![]() Pada Senin (9/12/2024) lalu, telah diselenggarakan diskusi publik bertajuk “Kekerasan Berbasis Gender Online di Era Society 5.0, Menjaga Ruang Digital yang Aman dan Inklusif”. Kegiatan ini diinisiasi oleh Sekretariat Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia bersama tim Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, dengan dukungan dari Yayasan Perempuan Sehat Indonesia melalui program Generation Gender. Diskusi di awali dengan sambutan dari Mike Verawati, perwakilan dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menghadapi tantangan kekerasan berbasis gender online (KBGO) di era digital. Acara ini menghadirkan tiga narasumber kompeten di bidangnya: Ratna Susianawati (Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak–KPPPA), Riska Amelia (Koordinator Nasional Program Literasi Digital–Komdigi), dan Nenden Sekar Arum (Direktur Eksekutif SAFEnet). Diskusi ini menjadi wadah penting untuk menggali perspektif lintas institusi mengenai langkah-langkah konkret mewujudkan ruang digital yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan berbasis gender. Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Deputi KPPPA, Ratna Susianawati, mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi tantangan besar dalam pembangunan nasional. Isu ini semakin kompleks dengan maraknya KBGO, yang meningkat seiring pesatnya perkembangan teknologi digital. Ratna menjelaskan bahwa perempuan dan anak merupakan dua per tiga dari populasi Indonesia. Data menunjukkan, jumlah anak-anak di Indonesia mencakup sekitar 32,03%, sementara penduduk perempuan dan laki-laki masing-masing sebesar 49,92% dan 50,08%. Dengan proporsi yang signifikan ini, perempuan dan anak memiliki peran strategis dalam pembangunan bangsa. "Namun, besarnya jumlah ini justru menjadikan mereka kelompok rentan yang sering menjadi korban berbagai bentuk kekerasan," ungkapnya.
Pemerintah telah menunjukkan komitmen kuat untuk melindungi perempuan dan anak, baik melalui kerangka global maupun nasional. Komitmen global tercermin dalam ratifikasi CEDAW (1984), Beijing Platform for Action (1995), Resolusi DK PBB 1325 (2000), serta tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 dengan prinsip inklusif "No One Left Behind". Di tingkat nasional, kebijakan tersebut diimplementasikan melalui UUD 1945, Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG), serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yang menekankan ketahanan sosial, budaya, dan ekologi. Menurut Ratna, pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) berbasis gender menjadi prioritas dalam menghadapi era teknologi yang terus berkembang. "Perempuan harus menjadi agen perubahan, bukan hanya sebagai penonton dalam perkembangan teknologi, tetapi juga sebagai pelaku utama transformasi," tegasnya. Data dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) memberikan gambaran mengenai tren kekerasan. Pada tahun 2016, 1 dari 3 perempuan (33,4%) dilaporkan mengalami kekerasan fisik. Angka ini menurun menjadi 1 dari 4 perempuan (26,1%) pada tahun 2021, dan terus menurun menjadi 24,1% pada 2024. Penurunan ini menunjukkan bahwa target RPJMN 2020-2024 turut mendorong perubahan. Namun, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetap menjadi tantangan utama, dengan sekitar 73,3% korbannya adalah perempuan. Di sisi lain, KBGO mengalami peningkatan signifikan, terutama di kalangan perempuan berusia 25-40 tahun. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap ancaman di ruang digital. Ratna menekankan pentingnya implementasi UU TPKS di tingkat lokal. “Kita harus memastikan kebijakan ini benar-benar terlaksana di lapangan. Pendekatan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat menjadi kunci,” ujarnya. Selain itu, literasi digital juga dianggap penting untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi dampak teknologi. Pendekatan berbasis kolaborasi atau pentahelix melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia usaha, dan media, dianggap efektif untuk mencegah kekerasan. Literasi digital, pendidikan berbasis gender, serta kampanye kesadaran masyarakat harus terus digalakkan. Keluarga juga berperan penting sebagai benteng utama dalam melindungi perempuan dan anak dari berbagai ancaman. “Momentum 16 HAKTP ini adalah refleksi bersama. Kita harus saling berkomitmen untuk menghadirkan solusi nyata. Dengan kerja sama yang baik, pembangunan berbasis kesetaraan gender tidak hanya menjadi cita-cita, tetapi juga kenyataan yang bisa kita wujudkan bersama,” pungkasnya. Selanjutnya dalam upaya menciptakan ruang digital yang aman dan inklusif, Riska Amelia dari Komdigi menyampaikan perjalanan dan tantangan literasi digital di Indonesia. Program ini telah berjalan sejak tahun 2012, dimulai dengan sosialisasi dan bimbingan teknis yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Nasional Literasi Digital pada tahun 2017. Pada tahun 2021, literasi digital ditetapkan sebagai program nasional oleh Presiden Joko Widodo. Riska menjelaskan bahwa literasi digital Komdigi tidak hanya berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat, tetapi juga merespons tantangan baru yang muncul, seperti penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam kasus KBGO. “Di era di mana 79,05% penduduk Indonesia aktif menggunakan internet dan 49,9% menggunakan media sosial, edukasi literasi digital menjadi sangat krusial. Internet menjadi motif utama masyarakat dalam mencari informasi, sehingga pengetahuan tentang penggunaannya secara aman dan bijak sangat penting,” ungkap Riska. Indeks literasi digital nasional Indonesia saat ini masih berada di bawah kategori baik, sehingga menjadi pekerjaan besar bagi Komdigi untuk menjangkau 270 juta lebih penduduk Indonesia, terutama mereka yang sudah terpapar internet. Komdigi juga menunjukkan catatan konten negatif di ruang digital yang telah diblokir sejak 2018, termasuk 12.547 konten hoaks, 4.519 konten negatif, 1.213.988 konten pornografi, dan 183 pengaduan terkait pinjaman online ilegal. Terkait kasus KBGO, data dari SAFEnet Indonesia pada triwulan pertama tahun 2024 mencatat adanya 480 kasus. Kelompok usia paling rentan adalah 18-25 tahun (sebanyak 57% dari seluruh kasus), diikuti oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun (16% dari seluruh kasus). Bentuk-bentuk KBGO yang umum terjadi meliputi: Non-consensual Intimate Image (NCII) atau penyebaran konten pribadi tanpa persetujuan, cyber grooming atau upaya manipulasi secara online untuk mengeksploitasi korban, cyber hacking, cyber harassment, cyber stalking, dan lainnya. Banyak kasus ini dilakukan oleh pelaku yang memiliki hubungan personal dengan korban, seperti teman, pacar, atau mantan pacar, yang mengingatkan kita akan pentingnya edukasi dan literasi digital. Literasi digital menjadi bagian penting dari kurikulum pendidikan nasional, mencakup tiga sektor utama: Pendidikan Formal dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi, sektor pemerintah dengan melibatkan TNI, Polri, ASN, dokter, dan tenaga profesional lainnya, serta kelompok masyarakat termasuk perempuan, difabel, lansia, dan kelompok keagamaan, termasuk masyarakat di pedesaan. Selanjutnya, Riska Amelia menegaskan bahwa literasi digital adalah fondasi penting untuk menghadapi tantangan ruang digital di Indonesia. “Dengan pendekatan yang inklusif dan kolaborasi lintas sektor, kita bisa menciptakan ruang digital yang tidak hanya aman, tetapi juga menjadi alat pemberdayaan bagi semua, terutama perempuan,” ujarnya. Gerakan literasi digital yang komprehensif ini diharapkan mampu melindungi masyarakat dari ancaman di dunia maya, serta mendorong transformasi digital yang beretika dan bertanggung jawab. Dengan upaya bersama, ruang digital yang aman dan setara bagi seluruh masyarakat Indonesia bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Nenden Sekar Arum dalam sesinya menyoroti situasi terkini mengenai kekerasan yang difasilitasi teknologi di Indonesia. SAFEnet, yang berfokus pada isu Hak Asasi Manusia (HAM) digital, menegaskan pentingnya memastikan hak atas akses internet, kebebasan berekspresi, dan rasa aman di ruang digital bagi semua orang, terutama perempuan dan anak-anak. Menurut data SAFEnet dari Januari hingga Oktober 2024, terdapat 1.544 laporan kasus KBGO yang masuk ke platform mereka, mengalami peningkatan 50% dibandingkan tahun 2023. Jenis-jenis KBGO yang paling sering terjadi meliputi: ancaman penyebaran konten intim, pemerasan digital, manipulasi gambar/video, hingga ancaman menggunakan rekaman video seksual. Mayoritas korban KBGO adalah anak muda dan anak-anak, kelompok yang sangat rentan karena kurangnya literasi digital dan kesadaran tentang keamanan di ruang digital. Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang dapat digunakan untuk menangani KBGO, yaitu UU TPKS yang mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk berbasis elektronik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memuat aturan tentang pelanggaran hukum di dunia digital. Namun, Nenden mengungkapkan bahwa implementasi regulasi ini masih jauh dari optimal. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya pengetahuan dan sensitivitas aparat penegak hukum, terutama kepolisian. Banyak petugas yang belum memahami bahwa KBGO adalah bentuk kekerasan serius. “Polisi sering kali menganggap KBGO tidak separah kekerasan fisik, sehingga laporan korban tidak ditindaklanjuti secara serius,” ungkap Nenden. Hal ini mengakibatkan banyak korban kehilangan kepercayaan pada sistem hukum dan memilih untuk tidak melaporkan kasus mereka. Nenden menekankan perlunya perubahan paradigma dan kebijakan yang mendukung perlindungan korban KBGO. Selain itu, SAFEnet juga menyoroti fenomena teknologi sebagai alat kekerasan yang semakin kompleks seiring perkembangan zaman. “KBGO bukan hanya soal teknologi, tetapi bagaimana teknologi menjadi alat kontrol, manipulasi, dan eksploitasi oleh pelaku terhadap korban,” jelas Nenden. Kekerasan berbasis teknologi, seperti peretasan akun, cyber stalking hingga penyebaran informasi palsu untuk merusak reputasi korban, sering kali meninggalkan dampak psikologis yang serius. Dampak ini diperburuk oleh lemahnya perlindungan hukum dan stigma sosial terhadap korban. Meskipun tantangan besar masih menghadang, Nenden optimis bahwa perubahan bisa diwujudkan melalui sinergi berbagai pihak. “Semua pihak harus berkolaborasi—pemerintah, penegak hukum, masyarakat sipil, media, hingga korban sendiri. Kita membutuhkan kebijakan yang tidak hanya melindungi, tetapi juga memberdayakan korban KBGO,” pungkasnya. Diskusi tentang KBGO ini menjadi pengingat bahwa ruang digital harus menjadi tempat yang aman bagi semua orang, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Dengan komitmen bersama, Indonesia dapat bergerak menuju ruang digital yang lebih aman dan bebas dari kekerasan berbasis gender. (Try Suriani Loit Tualaka) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |