di masyarakat. Mereka juga harus bisa menggunakan diskresi dengan bijak dan berlandaskan konstitusi. Sebab, Sulis juga menyoroti lambannya hukum formal dalam menjawab kebutuhan masyarakat yang sangat cepat. Hal ini pun membuat polisi sering kehilangan momentum untuk berinovasi. 

     ​Isu lain yang muncul adalah soal dwifungsi dan profesionalitas polisi. Chrysnanda menilai polisi tetap bisa memegang jabatan sipil asalkan melalui mekanisme meritokrasi dan uji kelayakan yang transparan. Ia menolak sistem promosi yang elitis atau berbasis kedekatan. Menurutnya, reformasi harus dilakukan terus-menerus oleh semua generasi, baik polisi muda maupun senior. 

     “Selama masih hidup, kita harus mau mereformasi,” tegasnya. 

     ​Perwakilan Polri ini pun menutup sesi dengan ajakan agar perubahan dilakukan bersama, demi menjadikan polisi benar-benar melayani masyarakat dengan hati dan nurani. Sebab, Sulis memberi peringatan yang sangat menggetarkan, “Ketika hukum negara tidak adil, masyarakat akan menciptakan hukumnya sendiri.” (Alifia Putri Yudanti)

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    October 2025
    September 2025
    August 2025
    July 2025
    June 2025
    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Indonesian Feminist Journal
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
    • Booklet KAFFE
  • Podcast JP
    • Radio JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
    • Biodata Penerima Beasiswa 2025