![]() Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Rumah Perdamaian Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) di Jakarta Pusat menjadi tuan rumah diskusi lintas iman bertema "Menghapus Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Anak" pada Selasa (10/12/2024). Acara ini digelar secara bauran, memungkinkan partisipasi langsung dan daring melalui Zoom. Diskusi ini dihadiri oleh para pemuka agama, akademisi, aktivis, serta masyarakat umum yang peduli terhadap isu HAM, pelindungan perempuan, dan anak. Empat narasumber utama diundang untuk membahas tema ini dari perspektif agama yang berbeda, yaitu Prof. Musdah Mulia (Islam) selaku pendiri ICRP, Pdt. Sylvana Apituley (Protestan) selaku Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ketua II ICRP, Gabriel Goa (Katolik) selaku Ketua Dewan Pembina Hukum dan HAM Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, dan Dewi Kanti (Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan) selaku Komisioner Komnas Perempuan dan anggota pengurus ICRP, dimoderatori oleh Farid Arifandi. Kegiatan dibuka dengan sambutan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi. Tujuan utama diskusi ini adalah mendorong upaya kolektif lintas iman untuk melawan diskriminasi dan kekerasan yang masih marak terhadap anak-anak di Indonesia. Masalah-masalah seperti perkawinan anak, perundungan, kekerasan seksual, perdagangan orang, hingga diskriminasi terhadap anak-anak dari agama minoritas menjadi perhatian utama para pembicara. Diskusi ini juga menggarisbawahi pentingnya kerja sama antara komunitas agama, masyarakat sipil, dan pemerintah untuk melindungi hak-hak anak yang fundamental. Dalam paparannya, Musdah menyebutkan bahwa Indonesia sedang berada dalam situasi darurat perkawinan anak. Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2023, Indonesia menempati peringkat empat dalam perkawinan global dengan jumlah kasus sebanyak 25,53 juta. “Perkawinan anak bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga merampas masa depan anak-anak, terutama anak perempuan, yang terjebak dalam lingkaran kekerasan domestik dan kemiskinan,” tegasnya. Musdah juga menyoroti peran agama dalam menghapus praktik ini. Ia menekankan bahwa interpretasi agama yang progresif harus menjadi landasan untuk melindungi anak-anak dari praktik-praktik yang merugikan. “Pemuka agama memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan penghentian perkawinan anak. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang harus kita atasi bersama,” tambahnya. Sylvana melanjutkan perhatian audiens pada isu perlindungan dan pemenuhan HAM pada anak-anak di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Sylvana menyoroti bahwa situasi ini lebih buruk di daerah 3T yang juga menjadi wilayah konflik, seperti Papua. “Di Papua, anak-anak menghadapi kekerasan berlapis. Mereka tidak hanya menjadi korban kekerasan langsung tetapi juga harus mengungsi dari rumah mereka akibat konflik aparat bersenjata, banyak dari mereka kehilangan akses pendidikan dan hidup dalam kondisi yang tidak layak,” jelasnya.
Sylvana juga menyoroti kasus anak-anak di Maybrat, Papua Barat, yang harus mengungsi akibat konflik. Mereka harus berlindung di hutan, bahkan mengungsi ke pegunungan hingga ke kabupaten sebelah yang belum tentu mereka diterima oleh penduduk setempat. “Ada anak-anak yang sudah mengungsi selama setahun lebih dan bahkan setelah kembali ke kampung halaman, mereka tetap tidak bisa bersekolah karena kurangnya fasilitas pendidikan,” ungkapnya. Ia mendesak pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan anak-anak di wilayah konflik. Lembaga agama juga perlu mentransformasi sumber daya manusia (SDM) dan program mereka agar lebih responsif terhadap kebutuhan anak dan kelompok rentan, termasuk perempuan, lansia, dan orang dengan disabilitas. Gereja atau masjid bisa menjadi tempat perlindungan sementara bagi korban kekerasan, sekaligus menyediakan program dukungan psikologis dan spiritual. Dengan pendekatan ini, komunitas agama tidak hanya menjadi pelayan iman, tetapi juga agen perubahan sosial. Gabriel Goa membawa isu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dialami oleh penduduk di daerah 3T ke dalam diskusi. Gabriel menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual, korban diskriminasi agama, sangat rentan menjadi target TPPO. Ia juga menyoroti pentingnya peran komunitas agama atau tokoh agama dalam memerangi perdagangan manusia dan menyuarakan HAM. “Paus Fransiskus pernah menginisiasi tindakan nyata untuk menyelamatkan korban perdagangan manusia, terlepas dari latar belakang agama atau etnis mereka. Ini adalah teladan yang harus kita ikuti,” ujarnya. Gabriel menekankan pentingnya keberadaan rumah aman di berbagai daerah untuk memberikan perlindungan bagi korban TPPO. “Saat ini, rumah aman dengan fasilitas yang memadai hanya ada di Jakarta. Daerah-daerah lain terutama di daerah 3T sangat membutuhkan fasilitas serupa, lengkap dengan pendampingan psikologis dan spiritual (rohani) bagi korban,” tambahnya. Gabriel juga menyoroti perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam melindungi anak-anak dari perdagangan manusia. “Pemerintah, media, warga sipil, komunitas agama dan para tokoh agama harus bekerja sama untuk menjadi voice of the voiceless--berbicara untuk mereka yang tidak dapat bersuara,” katanya. Dewi Kanti, seorang penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, membahas diskriminasi yang dialami anak-anak dari agama minoritas. Hingga kini, diskriminasi dan kekerasan atas dasar agama sering dialami oleh anak-anak di sekolah. “Kekerasan berbasis agama tidak hanya melukai secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Anak-anak sering kali kehilangan rasa percaya diri dan semangat belajar akibat stigma yang mereka terima di lingkungan sekolah,” ujar Dewi. Menurut Dewi, permasalahan diskriminasi ini sebenarnya dapat diatasi jika ada upaya serius dari berbagai pihak, termasuk solidaritas antarkementerian. Ia menyoroti bahwa pendekatan lintas sektoral sangat penting untuk memastikan kebijakan yang inklusif dan efektif. “Jika kementerian-kementerian bersinergi, isu-isu kebhinekaan ini sebenarnya bisa dituntaskan. Sayangnya, hingga saat ini, langkah-langkah konkret masih minim,” tambahnya. Ia juga mengkritik ketidaktegasan negara dalam menangani kekerasan atas nama agama, baik dari aparat penegak hukum maupun tokoh agama. Menurutnya, sering kali kekerasan berbasis agama diabaikan atau bahkan dianggap sebagai isu yang sensitif untuk disentuh. Pada awal acara, ICRP menayangkan tayangan video yang memperlihatkan pengalaman seorang perempuan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan yang mengalami tantangan administratif dan stigma sosial yang dihadapi keluarganya. Salah satunya adalah kesulitan dalam mencatatkan pernikahan ke negara. “Saya menikah secara adat, tetapi catatan sipil menolak mengakui pernikahan saya. Anak-anak saya juga menghadapi diskriminasi di sekolah, bahkan dijuluki kafir oleh teman-teman mereka,” ungkap perempuan penganut kepercayaan Sunda Wiwitan dalam video ICRP tersebut dengan emosional. Dewi menegaskan bahwa negara harus menjamin hak konstitusional semua warga negara, termasuk mereka yang menganut agama minoritas atau agama lokal. “Solidaritas antaragama harus diperkuat untuk melawan diskriminasi ini. Negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kebebasan beragama yang sejati,” tegasnya. Diskusi ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting dan solusi kolaboratif demi menghapus diskriminasi dan kekerasan terhadap anak. Di antaranya, pertama, pentingnya meningkatkan peran pemuka agama dalam mengadvokasi hak anak dan menentang praktik-praktik yang merugikan, seperti perkawinan anak dan diskriminasi agama. Kedua, memperluas fasilitas rumah aman untuk korban kekerasan, perdagangan manusia, dan konflik bersenjata, khususnya di daerah-daerah terpencil. Ketiga, memperkuat kebijakan inklusif dan responsif gender, seperti akses penghidupan yang layak dan pendidikan untuk anak-anak di wilayah konflik serta pengakuan administratif bagi agama minoritas. Keempat, mendorong sinergi antara pemerintah, komunitas agama, dan masyarakat sipil untuk menciptakan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan anak. Kelima, pentingnya penguatan edukasi kebhinekaan di sekolah untuk menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini. Keenam, penyediaan ruang aman dan inklusif bagi anak-anak untuk berbicara tentang kehidupan dan kebutuhan mereka. Diskusi lintas iman ini menekankan bahwa melindungi hak anak adalah tanggung jawab bersama. HAM bukan sekadar untuk diperingati, tetapi untuk diwujudkan. Anak-anak adalah masa depan bangsa, dan kita semua harus berperan aktif dalam melindungi mereka. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi anak-anak Indonesia, diskusi ini menjadi langkah penting dalam mendorong aksi nyata demi mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |